Harakatuna.com – Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengusulkan agar pemerintah mengontrol semua tempat ibadah di Indonesia agar tempat ibadah tidak menjadi sarang radikalisme. BNPT berkaca dari negara-negara luar.
Ide ini disampaikan Kepala BNPT Rycko Amelza Dahniel dalam rapat dengan Komisi III DPR, Senin (4/9/2023). Katanya, BNPT sudah melakukan studi banding di negeri jiran Singapura dan Malaysia serta negara-negara yang jauh, yakni di Oman, Qatar, Arab Saudi, serta negara di Afrika Utara, yakni Maroko.
Kelihatannya, setelah melakukan studi banding, kepala BNPT merasa perlu membuat regulasi baru. Kepala BNPT bahkan mengusulkan agar ada mekanisme kontrol serupa di Indonesia. Ini tidak khusus untuk masjid saja, melainkan juga untuk semua tempat ibadah dari agama apa pun di Indonesia. Sporadis.
“Mungkin, dalam kesempatan yang baik ini, kita perlu memiliki sebuah mekanisme untuk melakukan kontrol terhadap seluruh tempat ibadah, bukan hanya masjid, tapi semua tempat peribadatan kita. Siapa saja yang boleh memberikan, menyampaikan konten di situ, termasuk mengontrol isi daripada konten supaya tempat-tempat ibadah kita ini tidak dijadikan alat untuk menyebarkan ajaran-ajaran kekerasan, ajaran-ajaran kebencian, menghujat golongan, pimpinan, bahkan menghujat pemerintah,” tutur Kepala BNPT Rycko Amelza Dahniel.
Bahkan dalam sesi selanjutnya, BNPT mengingatkan Indonesia untuk belajar dari negara-negara tetangga, negara di Timur Tengah, dan negara di Afrika. Di mana, penggunaan tempat ibadah untuk proses radikalisasi sudah sedemikian masif dan potensial di sana.
Pertanyaannya, apakah harus melakukan kontrol seperti itu dalam menumpas radikalisme dari bumi Indonesia? Apakah tidak ada cara lain yang lebih elok dan efektif sekadar untuk menghilangkan radikalisme?
Harus diakui, memang radikalisme dan paham terorisme di kegiatan keagamaan nyata dan terjadi. Karena itu harus ditanggulangi. Namun apakah harus dengan mengontrol tempat ibadah dengan sedemikian ketatnya? Ingat, pendekatan serbakontrol sangat berbahaya. Kontrol mudah tergelincir menjadi bentuk tirani atau diktatorisme.
Meski kita sama-sama berupaya untuk menghilangkan radikalisme dari bumi Indonesia, tapi mengontrol semua tempat ibadah, tidak tepat. Okelah, BNPT berkaca kepada negara-negara sebelah, juga negara-negara Timur Tengah yang memiliki mekanisme kontrol tempat-tempat ibadah. Bagi luar negeri mungkin cocok, tapi bagi Indonesia?
Untuk membunuh tikus jangan bakar lumbung atau rumahnya. Harusnya, tikus-tikusnya yang disuntik secara langsung. Harusnya, BNPT memikirkan bagaimana menarget tikus tanpa harus menghanguskan tempat ibadah.
Orang Indonesia tidak terlalu suka dikontrol rumah ibadahnya. Meski memang ada rumah ibadah yang melakukan rekrutmen atau melakukan propaganda terhadap jamaahnya, namun tidak otomatis yang salah adalah rumah ibadahnya. Sebab, alih-alih mengontrol rumah ibadah, semestinya BNPT memberi daya (ide) tawar bagaimana cara menghentikan paham radikal atau teroris.
Terhadap tempat ibadah, ini bukanlah tupoksi dari kerja-kerja BNPT. Tapi yang memiliki andil adalah lembaga keagamaanlah yang paling berhak merumuskan maupun menjalankannya. Jadi kalau memang rumah ibadah itu menjadi basis penyebaran radikalisme, seharusnya BNPT bekerja sama dengan Dewan Masjid Indonesia untuk merumuskan pencegahan radikalisme tersebut.
Aneh sekali jika sebuah lembaga negara ingin mengawasi rumah ibadah secara sporadis. Jika ini terjadi, bukan terorisme dan radikalismenya yang menakutkan dan membahayakan, namun BNPT ini sendiri yang akan membuat sentimen dan radikalisme semakin kuat. Ide menakutkan!