32.5 C
Jakarta

Darurat Solidaritas: Lawan Polarisasi Politik dan Perpecahan Bangsa!

Artikel Trending

KhazanahPerspektifDarurat Solidaritas: Lawan Polarisasi Politik dan Perpecahan Bangsa!
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Setelah melewati proses Pemilu pada 14 Februari 2024 kemarin, akhirnya Indonesia punya presiden baru. Para lembaga survei sudah melakukan hitung cepat (quick count) Pilpres 2024. Hasilnya adalah, pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka unggul jauh dari Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.

Perjalanan kontestasi Pemilu 2024 telah berjalan secara aman dan juga damai. Namun, di sisi lain, ia menyisakan satu lagi tantangan berat yang harus diperhatikan oleh semua pihak: konflik sosial dan polarisasi. Ia melibatkan seluruh lapisan masyarakat, terpecah oleh agenda-agenda politik saat proses perebutan suara saat pesta demokrasi kemarin.

Dalam sistem demokrasi, rakyat memang menjadi komponen penting serta kunci utama meraih kemenangan dalam agenda politik. Maka dari itu para elite politik tidak segan blusukan demi mencari suara rakyat sebanyak-banyaknya, tidak peduli apakah itu cara positif atau negatif. 

Dikutip dari buku Eksplor Pendidikan Kewarganegaraan, menurut Abraham Lincoln, demokrasi adalah “pemerintahan rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.” Artinya Lincoln berpandangan rakyat adalah nafas demokrasi. Bagaimana demokrasi terbentuk bergantung pada partisipasi dan dukungan rakyat sepenuhnya.

Kontestasi Pemilu secara jelas mensegmentasi atau membagi berbagai elemen masyarakat sesuai dengan pilihan politik mereka. Dengan didasari berbagai latar belakang mulai dari ideologi, politik, sosial, ekonomi, budaya, bahkan agama, masyarakat akan memilih kelompok politik yang sesuai dengan hati nurani mereka. 

Fenomena tersebut menghasilkan fragmentasi atau polarisasi antarmasyarakat. Setiap segmen merasa lebih terikat dengan kelompok politik tertentu dan cenderung untuk mendukung agenda dan kandidat yang sesuai dengan pandangan mereka.

Tidak heran setiap Pemilu dilaksanakan pasti juga membawa potensi konflik sosial dan polarisasi negatif di dalamnya. Khususnya ketika Pemilu telah selesai digelar, pasti ia masih menyisakan berbagai dampak dan reaksi yang tertinggal dalam internal masyarakat. Ini terjadi karena proses politik yang intensif selama kampanye, yang cenderung memperkuat perbedaan-perbedaan politik dan memunculkan ketegangan antarkelompok masyarakat.

Kejadian serupa juga terjadi di Pemilu 2024 saat ini. Terpilihnya tiga paslon yaitu pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud telah membagi masyarakat Indonesia menjadi tiga kelompok politik yang saling bersaing mendapatkan kursi kekuasaan. 

Tidak dapat dipungkiri, untuk menguatkan basis politik dukungan mereka atau menjatuhkan elektabilitas lawan, masing-masing paslon tidak segan menggunakan cara-cara yang kurang etis. Maka dari itu ketiga kelompok politik ini sering mengalami perselisihan dan pertengkaran satu sama lain demi mewujudkan tujuan mereka. Pluralitas dan solidaritas masyarakat Indonesia yang awalnya terjalin rekat mulai renggang akibat perbedaan pilihan politik.

Arus Tiga Poros dan Potensi Konflik Sosial

Kontestasi Pilpres Indonesia tahun 2024 terbagi dalam tiga poros. Mereka memiliki ideologi politiknya masing-masing. Ideologi politik ketiga paslon ini masing-masing berhasil menarik perhatian semua elemen masyarakat.

Paslon nomor urut 01 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar yang mengusung jargon perubahan untuk kampanye politiknya menuju Pilpres 2024 telah mendapatkan simpati kelompok masyarakat. Hasil survei LSI menunjukkan, alasan terbesar warga mau memilih paslon 01, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, dalam Pilpres 2024, karena menginginkan adanya perubahan. 

Sementara itu pasangan Prabowo-Gibran berhasil mendapatkan lumbung suara yang sangat besar karena terfokus terhadap program keberlanjutan pembangunan yang telah dilakukan oleh Jokowi. 

Dan untuk pasangan nomor urut 03 Ganjar Pranowo-Mahfud mendapatkan dukungan berkat visi-misi mereka yang menginginkan Indonesia berubah menjadi negara maju dengan gerakan yang cepat.

Walaupun pesta demokrasi 2024 ini terbilang sangat damai, namun perlu kalian ingat dengan seksama bahwa tidak sedikit kampanye negatif dan narasi-narasi kebencian yang dilontarkan dari ketiga kelompok ini untuk saling menyerang dan menghancurkan. Alhasil timbullah ketegangan-ketegangan yang berujung pada pertikaian yang dialami masing-masing kubu.

BACA JUGA  Menghindari Tafsir Tekstual, Menyelamatkan Diri dari Radikalisme

Pada tahap pasca-Pemilu, ketegangan dan polarisasi politik yang terbentuk selama proses kampanye seringkali masih berlanjut. Puncaknya ketika pendukung kandidat yang kalah mungkin merasa kecewa atau tidak puas dengan hasil pemilihan, sementara pihak yang menang mungkin merayakan kemenangan mereka.

Hal ini dapat memperdalam jurang antara berbagai kelompok masyarakat, meningkatkan ketidakpercayaan, dan memicu konflik sosial yang lebih besar.

Kekecewaan dan ketidakpuasan hasil Pemilu yang telah dilandasi ketegangan dan polarisasi ini dapat berubah menjadi aksi demonstrasi dan protes. Jika protes tersebut berujung pada kekerasan atau kerusuhan, ini dapat memicu konflik sosial yang lebih luas.

Selain itu, Pemilu juga dapat meninggalkan jejak-jejak politik yang membentuk dinamika sosial yang kompleks dalam masyarakat. Misalnya, retorika yang tajam atau berita palsu selama kampanye dapat menyebabkan polarisasi yang lebih dalam di antara warga negara. Dampak ini dapat terus dirasakan bahkan setelah Pemilu berakhir, memperburuk ketegangan sosial dan mempengaruhi stabilitas politik dalam jangka panjang.

Kita berkaca pada Pemilu yang dilaksanakan 2019 silam, pertarungan antara Jokowi dan Prabowo yang menimbulkan dampak negatif dalam waktu yang berkepanjangan. Pasca Pilpres 2019 yang kedua calon presiden sama-sama mengangkat isu agama telah menjadikan toleransi agama sebagai korbannya.

Toleransi beragama di Indonesia adalah korban dari perang jargon identitas itu. Sebab walaupun setelah kontestasi Pemilu 2019 selesai dan Jokowi-Prabowo ada dalam satu pemerintahan, toleransi beragama Indonesia masih terkoyak. 

Hancurkan Polarisasi dan Kuatkan Demokrasi

Dalam waktu yang sangat krusial pasca-Pemilu 2024 ini dimana ketegangan dapat meledak menjadi pertikaian penting sekali untuk segera menyatukan solidaritas bangsa Indonesia yang sempat terkoyak karena polarisasi politik. Sangat penting untuk diperhatikan bahwa polarisasi politik dapat mengancam stabilitas sosial dan keamanan kehidupan bangsa Indonesia.

Ketegangan-ketegangan antarkubu politik harus segera diselesaikan agar tidak menjadi polarisasi yang sangat berbahaya. Kunci utama dalam menyelesaikan ketegangan politik adalah melalui dialog, komunikasi, dan kompromi antara berbagai pihak yang berseteru.

Dengan membuka ruang untuk mendengarkan dan memahami pandangan serta kepentingan masing-masing barisan politik, kita dapat mencapai kesepakatan yang menguntungkan semua pihak. 

Selain itu dalam penyebaran informasi di berbagai media juga harus benar-benar diperhatikan. Jangan sampai informasi-informasi hoaks yang menyesatkan semakin menambah ketegangan dan permusuhan. Informasi harus digunakan untuk mendewasakan rakyat dengan memberikan informasi yang faktual, aktual, objektif, dan apa adanya tanpa menambah bumbu yang lain.

Penting untuk diingat bahwa pemimpin melalui proses demokrasi adalah manifestasi dari kehendak rakyat. Siapa pun yang terpilih saat ini, berarti telah memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam proses demokrasi. Karena itu penting untuk mengawalnya sehingga tercipta demokrasi dan pembangunan yang positif untuk bangsa Indonesia.

Seperti dalam pandangan Abraham Lincoln yang telah disebutkan sebelumnya yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat maka setelah presiden terpilih maka tugas dari rakyat adalah memberikan pengawalan agar presiden menjalankan mandatnya sesuai dengan arah yang telah ditetapkan dalam konstitusi.

Termasuk dalam pengawalan tersebut rakyat dapat terlibat untuk mengawasi tindakan pemerintah. Juga, memberikan masukan dan kritik konstruktif, serta memastikan akuntabilitas pemerintah terhadap rakyat.

Itu semua dapat dilakukan dengan bergotong-royong dan menguatkan kembali persaudaraan bangsa Indonesia yang hampir terkoyak karena agenda-agenda politik. Hal tersebut dapat memberikan arah gerak yang positif dalam pembentukan demokrasi di Indonesia. Selain itu, ia juga dapat mendorong masyarakat lebih aktif dalam pembangunan bangsa dan negara. Negara ini daurat solidaritas, maka lawan polarisasi politik dan perpecahan bangsa sekuat mungkin!

Muhamad Andi Setiawan
Muhamad Andi Setiawan
Sarjana Sejarah Islam UIN Salatiga. Saat ini aktif dalam mengembangkan media dan jurnalistik di Pesantren PPTI Al-Falah Salatiga.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru