31.2 C
Jakarta

Hamil Tanpa Senggama (Jima’), Mungkin kah?

Artikel Trending

Asas-asas IslamHamil Tanpa Senggama (Jima'), Mungkin kah?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Dalam kitab-kitab fiqih (hukum Islam), banyak ditemukan masalah-masalah fiqih yang diandaikan oleh ulama, kemudian dijawab sendiri oleh pengandainya. Pengandaian itu ada yg benar-benar terjadi, tetapi juga ada yg sangat mungkin tidak terjadi, karena pengandaian itu tidak didasarkan pada ilmu pengetahuan, melainkan didasarkan pada imajinasi sang faqih. Produk fiqih yang didasarkan pada pengandaian itu disebut “fiqih Iftiradhy“. Biasanya pertayaannya selalu dimulai dengan kata “law -لو / seandainya. Misalkan, terkait hukum hamil.

Contoh yang tampak liar. Misalnya, jika ada vagina sebesar pintu stadion. Kemudian, ada beberapa orang laki-laki memasuki vagina yang sebesar pintu stadion itu. Maka pertayaannya, apakah mereka telah berzina, apakah wajib mandi karena junub atau batalkah puasanya? Pengandaian ini bukan hanya tidak mungkin. Akan tetapi, imajinasi yang diskriminatif terhadap perempuan. Tapi, persoalan ini ada dalam kitab fiqih.

Nah termasuk fiqih Iftiradhi itu. Di antaranya, bisakah perempuan hamil tampa senggama? Bagaimana seandainya jika ada laki-laki “beristinja’ menggunakan batu”. Lalu, karena gosokannya kuat. Sehingga “mengeluarkan sperma”. Lantas kemudian spermanya diambil seorang perempuan dan dimasukkannya ke vaginanya, kemudian hamil. Pertayaannya bagaimana hukum dan apakah anak yang dilahirkannya bernasab pada pemilik sperma?

Dan bagimana seandainya jika ada suami istri senggama, kemudain spermanya dimuntahkan di luar. Namun, tetap menempel di tubuh istri, lalu oleh istri digesek-gesekkan pada wanita lain. Sehingga wanita lain itu telah hamil. Pertayaannya bernasab sama siapakah anak yang dilahirkan itu?

Bagaimana seandainya jika ada laki-laki mengeluarkan sperma, kemudian menikah, dan sperma yang keluar sebelum menikah itu dimasukkan pada perempuan yang sudah dinikahinya? Bagaimana hukumnya, dan bernasab pada siapakah anak itu?

Dalam pertanyaan yang berbeda, bagaimana seandainya jika ada laki-laki dan perempuan berzina, di tengah ejakulasi dan spermanya muntah di luar. Lalu, diambil oleh istrinya dan dimasukkan pada bagian vaginanya, hamil dan melahirkan. Bagaimana hukum, dan anak siapakah ini?

Pertayaan penulis selanjutnya, bagimana seandainya jika ada laki-laki onani. Kemudian, spermanya berhamburan, dan kemudian diambil oleh perempuan lain atau istrinya. Lalu, dimasukkan pada bagian vaginanya. Bagaimana hukumnya dan apa dampaknya?

BACA JUGA  Hukum Menggemakan Takbir Idul Fitri Di Jalanan 

Adapun pertanyaan lain, bagaimana seandainya jika ada perempuan memasukkan sperma pada bagian vaginanya, yang ia duga adalah sperma suaminya. Padahal, bukan. Bagaimana hukum dan konsekuensinya?

Selain pertanyaan tersebut, juga muncul pertanyaan lain. Bagaimana jika seandainya istri yang dicerai tiga. Lalu, menikah dengan laki-laki yang punya penis tak berhelem, atau penisnya lumpuh. Sehingga ketika penisnya dimasukkan yang seadanya itu. Apakah cukup sebagai tahlil atau muhallil?

Dalam persoalan ini, secara esensial pokok-pokoknya masih banyak “puluhan seandainya” dalam persoalan tersebut. Dalam fiqih dikenal dengan teori “idkhal dan istidkhal“.

Jawaban dari pertayaan pertayaan itu semunya telah disediakan oleh sang faqih pengandai.  Apakah itu benar-benar terjadi atau tidak?  Itu tidak penting. Yang penting adalah kepuasan ilmiah karena telah menjawab masalah yg dianggap antik dan rumit.

Bagi yang ingin mengetahui jawabannya, saya persilahkan publik untuk membaca kitab-kitab terkait (1) asna al mathalib fi syarhi raudhatit thalib, (2) raudhatu thalibin wa umdatu al muftin, (3) al majmu’, dan kitab syafi’i lainnya.

Saya hanya ingin mengatakan, jika ada kawan-kawan hari ini yang berpendapat bahwa perempuan harus hati-hati mandi di kolam renang, di sungai, atau suatu ketika banjir, karena bisa hamil akibat sperma yang berkeliaran, maka kemungkinan ia terinspirasi oleh pandangan kitab-kitab fiqih itu.

Maka sebaiknya membaca fiqih atau mendengar ceramah fiqih, janganlah ditangkap dan dimaknai hitam putih. Sebab fiqih zaman dulu dirumuskan dalam situasi yang serba kekurangan (walaupun ulamanya hebat), antara lain kekurangan informasi ilmu pengetahuan, dan bahkan ilmu pengetahuan sendiri saat itu belum hebat seperti sekarang.

Membaca fiqih, penting memperhatikan konteks kelahirannya, dimana dan kapan akan diterapkan, serta membaca kembali dengan pendekatan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu humaniora yang telah berkembang sangat maju. Jika tidak, maka fiqih is Dead.

Oleh: Imam Nakha’i

Komisioner Komnas Perempuan dan Anak.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru