27.4 C
Jakarta

Kaffah Tanpa Khilafah, Kenapa Tidak?

Artikel Trending

KhazanahOpiniKaffah Tanpa Khilafah, Kenapa Tidak?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Beberapa minggu terakhir ini, saya menyempatkan diri untuk membaca beberapa artikel dalam website muslimahnews.net dengan tagline “Edukatif, Inspiratif, dan Mencerdaskan”. Melalui kolom “Tafsir Al-Qur’an”-nya, saya banyak menemukan artikel yang penuh dengan narasi propaganda tentang penegakan khilafah dan ajakan untuk berislam secara kaffah lengkap dengan sumber-sumber Al-Qur’an yang mereka kutip.

Tidak dapat dipungkiri bahwa Al-Qur’an dan hadis merupakan argumen teologis yang paling kuat untuk meyakinkan para pembaca. Walaupun demikian, agak risih rasanya jika argumen teologis tersebut hanya dijadikan sebagai alat legitimasi saja.

Selama ini imajinasi yang dibangun oleh aktivis khilafah dalam mendoktrin pengikutnya terkait pentingnya mendirikan sistem khilafah adalah dengan memberikan pemahaman bahwa Islam adalah kunci dalam menyelesaikan segala macam permasalahan. Seakan-akan dengan sistem khilafah tidak akan ada lagi segala macam bentuk kezaliman, korupsi, pelecehan, dan aktivitas negatif lainnya yang dapat merugikan umat Muslim sehingga dapat membentuk sebuah negara yang kaffah.

Untuk menjadi negara kaffah tadi, perlu ditegakkan aturan-aturan Islam sesuai syariat yang langsung bersumber dari Al-Qur’an dan sunah. Oleh sebab itu, satu-satunya jalan adalah dengan mendirikan negara bersistem khilafah.

Bagi aktivis khilafah ini, sistem demokrasi yang telah berjalan sekian tahun di Indonesia dianggap sebagai pemahaman liberal dari Barat yang melenceng dari ajaran Islam. Selain itu, sikap moderasi beragama yang beberapa tahun ini digaungkan pemerintah dianggap propaganda Barat untuk melemahkan kekuatan Islam.

Menurut mereka, kekuatan Islam terdapat pada berpegang teguh pada agama Allah yang harus diperjuangkan. Caranya, menerapkan Islam secara kaffah dalam naungan negara khilafah islamiah. Hanya dengan khilafah itulah Al-Qur’an dan sunah dapat diterapkan di seluruh aspek kehidupan.

Memahami Makna Kaffah

Satu ayat yang selalu menjadi argumen teologis yang dipercaya untuk mempraktikkan Islam kaffah oleh para aktivis khilafah ini adalah QS. Al-Baqarah [2]: 208 yaitu:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ كَاۤفَّةً ۖوَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّه لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ

Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam kedamaian/Islam secara menyeluruh, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.”

Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah menjelaskan bahwa kata al-silm mempunyai arti kedamaian atau Islam. Sementara itu, makna dasarnya adalah damai atau tidak mengganggu. Dalam ayat tersebut kedamaian diibaratkan satu wadah yang di dalamnya terdapat orang-orang beriman yang diminta untuk memasukkan totalitas dirinya ke dalam wadah tersebut secara menyeluruh sehingga semua aktivitasnya berada dalam wadah koridor kedamaian. Ia damai dengan dirinya sendiri, keluarga, dan seluruh makhluk di alam raya ini, sehingga tercipta kaffah yakni secara menyeluruh tanpa terkecuali.

BACA JUGA  Pilpres, Momentum Berbaik Sangka Sesama Bangsa

Menurut Hamka dalam Tafsir Al-Azhar terdapat dua kata yang harus benar-benar untuk dipahami yaitu al-silm dan kaffatan. Kata al-silm dapat dibaca menjadi al-silm dan al-salm. Pada kata kedua mempunyai makna yaitu Islam yang berarti menyerah diri dengan tulus dan ikhlas.

Sedangkan kata kaffatan merupakan kata sebagai seruan kepada orang-orang yang telah mengaku beriman kepada Allah agar kalau mereka Islam janganlah masuk sebagian saja tetapi masukilah keseluruhannya. Maksudnya, jika seseorang telah berserah diri kepada Allah maka tidak boleh tanggung-tanggung melainkan secara keseluruhan.

Menjadi Indonesia Kaffah

Dalam menggambarkan Islam kaffah para aktivis khilafah ini memahami bahwa kata al-silm hanya diartikan sebagai “Islam” saja sedangkan kaffah dimaknai “secara keseluruhan”. Memang benar ada sebagian ulama tafsir yang mengatakan bahwa Islam di situ dapat dimaknai sebagai menjalankan syariat Islam, Ibnu Katsir misalnya. Tetapi menurut penulis dalam hal ini telah terjadi misinterpretasi ataupun pendangkalan makna dalam memahami makna fi al-silm kaffah tadi.

Mengapa demikian? Karena bagi mereka satu-satunya cara agar syariat Islam dapat dilaksanakan hanya dengan mendirikan sistem khilafah. Sedangkan jika merujuk kepada dua mufasir di atas ayat ini sama sekali tidak memiliki hubungan dengan sistem khilafah yang mereka gaungkan.

Lantas jika melihat keadaan Indonesia hari ini apakah masih bisa dikategorikan sebagai negara yang kaffah? Tentu saja Indonesia sudah kaffah dengan versinya sendiri. Dalam konteks Indonesia sendiri makna al-silm lebih cocok dimaknai dengan perdamaian.

Seperti yang kita ketahui bahwa Indonesia mempunyai beragam kultur, suku dan agama yang kemudian keragaman tersebut dirangkul dalam sebuah landasan yang bernama Pancasila. Prinsip-prinsip yang telah termaktub dalam Pancasila sudah sangat islami karena tidak menyalahi aturan keislaman.

Oleh sebab itu rasanya tidak perlu mendirikan khilafah untuk menjadi kaffah. Karena pada dasarnya dalam sistem politik Islam sendiri tidak ada aturan yang baku. Setiap negara boleh memakai sistem republik, kerajaan, kesultanan, dan bahkan khilafah sekalipun.

Dalam konteks Indonesia, selama substansi keislaman yang termanifestasikan dalam Pancasila: ketuhanan, kemanusiaan, keadilan, dan kesejahteraan sosial sudah dipenuhi kepada rakyat, maka di situlah Indonesia dapat disebut sebagai negara yang kaffah karena telah menyalurkan nilai-nilai keislaman secara keseluruhan.

Khairun Niam
Khairun Niam
Pegiat kopi dan literasi. Dapat disapa melalui Instagram @khn.niam10.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru