31.5 C
Jakarta

Gerakan Aceh Merdeka dan Jalan Terjal Integrasi Politik

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuGerakan Aceh Merdeka dan Jalan Terjal Integrasi Politik
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
Judul: Konflik dan Integrasi Politik Gerakan Aceh Merdeka: Kajian Tentang Konsensus Normatif Antara RI-GAM dalam Perundingan Helsinki, Penulis: Moch. Nurhasim, Penerbit: Pustaka Pelajar, Tahun Terbit: Pertama, Juli 2008, ISBN: 978-602-8055-96-3, Peresensi: Muhammad Ghufron.

Harakatuna.com – Kajian ihwal integrasi politik Gerakan Aceh Merdeka, barangkali, masih minim perhatian publik. Beda dengan kajian integrasi nasional di masa Orde Lama (Orla) dan Orde Baru (Orba), misalnya, yang banyak dikupas oleh kalangan akademisi kita.

Salah satu kajian yang menilik integrasi politik Aceh pernah ditulis Nazaruddin Sjamsuddin, dengan fokus pada pendekatan Orba dalam integrasi politik di Aceh tahun 1970-1980-an. Namun, studi ini terbilang berjangka pendek. Hanya menekankan pada aspek keamanan dari pada pendekatan integrasi politik. Menyebabkan potensi disintegrasi dapat terulang kembali.

Pada mulanya, GAM adalah sebuah organisasi terbatas. Diinisiasi oleh sekelompok intelektual yang kecewa atas model pembangunan di Aceh. Berawal dari kemarahan atas penyelenggaraan pemerintahan di bawah orang-orang Jawa, mereka menganggap telah terjadi kolonisasi Jawa atas masyarakat dan kekayaan Aceh. Gerakan ini dideklarasikan oleh Hasan Tiro, dkk, dan dilakukan secara diam-diam. Ia telah mereproduksi gagasan anti-kolonisasi Jawa.

GAM kemudian dicurigai sebagai gerakan bawah tanah oleh pemerintah Orde Baru, di saat salah satu anggota dari mereka tertangkap oleh polisi karena pemalsuan formulir pemilu 1977.

Dalam interogasi politik ditemukan adanya pengakuan, bahwa telah ada proklamasi kemerdekaan GAM oleh Hasan Tirto, dkk. Orde Baru menanggapi gerakan ini secara represif, mengirimkan tentara sebagai alat menumpas pemberontakan GAM.

Realitas macam ini kian meneguhkan bahwa tidak ada referensi pada masa Orde Baru untuk melakukan upaya integrasi politik bagi kelompok ini. Akibatnya, terjadi pelbagai kecenderungan yang sangat destruktif.

Terjadi pembunuhan di mana-mana, pemerkosaan, penculikan, justru timbul sebagai antitesis dari proses integrasi politik di masa Orde Baru. Akibatnya, seolah menjadi luka masa lalu, sumber-sumber separatisme dan sebab-sebab separatisme di Aceh tumbuh semakin subur.

Tak ada konsensus antara GAM dan pemerintah Indonesia. Pelbagai upaya resolusi selalu mengedepankan cara yang sama, yakni pendekatan militeristik. Meski di pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri, ada upaya untuk melakukan dialog damai, namun upaya ini masih dibayang-bayangi oleh ketakutan, bahwa cara ini masih kurang efektif untuk menghentikan pemberontakan GAM, sehingga pendekatan militer pun kembali ditempuh melalui kebijakan Operasi Terpadu.

Melalui buku ini, Nurchasim hendak mendeskripsikan sebuah pendekatan baru untuk menyelesaikan separatisme Aceh, yakni integrasi politik yang mulai bergulir pasca pemilu 2004. Sedari Januari hingga Juli 2005, pemerintahan yang baru kala itu (Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla), melakukan empat pembicaraan informal dengan Gerakan Aceh. Penandatanganan MoU Helsinki, 15 Agustus 2005, merupakan hasil akhir dari pembicaraan informal ini.

Sebagaimana tercermin dalam MoU Helsinki itu, cakupan integrasi politik ini mencakup beberapa aspek: penyelenggaraan pemerintahan Aceh; partisipasi politik; ekonomi, peraturan perundang-undangan; hak asasi manusia; amnesti dan reintegrasi ke dalam masyarakat; dan pengaturan keamanan. Cakupan integrasi politik ini merupakan upaya pemerintah untuk mengembalikan GAM menjadi Warga Negara Indonesia (WNI).

BACA JUGA  Menangkal Overdosis Beragama

Hal tersebut ditempuh dengan cara memberikan beberapa kelonggaran terhadap pihak GAM. Mulai dari adanya pengampunan, kompensasi ekonomi, dan peluang politik bagi mantan anggota GAM untuk terlibat dalam pemerintahan, sebagai cara untuk mengintegrasikan pihak GAM ke dalam Republik Indonesia. Proses ini kemudian melahirkan konsensus normatif sebagai jalan bagi integrasi politik.  (Hal-15)

Meski pada mulanya kedua belah pihak (RI-GAM) memiliki posisi yang saling berseberangan. Pemerintah RI menghendaki penyelesaian separatisme Aceh dalam kerangka otonomi khusus, sedangkan pihak GAM tetap menuntut kemerdekaan.

Keberhasilan pemerintah RI dalam membujuk pihak GAM untuk mengakui konstitusi RI sebagai kerangka penyelesaian separatisme merupakan pencapaian paling dasar. Bukan sesuatu yang mudah bagi kedua belah pihak untuk mencari model penyelesaian separatisme di Aceh.

Jalan menuju Helsinki pun berliku. Nurchasim menggambarkan bahwa untuk mencapai perundingan dengan kelompok separatis, tidak mungkin dapat dicapai jika tidak ada upaya dari pemerintah RI untuk mendekati pihak lawan.

Salah satu faktor adanya perjanjian Helsinki bermula saat orang kepercayaan Jusuf Kalla masuk dalam lini petinggi GAM di Swedia dalam rangka membangun kepercayaan dengan pihak GAM. Faktor lainnya adalah adanya bencana tsunami dan prasyarat dari donatur internasional agar ada jaminan keamanan di Aceh.

Setelah proses tersebut dilalui, barulah pihak RI dapat mengajak pihak GAM untuk duduk melakukan tawar-menawar melalui proses perundingan. Ada dua tahap yang dilakukan. Penulis menjelaskan perbedaan posisi dasar kedua belah pihak dalam perundingan tahap pertama.

Akibat posisi dasar yang berbeda tersebut, perjanjian pun terancam bubar. Namun, dalam perundingan tahap kedua, masih terdapat celah untuk melanjutkan perundingan dengan adanya konsep alternatif dari pihak GAM “Self-Government”, sebagai pengganti atas konsep otonomi khusus yang ditawarkan oleh pihak RI.

Penulis juga menyajikan berbagai agenda-agenda penting yang diajukan oleh kedua belah pihak dalam beberapa babak pertemuan perjanjian, strategi integrasi yang ditawarkan oleh kedua belah pihak, dan proses tawar-menawar antara pihak RI dengan GAM hingga tercapainya konsensus normatif antar kedua belah pihak.

Selain itu, dijabarkan pula mengenai konsep pendekatan baru yang dirancang oleh pihak RI, hingga lahirnya MoU Helsinki, serta beberapa kesepakatan dalam konsensus integrasi dan model integrasi yang dikembangkan oleh kedua belah pihak.

Puncak pembahasan buku ini diakhiri dengan model penyelesaian konflik dan integrasi di Aceh. Bagaimana penulis meletakkan konsensus normatif dalam sejumlah kerangka teori yang ditawarkan: teori integrasi, teori separatisme, dan resolusi konflik dan reintegrasi.

Meskipun kajian di buku ini bukan untuk membuktikan teori, namun dengan menganalisis teori-teori yang digunakan sebagai penjelasan atas integrasi politik di Aceh secara implisit akan memberikan kritik teoritis terhadap teori-teori integrasi politik yang selama ini digunakan.

Muhammad Ghufron
Muhammad Ghufron
Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, bergiat di Jurnal Moderasi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Komunitas Lensa Sosio-Agama. Tinggal di Bantul, DI Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru