31.3 C
Jakarta

Menelanjangi HTI dengan Empati

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuMenelanjangi HTI dengan Empati
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Judul Buku: Mengenal HTI Melalui Rasa Hati, Penulis: Ayik Heriansyah, Penerbit: Pustaka Harakatuna, Tahun Terbit: Cetakan Ke-1 2020, Tebal: xx + 278 Halaman, ISBN: 978-623-93356-4-9, Peresensi: Ahmad Khoiri.

Felix Siauw, ustaz paling maniak khilafah di republik ini, yang pintar menulis, cerdas bertutur, ahli memutar-balikkan fakta, sang dedengkot HTI, curhat di Instagram, pada Jum’at (2/10) kemarin. “Persekusi Buku,” begitu judulnya. Dirinya menceritakan, dulu, Nabi Muhammad dengan “narasi kebenaran”-nya berhasil mengislamkan Thufail bin Amru. Namun, terang Felix, “narasi kebenaran” yang ia bawa justru dipersekusi. Pada kasus tersebut, Felix sebagai budak HTI sekadar playing victim, bukan?

Kebusukan HTI, kepalsuan syariat yang mereka suarakan, narasi manipulatif para budaknya, adalah sesuatu yang nyata. Ini, salah satunya, sebagaimana diuraikan secara detail dalam buku berjudul Mengenal HTI Melalui Rasa Hati karya Ayik Heriansyah, eks-Ketua HTI Bangka Belitung. Kang Ayik, sapaan akrabnya, membuka tabir palsu HTI, mengungkap jati diri mereka sebenarnya, menguraikan agenda politik dan propagandanya. Felix Siauw termasuk salah satu tokoh yang ditelanjanginya.

“HTI adalah partai politik. Sebenarnya kepentingannya hanya kekuasaan… Adapun syariah Islam dan khilafah merupakan isu yang dipropagandakan HTI untuk menutupi ambis mereka… HTI mengandalkan politik pencitraan dalam rangka meraih simpati umat. Mereka berkamuflase, menipu dan menyebarkan kebohongan demi citra. Jadi pada setiap momen, saya menyaksikan kesesatan HTI. Hal ini tidak sejalan dengan hati nurani saya,” terang Kang Ayik di kata pengantar.

Buku Kang Ayik, yang perdana dibedah pada Sabtu (9/10) kemarin, merupakan kumpulan tulisan, lima puluh empat judul, yang ia tulis khusus menguak keburukan para maniak khilafah di Indonesia. Kalimat “Dengan Hati” pada judul buku merupakan personifikasi, setidaknya, bahwa keterlibatan penulis dengan HTI di masa lalu, bahkan pernah menjabat sebagai ketua daerah, telah menciptakan perspektif ganda, yakni insider dan outsider. Tentu, tidak semua pegiat HTI memiliki perspektif demikian.

Kang Ayik tahu persis, HTI itu sangat buruk. Itu karena ia pernah terlibat di dalamnya. Pada saat yang sama, ia berusaha menguraikan kemasifan pergerakan mereka, melakukan kontra-narasi terhadapnya. Sepuluh poin pertanyaan yang tidak pernah dijawab para aktivis khilafah, yang disinggung Moch Syarif Hidayatullah dalam kata pengantar, kecuali pada poin kesepuluh, merupakan kemusykilan HT secara umum. Sementara, Kang Ayik sendiri bertolak dari pengalaman empiris vis-à-vis intelektualitasnya.

Gurita Politik HTI

Buku setebal 278 halaman ini, kalau dipetakan, di samping mengulas autobiografi HTI seperti pada judul “Orang Lebanon Pembawa Hizbut Tahrir ke Indonesia”, mengandung dua topik besar: gurita politik HTI dan penipuan-propaganda para aktivisnya untuk merongrong pemerintah di satu sisi dan menarik umat ke cengkeraman mereka di sisi lainnya. Kedua topik besar bisa kita jumpai, umpamanya, pada judul “Melacak Arus Radikalisasi di Sekolah Kedinasan” dan “Dibohongi HTI Pakai Bendera Tauhid”.

Ada dua medan yang HTI terjang. Pertama, sektor pendidikan. Kasus pemaksaan membaca buku “Muhammad Al-Fatih 1453”-nya Felix Siauw oleh Kepala Dinas Pendidikan kepada seluruh siswa SMA/SMK se-provinsi Bangka Belitung beberapa hari lalu, meskipun tidak lama kemudian dibatalkan, adalah bukti jelas bahwa mereka menggerayangi dunia pendidikan. Kampus-kampus umum atau sekolah kedinasan menjadi sasaran empuk, untuk menancapkan ideologi mereka.

BACA JUGA  Dinamika Zaman dan Sisi Lain Gerakan Radikal

“Kampus menjadi medan tempur antargerakan Islam transnasional. Bukan saja di tingkat mahasiswa melainkan juga di tingkat dosen dan staf kependidikan. Setiap kelompok transnasional mempunyai orang khusus yang menjadi supervisor bagi gerakan mereka di kampus.” [hlm. 43]

Kedua, lembaga pemerintahan. Misalnya, ketika Kang Ayik mengulas ikhwal ASN yang berasal dari aktivis HTI [hlm. 24], maka gurita politik mereka di ASN itu sendiri bukan lagi persoalan yang ringan. Kedudukan mereka di berbagai posisi strategis tidak sekadar menyokong eksistensi mereka, melainkan juga memberikan akses penuh terhadap indoktrinasi yang diagendakannya. Meminjam istilah Kang Ayik, “Di sini HTI tidak fair. Bisa dikatakan licik.” [hlm. 165]

Gurita politik Hizbut Tahrir Indonesia  melingkupi berbagai kalangan. Serangan mereka ibarat tentakel, yang tidak berhenti melilit selama musuh belum lumpuh. Partai PDI-P adalah musuh bebuyutan mereka. Siapa pun yang ada di PDI-P, dalam pandangan mereka, pasti antek-antek komunis. Ahmad Khozinuddin, seorang advokat di LBH Pelita Umat pernah menyerang PDI-P dengan isu PKI. Kata Kang Ayik, “serangan HTI ini berbahaya karena mengadu domba umat Islam dengan umat Islam lainnya…” [hlm. 199]

Dalang Penipuan dan Propaganda

Selain menelanjangi gurita politik HTI, Kang Ayik, melalui buku ini, menguraikan tipuan-tipuan dan propaganda yang mereka lakukan. Ia misalnya menulis, “Bajak Sejarah Nusantara, HTI Produksi Film Propaganda Politik,” yang menguraikan penipuan para aktivis khilafah, mencatut nama tokoh demi menipu umat, dan memanipulasi sejarah demi kepentingan utopis mereka. Juga pada judul “Yusanto, Suteki dan Ramalan NIC,” Kang Ayik menulis sebagai berikut:

“Bagi pejuang khilafah, propaganda-propaganda politik yang disampaikan oleh tokoh-tokoh mereka menjadi pembakar semangat untuk terus berjuang, tanpa peduli apakah itu nash syar’i atau ramalan dari badan inteligen asing. Propaganda-propaganda politik sangat mudah masuk ke dalam kesadaran naif pejuang khilafah.” [hlm. 248]

Penipuan para aktivis khilafah juga dilakukan, tidak kalah masif, dengan membuat narasi yang identitasnya disembunyikan. Tulisan “Narasi Jorok Nasjo” dan “Nasrudin Joha, Si Jubir Fiktif HTI, yang Merasa Jumawa, Siapa Sebenarnya?,” dua judul artikel terakhir, menelanjangi narasi siluman para aktivis khilafah Hizbut Tahrir Indonesia. Narasi mereka suguhkan, sementara identitas mereka samarkan. Mereka merasa cerdas, berbobot tulisannya, tetapi tidak ingin umat mengetahui jati dirinya.

“Mereka tidak sadar, sebenarnya mereka sekelompok orang yang bodoh, dungu dan tolol. Karena mereka menghabiskan usia dan harta untuk perkara yang haram yakni mendirikan khilafah di atas khilafah dan mau membai’at khalifah yang kedua setelah ada khalifah yang pertama.” [hlm. 272]

Banyak yang Kang Ayik kupas dalam buku ini yang tidak akan kita temui dalam buku-buku HTI yang ditulis oleh bukan orang yang pernah terlibat di dalamnya. Autobiografi HTI yang Kang Ayik uraikan secara kasuistik, menambah lekat empati untuk menelanjangi mereka secara haluan politik dan narasi keagamaan palsunya. Hizbut Tahrir tetaplah Hizbut Tahrir, di manapun mereka berada. Mereka senantiasa berkamuflase, bersiasat, berpropaganda, seolah tengah membela Islam dan kejayaannya. Tugas kita, umat Islam, sebagaimana Kang Ayik lakukan, adalah menelanjangi siasat-intrik mereka.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru