26.6 C
Jakarta

Islamisme Generasi Milenial di Media Sosial dan Mengikisnya Wawasan Kebangsaan

Artikel Trending

KhazanahTelaahIslamisme Generasi Milenial di Media Sosial dan Mengikisnya Wawasan Kebangsaan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Generasi milenial, juga disebut sebagai generasi Y dengan berbagai karakter unik yang dimiliki. Disebutkan bahwa pengelompokan ini ada dalam rentang usia 17-36 tahun. Segala aktivitasnya tidak lepas dari internet. Baik untuk pekerjaan, pendidikan ataupun sebagai gaya hidup. Generasi milenial dunia menempatkan posisi pertama pengguna internet dan jumlah mayoritas penduduk di banyak negara.(Tam 2019).

Fakta tersebut dikuatkan berdasarkan laporan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) hasil survei penetrasi pengguna internet Indonesia pada tahun 2018. Ternyata, generasi milenial menguasai pengguna internet. Menurut APJII, rentang usia 15 sampai 19 tahun, tercatatkan sebanyak 91 persen telah menggunakan internet. Kemudian rentang 20 hingga 24 tahun sebesar 88,5 persen, lalu rentang usia 25 sampai 29 tahun sebanyak 82,7 persen.

Ini artinya sumber pengetahuan, khususnya Keislaman juga didapatkan melalui media sosial yang menjadi salah satu hal yang tidak bisa dipisahkan pada generasi milenial. Alih-alih pengetahuan agama yang tersebar luas di media sosial, muncul pula kelompok Islamis yang menjadi tantangan bagi sistem demokrasi Indonesia.

Karena kelompok ini rentan menyuarakan istilah Syar’i pada setiap segala aktifitas yang dilakukan, khususnya gencar dalam mempromosikan khilafah yang sangat sesuai dengan tuntutan ajaran Islam. Sebagai akibat dari perkembangan kelompok-kelompok Islamis ini, pandangan-pandangan keagamaan para pembaharu dan kelompok Muslim liberal, moderat, dan progresif -semakin banyak ditantang dan bahkan ditolak

Sehingga yang terjadi adalah dilematis para milenial dalam memahami pengethuan Islam semacam ini berdampak pada mengikisnya wawasan kebangsaan yang dimiliki dalam diri. Nasionalisme terhadap Indonesia tentu sudah luntur ketika dalam dirinya berniat menggeser sistem NKRI yang berasas pancasila dengan asas Al-Quran yang diserukan sesuai sunah.

Penerimaan terhadap sebuah negara sebagai tanah air, tanah kelahiran yang memberikan berbagai keuntungan positif terhadap tumbuh kembangnya harus dimiliki sejak dini. Tidak ada tugas yang lebih penting dari pengembangan warganegara yang bertanggung jawab, efektif dan terdidik. Pembinaan terhadap generasi muda menjadi warganegara yang baik menjadi perhatian utama.

Demokrasi dipelihara oleh warganegara yang mempunyai pengetahuan, kemampuan dan karakter yang dibutuhkan. Tanpa adanya komitmen yang benar dari warganegara terhadap nilai dan prinsip fundamental demokrasi, maka masyarakat yang terbuka dan bebas, tak mungkin terwujud. (Dasim Budimansyah: 2010). Namun, misi semacam ini menjadi hilang ketika generasi milenial sudah tidak sejalan dengan semangat patrotisme, dan digantikan dengan tujuan yang berbeda yakni mendirikan negara Islam sesuai dengan pemahaman ajaran Islam yang dipahami melalui media sosial.

BACA JUGA  Gerakan Motherschool: Upaya Perempuan Menangkal Radikalisme dalam Keluarga

Fenomena Islamisme semacam ini terus mengakar di berbagai term kehidupan, mulai dari relasi sosial kemasyarakatan, akademisi, khususnya di kampus-kampus mengakar kuat dengan maraknya sikap-sikap fanatisma terhadap Islam dengan label syar’i dan simbol-simbol keislaman lainnya pada setiap gerak kehidupan yang dilakukan. prinsip tersebut beralih pada perekrutan massa sebagai jalan dakwah agar suara untuk mendirikan negara khilafah terus tersalurkan dengan baik dan bisa diterima oleh masyarakat secara umum.

Peran Elemen Masyarakat

Milenial dengan konsumsi pengetahuan keislaman melalui media sosial harus bisa mengetahui sanad keilmuan yang jelas dan sumber yang mumpuni. Akan tetapi tidak semua memahami fenomena ini., kebanyakan cenderung tidak memperhatikan aspek tersebut, sehingga alih-alih terbelanggu pada pengetahuan keislaman yang dualism, hanya berkutat pada haram-halal, kafir atau tidak, dan sejenisnya.

Pandangan yang lebih jauh, bermuara pada kritisisme pada sistem kenegaraan Indonesia yang tidak sejalan dengan ajaran Islam. Akhirnya berdampak pada mengikisnya wawasan kebangsaan akibat pemahaman keislaman yang kurang elegan.

Berdasarkan fenomena ini, maka peran keluarga, sekolah dan masyarakat menjadi amat penting untuk diperhatikan agar bisa mendidik seorang anak untuk memiliki karakter dan wawasan kebangaan yang bagus dengan pemahaman keislaman yang mumpuni. Konten keislaman dengan watak Islam pribumi harus diperbanyak dari orang-orang yang memiliki literasi keagamaan dan literasi digital yang mumpuni agar bisa dikonsumsi oleh milenial.

Tidak hanya itu, produkti konten keislaman yang mengusung nilai moderat, sikap kebangaan yang kuat harus terus digencarkan sebagai upaya kontra narasi dari banyaknya produksi pengetahuan keislaman yang belum tepat. Sehingga upaya holistik ini akan dipahami oleh generasi milenial sebagai upaya yang bisa dilakukan untuk merawat NKRI. Wallahu a’lam

 

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru