29.7 C
Jakarta

Islam Itu Bukan Radikalisme

Artikel Trending

Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Kehadiran Ramadhan menjadi sebuah kegembiraan tersendiri yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Meski akhir-akhir ini ditimpa musibah wabah Virus Corona, masyarakat Indonesia tetap menyambut Ramadhan dengan varian kegiatan yang positif sehingga memberikan manfaat kepada orang banyak.

Salah satu kegiatan di bulan Ramadhan yang kemarin tepatnya tanggal 27 April 2020 tim media Harakatuna.com lakukan adalah kajian online melalui aplikasi Zoom bertema Islam dan Radikalisme. Pemateri kegiatan ini adalah lulusan Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Khalilullah, M.Ag., sedang moderatornya adalah penulis aktif di media Harakatuna Ridwan Baharudin.

Membahas soal Islam, sebut Khalil, hendaknya tidak melupakan dasar pemahaman Islam secara etimologis dan terminologis. Secara etimologis, Islam merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab aslama yang bermakna tunduk dan patuh, berserah diri, menyerahkan, memasrahkan, mengikuti, menunaikan, menyampaikan, masuk dalam kedamaian, keselamatan, atau kemurnian.

Sedang, Islam secara terminologis dipahami dengan penyerahan diri, ketundukan dan kepatuhan terhadap perintah Allah serta pasrah dan menerima dengan puas terhadap ketentuan dan hukum-hukum-Nya. Pemahaman secara istilah ini sesungguhnya terinspirasi dari ayat Al-Qur’an: Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: “Tunduk patuhlah!” Ibrahim menjawab: “Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam.” (QS. al-Baqarah [2]: 131).

Hukum-hukum Allah yang semestinya dipatuhi sehingga seseorang dapat disebut muslim dapat dipilah menjadi dua bagian: Pertama, hukum kausalitas, hukum sebab-akibat, jika meminjam istilah agama, “sunnatullah”. Hukum kausalitas ini adalah hukum rasionalitas. Seseorang hendaknya melalui hukum ini dengan perhitungan akal sehat. Semisal, seseorang yang ingin kenyang, maka harus makan. Pada contoh yang lain, seseorang yang ingin pintar, maka harus belajar. Sebaliknya, menghindari “sebab” seperti makan dan belajar akan menghalangi seseorang menggapai maksud yang dituju, yaitu kenyang dan pintar.

Kedua, inayatullah. Istilah ini dapat saya terjemahkan dengan factor-x. Hukum kedua ini menyentuh medan yang irrasional. Akal sehat manusia tidak dapat menjangkaunya. Hukum ini, seperti sebutannya inayah Allah atau artinya pertolongan Allah, merupakan hak prerogatif Tuhan secara totalitas. Semisal, orang yang jatuh dari pesawat secara akal sehat pasti mati. Tapi, bila suatu ketika ada orang yang jatuh dari pesawat selamat, maka orang itu berada dalam inayatullah, pertolongan Allah. Akal manusia tidak dapat merasionalkan peristiwa misterius ini.

Setelah kita memahami peran Islam sampai menyentuh hukum-hukum Allah yang harus dibenarkan oleh seluruh manusia yang muslim, pemateri melanjutkan pada interaksi Islam berdasarkan kaca mata Al-Qur’an. Islam dalam Al-Qur’an dapat dibagi menjadi dua: Pertama, Islam sebagai nilai-nilai agama. Pada posisi ini Islam dapat mencakup semua agama semitik (samawi)—atau bisa jadi semua agama yang memiliki prinsip monoteis (tauhid)—seperti Yahudi, Nasrani, dan Islam. Tiga agama semitik ini dibawa dan diajarkan oleh the father of religion Nabi Ibrahim as. Kemudian, ajaran Ibrahim ini dikembangkan oleh putra-putranya, Nabi Ishaq as. yang mengajarkan nilai-nilai Islam dengan sebutan agama Yahudi dan Nasrani. Meski, agama Yuhudi lebih familiar diajarkan oleh Nabi Musa as. kepada umatnya dan agama Nasrani diajarkan oleh Nabi Isa as. kepada umatnya pula.

Sementara, nilai-nilai Islam lain yang kemudian ke belakang dikenal dengan agama Islam dibawa oleh putra Ibrahim yang bernama Nabi Isma’il. Agama Isma’il kala itu bukan dikenal dengan sebutan Islam, tapi lebih dikenal dengan sebutan agama hanif, bila meminjam istilah Prof. Kautsar Azhari Noer, agama primordial. Kemudian, ajaran Ibrahim yang dibawa Isma’il dikembangkan oleh Nabi Muhammad Saw. sampai sekarang. Itulah yang dikenal dengan agama Islam.

Pemahaman Islam sebagai nilai-nilai agama dapat dilihat dari ayat-ayat Al-Qur’an. Di antaranya: Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya ada petunjuk dan cahaya yang menerangi, dan dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang Islam, yakni yang menyerahkan diri kepada Allah. (QS. al-Ma’idah/5: 44). Ayat lain menyebutkan: Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia seorang yang lurus lagi muslim, berserah diri kepada Allah dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang yang musyrik. (QS. Ali Imran [3]: 67).

BACA JUGA  Mengulik Model Lebaran Ketupat di Madura

Menyangkut ayat-ayat tersebut Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir ath-Thabari memahami bahwa para nabi yang berdakwah terhadap orang-orang Yahudi semuanya mematuhi nilai-nilai Islam, yakni tunduk terhadap hukum-hukum Allah serta membenarkannya. Para nabi membenarkan hukum tersebut dengan hati dan mengekspresikan dengan perbuatan lahir. Sehingga, semua itu dapat memotivasi umat mereka mengikuti apa yang disampaikan. Saya dapat mengambil sebuah benang merah bahwa nilai-nilai Islam sudah dikenal dan diterapkan oleh para nabi dan umatnya sebelum Nabi Muhammad Saw. diutus di tengah semesta.

Kedua, Islam sebagai nama agama. Pada bagian ini Islam lebih dipahami sebagai ajaran yang dibawa dan diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw. Ajaran Islam versi Nabi Muhammad dapat dibatasi pada tiga elemen: akidah, syariat, dan tasawuf. Semua elemen ini tetap mengacu pada misi Islam yang moderat (wasathiyyah). Ayat Al-Qur’an yang menyebutkan Islam sebagai nama agama dapat dilihat pada surah al-Ma’idah ayat 3: Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu. Islam sebagai nama agama, seperti yang dipahami oleh Ibnu Jarir ath-Thabari, tetap memegang kuat nilai-nilai Islam yang diperjuangkan oleh nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad.

Nilai-nilai agama Islam mencakup beberapa elemen. Di antaranya, terbuka (baca QS. an-Nahl: 125), toleran (baca QS. al-Kafirun: 5-6), monoteis atau tauhid (baca QS. at-Taubah: 129), dan menebar kasih sayang bagi semesta alam (baca QS. al-Anbiya’: 107). Beberapa nilai ini berlawanan dengan paham radikal di mana paham ini mencerminkan sikap yang tertutup, intoleran, gemar mengkafirkan saudaranya sendiri, dan getol melakukan aksi-aksi kekerasan atau terorisme. Dari manakah paham radikal ini muncul?

Untuk melihat kemunculan paham radikal, kita dapat melihat dari terpecahnya pemeluk Islam pada kepemerintahan Sayyina Ali Ibn Abi Thalib saat terjadi tahkim dengan Muawiyah Ibn Abi Sufyan. Pada waktu itu pemeluk Islam terpecah menjadi tiga kelompok: Kelompok Sunni yang mengikuti tradisi Nabi Muhammad Saw. yang moderat, Kelompok Syiah yang nge-fans berat terhadap Sayyina Ali, dan Kelompok Khawarij yang jadi haters Sayyina Ali. Kelompok Khawarij ini atau yang akhir-akhir ini dikenal dengan radikalisme berani mengkafirkan Ali dan pengikutnya, karena mereka mengambil keputusan tahkim di luar keputusan Allah. Seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an: Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. al-Ma’idah [5]: 44).

Doktrin Kelompok Khawarij-Radikalisme semakin ke depan, semakin bervariatif. Mulai dari gemar mengkafirkan, intoleran, sampai mengampanyekan sistem Negara Islam (Daulah Islamiyyah) beserta paham teroris. Siapa saja yang tercatat sebagai kelompok yang mengembangkan doktrin Khawarij-Radikalisme? Mereka, seperti yang disebutkan oleh politikus Tsamara, meliputi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang menegakkan sistem negara Islam, Aliansi Nasional Anti Syiah (ANNAS) yang getol mengkafirkan Syiah, Jamaah Ansarut Tauhid (JAI) yang menjadi pendukung ISIS, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) yang menjadi pegiat terorisme, dan Forum Umat Islam (FUI) yang berupaya mengislamkan Indonesia.

Sekian kelompok radikal ini hanya sebagian besar yang dapat pemateri paparkan. Sedang, masih banyak kelompok radikal lain yang namanya belum terekspos di media. Apapun nama kelompoknya, meski sering mengatasnamakan Islam, jika nilai-nilai yang diperjuangkan tidak mencerminkan Islam, maka sebaiknya kita hindari. Sebagai penutup, sebuah pesan Mushthafa Bisri alias Gus Mus penting untuk direnungkan. Kata beliau, “Moderat itulah Islam. Kalau tidak moderat, tidak Islam.”[] Shallallah ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru