Harakatuna.com. Gabungan organisasi masyarakat di Kota Makassar, Sulawesi Selatan berencana akan menggelar nonton bareng atau nobar film pengkhianatan Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia atau G30S PKI. Nobar diadakan Brigade Ummat Sulawesi Selatan.
Menurut Viva, rencananya, lokasi nobar digelar di Sekretariat Partai Ummat DPW Sulsel, Jalan Sultan Alauddin, Makassar, pada pukul 19.30 WITA, Kamis malam, 30 September 2021. Forum Ummat Islam Bersatu (FUIB) Sulawesi Selatan, terlebih dahulu akan menggelar webinar bertema “jangan lupakan kekejaman komunis”, bertempat di Masjid Nurul Istiqamah, Blok M, Bumi Tamalanrae Permai (BTP), Kota Makassar (Viva/29/10/21).
Banyak masyarakat semangat menonton film tersebut. Meski sampai saat ini film masih menjadi kontroversi lantaran sejarah peristiwa Gerakan 30 September 1965 belum terkuak sepenuhnya. Sinema yang diproduksi Perum Perusahaan Film Negara (PPFN) pada 1984 ini, kerap disebut sebagai propaganda ala rezim Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto kala itu (Tirto,id).
Mengingat, pada era Soeharto, film yang disutradarai oleh Arifin C. Noer ini rutin diputar saban tahun dan dihentikan setelah rezim Orde Baru tumbang akibat gelombang Reformasi 1998. Namun, beberapa tahun belakangan, beberapa pihak, bahkan pejabat negara dan stasiun televisi, kembali memutarnya. Dan juga sampai hari ini.
Dari segi bisnis, Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI juga menggapai prestasi di industri film nasional. Film ini masuk dalam 7 nominasi Festival Film Indonesia (FFI) 1984 kendati hanya memenangkan satu Piala Citra untuk kategori Skenario Terbaik. Tak hanya itu, film Pengkhianatan G30S/PKI meraih pula Piala Antemas yang merupakan penghargaan khusus di ajang FFI saat itu sebagai Film Unggulan Terlaris periode 1984-1985. Pengamat film Thomas Barker, dikutip dari tulisannya yang terhimpun dalam buku Mau Dibawa ke Mana Sinema Kita? (2011) mengungkapkan bahwa penghargaan yang diraih film Pengkhianatan G30S/PKI merupakan gabungan dari kepentingan negara dan FFI (Tirto.id).
Namun, yang tetap mempropagandakan film Pengkhianatan G30S/PKI adalah ormas-ormas radikal. Meski sebenarnya mereka tidak tahu bahwa film itu merupakan propaganda Soeharto. Menurut Tirto, tidak semua kejadian yang disuguhkan di dalam film tersebut merupakan peristiwa yang sebenarnya. Banyak adegan yang didramatisir untuk mengesankan bahwa PKI dan komunisme merupakan ancaman nyata bagi bangsa Indonesia.
Propaganda Ormas Radikal di Digital
Pada abad ini, teknologi telah menjadi kehidupan itu sendiri. Dia menggantikan dunia yang ada, bapak, ibu, pikiran, dan mungkin juga pacar. Semuanya diurus oleh digital. Jika kita pengen jajan, sekali klik datanglah makanan. Jika kita pengen belajar agama, datanglah bahan atau konten yang mengajari tentang agama. Nah, disitulah kerentatan kita sebenarnya. Pikiran hilang tergantikan digital. Urat terpinggirkan digantikan digdayanya digital. Maka, pikiran dan urat telah mati.
Benar apa yang dikatakan editorial Harakatuna. Bahwa teknologi telah menjadi kehidupan nomor satu di badan milenial. Apa-apa yang diperlukan mereka lebih memilih digital sebagai jalan pintas utamanya ketimbang dunia nyata. Maka, kemudahan-kemudahan tersebut, bisa menjadi lembah yang mudah juga digunakan ideolog-ideolog transnasional radikal untuk merambah ke seluruh pelosok Indonesia, dengan memanfaatkan disrupsi teknologi. Jika kecepatan konektivitas 4G saja telah sehebat itu jualan ideologi transnasionalnya selama ini, bagaimana jika 5G kelak.
Mengingat kita yang sebentar lagi bakal berada pada perangkat yang super canggih, sudah saatnya kita memperkakaskan diri. Salah satunya sejak sekarang kita sudah menyiapkan atau meraba apa yang bakal terjadi. Di pihak negara, dengan memperjelas bahtera ekspansi ideologi transnasional dan bahayanya. Sementara kita, sepatutnya menghindari atau mengkaji apa-apa yang membahayakan orang terdekat dengan mengkonter narasi ideologi.
Paling tidak, mengerjakan apa seperti Jokowi mengatakan: “Pancasila harus menjadi fondasi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkeindonesiaan. Saya mengajak seluruh aparat pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, para pendidik, kaum profesional, generasi muda Indonesia, dan seluruh rakyat Indonesia untuk bersatu padu dan bergerak aktif untuk memperkokoh nilai-nilai Pancasila dalam mewujudkan Indonesia maju yang kita cita-citakan,” (detik 1/6/21).
Kendati demikian, sudah saatnya kita menerapkan konsep dan arahan presiden Indonesia. Menolak dengan keras ideologi transnasional, radikal dan terorisme. Termasuk konsep khilafah, HTI dan ISIS. Jika bisa dilakukan, maka radikalisme dan terorisme bakal tidak punya tempat dan wadah di NKRI.