28.8 C
Jakarta

Aplikasi Prinsip Wasatiah dalam Menyikapi Hisab-Rukyat Ramadan

Artikel Trending

Milenial IslamAplikasi Prinsip Wasatiah dalam Menyikapi Hisab-Rukyat Ramadan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Kata “Muhammadiyah” trending di X. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, umat Islam di Indonesia kembali ribut soal metode penentuan awal Ramadan. Mereka yang pro-hisab mengatakan bahwa rukyat tidak perlu dilakukan. Mereka yang pro-rukyat menegaskan bahwa Nabi Saw. memerintahkan rukyat—bukan hisab semata. Perdebatan semacam itu tidak kelar-kelar, padahal tidak prinsipil bahkan tidak ada manfaatnya.

Ironisnya, Muhammadiyah tidak luput dari serangan warganet yang pro-rukyat. Oleh karena memutuskan awal Ramadan jatuh pada hari ini, Senin (11/3), mereka dianggap tidak patuh dengan keputusan pemerintah. Cacian berlanjut sampai pada hal-hal yang menyinggung, seolah Muhamamdiyah tidak punya kontribusi untuk negeri ini. Jelas, itu sangat memalukan, naif, dan tampak pandir. Perkara hisab-rukyat belaka jadi masalah besar.

Padahal, kalau saja seseorang mau berpikir, NU dan Muhammadiyah memiliki kontribusinya masing-masing yang luar biasa. Muhammadiyah, sebagai contoh, memiliki 171 perguruan tinggi, yang terdiri dari 84 universitas, 26 institut, 53 sekolah tinggi, 6 politeknik, dan 1 akademi. Kiprah Muhammadiyah di bidang pendidikan sangat besar. Sama sekali tidak berdasar jika menuduhnya secara negatif seperti yang lagi ramai di X.

Lantas bagaimana semestinya melihat persoalan hisab-rukyat dan bagaimana prinsip-prinsip moderasi memandangnya? Ini penting dikaji. Sebab, baik NU maupun Muhammadiyah memiliki gagasan utama tentang wasatiah, yang termanifestasikan dalam “Islam Nusantara” dan “Islam Berkemajuan”.  Adalah tidak relevan jika kemudian jemaah kedua ormas tersebut meributkan masalah hisab-rukyat, apalagi sampai bertengkar.

Hisab-Rukyat: Jangan Bertengkar!

Hisab, atau metode perhitungan matematis, telah populer dalam beberapa dekade terakhir. Parameternya adalah matematika dan ilmu astronomi, untuk menghitung secara pasti kapan awal Ramadan dimulai berdasarkan peredaran bulan dan siklus lunar. Muhammadiyah, sebagai penganut metode hisab, yakin bahwa metode tersebut lebih akurat dan dapat diprediksi, sehingga memudahkan perencanaan ibadah Ramadan.

Di sisi lain, rukyat, atau pengamatan langsung bulan baru (al-hilal), merupakan metode tradisional sejak zaman Nabi Saw. Dalam metode ini, terlihatnya hilal adalah tolok ukur awal Ramadan. NU, yang menganut metode rukyat, berargumen bahwa metode tersebut lebih sesuai dengan syariat dan memberikan kesempatan dalam melibatkan umat Islam secara langsung dalam proses penentuan hari pertama puasa.

Kedua metode itu jelas punya kelebihan dan kelemahan masing-masing. Metode hisab dapat memberikan prediksi yang lebih pasti, tetapi kerap kurang fleksibel dan tidak memperhatikan faktor-faktor regional-lokal yang dapat memengaruhi pengamatan bulan. Sedangkan metode rukyat, kekurangannya adalah tidak praktis saat langit tertutup awan atau di daerah dengan minimnya saksi mata. Juga, tentu, berbiaya.

BACA JUGA  Guyub Politik: Manifesting Nasionalisme yang Harus Diteladani

Yang jelas, kedua metode ini merupakan warisan intelektual-spiritual Islam dan tidak laik menjadi sumber perpecahan—apalagi pertengkaran. Mau ikut Muhammadiyah dengan metode hisab, silakan. Mau ikut NU dengan metode rukyat, juga tidak masalah. Keduanya sama-sama benar dan tidak etis saling mengkritik. Jemaah NU dan Muhammadiyah mesti saling respek atas manhaj masing-masing. Itulah wasatiah sejati. Jangan bertengkar!

Mengambil Sikap Moderat

Wasatiah adalah soal kepresisian (al-i’tidal), keseimbangan (al-tawazun), respek (al-tasamuh), konsensus (al-syura), kemaslahatan (al-islah), kepeloporan (al-qudwah), dan kenegarawanan (al-muwathanah). Dengan prinsip-prinsip tersebut, Islam akan menjadi shalih li kulli zaman wa makan. NU dan Muhammadiyah saling mengisi satu sama lain dalam prinsip moderasi demi kemaslahatan Indonesia.

NU lekat dengan tradisionalisme, maka lumrah jika jemaahnya mempertahankan budaya rukyat. Muhammadiyah lekat dengan modernisme, maka metode hisab niscaya menjadi pilihan jemaahnya. Apa yang salah? Tidak ada. Selama masing-masing pihak bersikap presisi, tidak fanatis, tidak memonopoli kebenaran, dan senantiasa dalam koridor kemaslahatan bangsa. Prinsip wasatiah tersebut wajib dipegang erat-erat.

Misalnya, dalam konteks hisab-rukyat, umat Muslim di negara ini dapat menggunakan hisab sebagai pedoman awal, tetapi juga membuka ruang untuk verifikasi melalui rukyat jika memungkinkan. Pendekatan integratif ini memungkinkan mereka untuk menghargai kedua tradisi ilmiah dan spiritual dalam menentukan awal Ramadan. Dalam prinsip wasatiah, kebenaran tidak monolitis dan tidak dapat dieksploitasi satu pihak.

NU dan Muhammadiyah sebagai dua sayap NKRI bukanlah isapan jempol belaka. Manhaj keduanya relevan dan representatif untuk kondisi sosial-masyarakat Indonesia. Karenanya, jika hari ini masalah hisab-rukyat saja dapat memicu tensi jemaah masing-masing, pangkal masalahnya terletak pada jemaah itu sendiri: tidak memegang prinsip wasatiah yang telah diajarkan NU dan Muhammadiyah.

Jadi tidak ada yang salah sekalipun start puasa Ramadan-nya berbeda. Yang salah adalah umat Islam yang tidak berpuasa secara sengaja tanpa uzur. Dengan demikian, jika diambil kesimpulan, prinsip-prinsip wasatiah dalam menyikapi hisab-rukyat bertolak pada kerukunan, persatuan, dan kekompakan antarumat maupun antarkelompok keberagamaan. Jika tidak demikian, maka polarisasi bangsa akan segera terjadi. Semoga tidak.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru