26.3 C
Jakarta

Corak Tafsir Tradisionalis: Pangkal Islam Fundamentalis

Artikel Trending

KhazanahOpiniCorak Tafsir Tradisionalis: Pangkal Islam Fundamentalis
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Umat Muslim perlu tahu bahwa meningkatkan kualitas dan nilai Islam di kancah modern, merupakan tuntutan agama. Bagaimana bisa dikata, Ilmu pengetahuan telah membawa peradaban yang mula-mula masih mengamini kekuatan magis dan supranatural, kepada pemahaman yang lebih positivistis. Hal itu tidak bisa dielakkan, dengan produk-produk keilmuan yang variatif, dari teknologi digital, seperti artificial intelegent, senjata perang, transportasi dan masih banyak lagi.

Kemajuan zaman terbilang pesat. Tenaga manusia sudah tidak lagi sepenuhnya dibutuhkan dengan hadirnya teknologi yang lebih canggih dan mampu diprogram dan bekerja secara otomatis. Pembaharuan demi pembaharuan tersembur merupakan produk dari terlahirnya metode berpikir yang baru, yang lebih logis, ilmiah, dan sistematis.

Pada era klasik sebelum datangnya filsafat, berpikir rasional dan kritis belum menjadi metodologi kolektif bagi masyarakat yang masih mengedepankan aspek-aspek magis dan masih terkekang dalam kepercayaan mitos.

Sedangkan, pada era corak berfikir filsafati membebaskan manusia pada pola berpikir fragmentis dan membimbing manusia untuk berpikir secara koheren dan integral. Pembaharuan yang dilakukan oleh filsafat mendobrak pintu serta tembok-tembok tradisi, bahkan telah menguak mitos mite, dan meninggalkan cara berpikir mistis.

Jika dinaimka zaman menuntut adanya pemaharuan di beberapa sektor bidang kehidupan, seperti teknologi, industri, dan lainnya, maka umat Islam juga perlu menciptakan pembayaran-pembayaran, khusuanya dalam cakupan metodologi berpikir. Karena sesuai dengan warna dari tradisi keilmuan, baha jalan pikiran akan menentukan sejauh mana kita mampu menyelami kehidupan ini.

Tafsir menjadi momok penting dalam eksistensi Islam di masa sekarang. Untuk itu, tafsir butuh adanya evolusi metodologis yang mampu menguraikan makna-makna ayat secara komprehensif dan menjadi refrensi bagi umat muslim kontemporer. Mengapa? Karena tafsir menyampaikan pesan-pesan ilahiah yang tujuannya menjadi problem soulving, atau dalam bahasa Al-Qur’an hudan, di setiap zaman. Hal itu juga sebagai nilai intepretatif dari makna al-Qur’anu shaalih likulli zaman wa makan.

Al-Qur’an tidak layak dipahami secara atomistis. Karena pesan yang disampaikan al-Qur’an lebih dari itu. Al-qur’an, dalam penafsirannya, butuh prosedur yang sistematis dengan mengintegrasikan nilai-nilai intelektual secara aktif.

Sebagaimana yang dipaparkan oleh Fazlur Rahman, bahwa Al-Qur’an perlu dipahami secara konkret dan komprehensif dengan metodologi yang sistematis. Sehingga, ia mencetuskan teori double movement sebagai sumbangan bagi metodologi tafsir al-Qur’an. Karena bagaimanapun itu, tafsir akan mejadi rujukan utama bagi semua kalangan muslim dalam pragmatisasi nilai-nilai al-qur’an.

Corak Tafsir Tradisionalis

Al-Qur’an tidak cukup jika hanya dimaknai secara literal tanpa adanya interpretasi yang dalam dengan metdologi yang ilmiah. Metdologi tafsir semacam itu diaplikasikan oleh beberapa sekte Islam yang bisa dibilang klasik. Alhasil, mereka tidak menerima pandangan-pandangan rasional dalam telaah al-Qur’an. Dampak buruknya adalah kekeliruan dalam memaknai isi al-Qur’an yang memicu konflik internal dalam Islam.

Menurut Abed al-Jabiri, penafsiran tradisionalis masih memgeang teguh otoritas teks, sehingga model penafsorannya adalah tekstual. Dalam artian, corak yang diaplikasikan menghilangakan anasir-anasir sosiologis, antropologis, psikologis, dan pendekatan lainnya. Selain itu, kecenderungan corak tafsir klasik adalah metode deduktif dan atomistik.

Misalnya, pemabahasan tentang qisas atau nyawa dibalas nyawa dalam al-Qur’an. Sekte yang masih mempertahankan corak klasik/tradisionalis dalam tafsir, akan mengaggap kebijakan tersebut sudah final dan tidak bisa diganggu gugat.

BACA JUGA  Kaffah Tanpa Khilafah, Kenapa Tidak?

Padahal, jika ditelaah secara lebih luas, dengan mengaplikasikan pendekatan yang lebih modern, maka kebijakan tentang huku qisas masih bisa diperdebatkan. Karena keadaan zaman akan berpengaruh dalam ketentuan hukum, maka dalam menciptakan suatu kebijakan, penting untuk melihat nilai-nilai yang berlaku di zaman tersebut.

Beralih ke Corak Tafsir Modern

Sudah banyak wacana kontemporer yang mengugat akan legalisasi corak tafsir tradisionalis, karena kehilangan relevansinya dengan zaman modern ini. Tokoh seoerti Fazlur Rahman menolak keras akan masih dopertahankannya corak tafsir klasik. Tidak ada makna yang bisa diambil secara esensial dan pragmatisnya untuk kebutuhan umat. Tafsir klasik hanya menampilkan penjelasan yang bersifat definitif.

Hans Jansen, tokoh orientalis Barat yang memberikan perhatian khusus kepada perkembangan penafsiran Al-Qur’an, khususnya di Mesir. Karyanya yang berjudul “The Interpretation of The Quran in Modern Egypt”, mewarnai pergejolakan tafsir di kancah intelektual Islam, khususnya di era modern. Hans Jansen ingin menciptakan narasi deskriptif guna memberikan jawaban intelektual atas kekurangan-kekurangan yang terjadi di masa sebelumnya.

Dalam karya tulisnya, Jansen menyebut nama Amin al-Khully sebagai tokoh Islam yang masih mempertahankan corak tradisionalistik. Disebutkan juga bahwa al-Khully menolak keras usaha sarjana muslim yang mencoba untuk me-modernisasi ayat-ayat Al-Qur’an.

Sesuai dengan apa yang disampaikan Muhammad Abduh, Jansen menegaskan bahwa usaha mempertahankan model penafsiran klasik tidak memuat nilai-nilai substansial di masa modern. Kebutuhan intelektual muslim di era modern lebih kompleks dibandingkan dengan era klasik. Hansen juga berspekulasi bahwa tafsir yang baik adalah yang memuat nilai-nilai pragmatis.

Dampak Corak Tafsir Tradisional

Sudah dipaparkan di awal, bahwa tafsir tradisional yang menekankan pada otoritas teks, tidak mencukupi kebutuhan umat di era ini. Karena tafsir jenis menggiring pemikiran umat kepada tindakan-tindakan ekstrim. Seperti halnya golongan wahabi yang memahami al-Qur’an secara literal, yang mudah menjustifikasi sekte di luar dirinya dengan aksioma negatif. Kecacatan metodologi tafsir mereka adalah kesulitan untuk menyandingkan analisis ilmiah dalam tafsirnya. Alhasil, produk tafsir mereka tidak jauh berbeda dari makna kebahasaan dari al-Qur’an.

Gerakan anti-demokrasi, seperti HTI, tidak mampu mengolah terminologi hukum dalam al-Qur’an. Alih-alih ingin menciptakan sistem pemerintahan yang baik, justru menjadi keresahan tersendiri bagi umat. Hal inilah yang justru menjadi problematika internal dalam Islam, karena disebabkan eksklusivitas pikiran yang mereka punya. Dari pikiran yang bersifat eksklusif menggiring mereka kepada sikap fanatik terhadap golongan mereka.

Sungguh bahaya dari pikiran yang masih terkekang oleh budaya tradisionalistik. Sebab, munculnya aliran islam yang fundamentalis juga bersumber dari sana. Kaum Islam fundamentalis memngusung term jihad mereka karena tidak mau dan tidak mampu menginterpretasikan narasi-narasi agama dengan pendekatan sosiologis, antroplogis, psikologis dan pendekatan lain.

Wacana memoderisasikan agama, seperti deskontruksi syariah milik Abdullah Ahmed al-Na’im, metodologi tafsir double movement milik Fazlur Rahman, integrasi corak tafsir dengan keilmuan kontemporer milik Sayyid Qutb, ditolak oleh mentah-mentah oleh mereka.

Kesimpulan

Bagaimanapun juga, kita tidak bisa mengelak pada realita kehidupan zaman sekarang. Segala aspek kehidupan telah mengalami peningkatan secara teknis. Tafsir sebagai rujukan umat dalam memahami makna kandugan al-Qur’an juga perlu mengimplementasikan nilai-nilai kemajuan tersebut. Yaitu, dengan mengintegrasikan nilai spiritualitas Islam dengan nilai-nilai keilmuan yang telah berkembang.

Mahfudhin
Mahfudhin
Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur’an dan Sains Al-Ishlah. Peminat kajian tafsir Al-Qur’an, filsafat, linguistik, pendidikan, dan sosial-budaya.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru