29.2 C
Jakarta

Fakta Regenerasi Teroris dan Tiadanya Ketegasan Pemerintah

Artikel Trending

Milenial IslamFakta Regenerasi Teroris dan Tiadanya Ketegasan Pemerintah
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Semua bermula dari soft-approach dalam kontra-terorisme. Pemberdayaan finansial eks-napiter menjadi isu yang kompleks dan kontroversial. Selain manfaat, ada juga kekhawatiran tentang risiko jangka panjang yang mungkin timbul karenanya. Soft-approach sendiri berupaya mengatasi akar terorisme dengan melibatkan eks-teroris untuk mengubah pemikiran, keyakinan, dan perilaku mereka. Dukungan finansial adalah salah satunya.

Argumen pendukungnya, pemberdayaan tersebut meminimalisir faktor pendorong terjerumusnya kembali mereka dalam kubangan terorisme. Kesempatan untuk bekerja, memperoleh pendidikan, dan menghidupi diri mereka secara layak diharap menciptakan stabilitas nasional. Sayangnya, kekhawatiran juga muncul. Penyalahgunaan dana, umpamanya. Ada kemungkinan dana yang diberikan pada eks-teroris disalahgunakan, jika tidak disertai monitoring secara berkala.

Kekhawatiran lainnya ialah rekrutmen baru. Jika eks-napiter diberi platform atau akses luas, mereka dapat menggunakan pengaruh dan sumber dayanya untuk merekrut individu baru ke dalam kelompok teroris. Ini bisa menjadi ancaman serius terhadap keamanan jangka panjang. Ada juga soal ketidakpuasan masyarakat. Apakah eks-teroris pantas untuk semua privilese itu? Bukankah akan ada kecemburuan sosial hingga muncul anggapan ‘mending jadi teroris dulu agar dapat dana’?

Sekelumit kekhawatiran tersebut lahir karena masyarakat takut akan satu hal, yaitu regenerasi teroris. Pemerintah boleh jadi berhasil dengan soft-approach-nya, namun sampai kapan akomodasi finansial semacam itu mampu meredam gejolak terorisme? Sementara pada saat yang sama, pendidikan teroris sedang dibentuk oleh eks-teroris itu sendiri, mana ketegasan pemerintah? Pendidikan di Indonesia tengah digerayangi berbagai ancaman dan jelas ini sinyal bahaya.

Rusaknya Pendidikan

Pendidikan punya peran penting untuk masa depan sebuah negara. Namun, ketika eks-teroris, simpatisan militan islamis seperti ISIS, serta organisasi gerakan khilafah seperti HTI terlibat dalam dunia pendidikan secara sembunyi-sembunyi, mereka menimbulkan ancaman serius bagi negara dan dapat menyebabkan kerusakan yang signifikan pada sistem pendidikan. Jika pemerintah tidak tegas dalam menangani masalah tersebut, negara adalah taruhannya.

Bahaya lembaga pendidikan yang telah dirasuki ideologi anti-Pancasila, bagi negara, itu jelas. Tak perlu didebat lagi. Dampak buruknya ialah propaganda dan penyebaran ideologi ekstremis. Eks-teroris menyebarkan propaganda dan ideologi radikal-teror kepada generasi muda—anak atau kerabat sesama pendukung Daulah. Akibatnya akan terjadi rekrutmen lebih lanjut, bibit-bibit baru yang memperkuat basis dukungan bagi gerakan-gerakan mereka di masa yang akan datang.

Dampak buruk lainnya ialah radikalisasi kurikulum sesuai ideologi ekstremis. Ini jelas merusak pemahaman objektif, mengaburkan garis antara agama dan politik, serta menciptakan generasi yang menerima dan mempraktikkan ideologi anti-demokrasi dan anti-toleransi. Ini perlu disadari bahwa pembentukan generasi baru militan adalah ancaman baru bagi negara. Melalui pendidikan semacam itu, regenerasi teroris berlangsung mulus dan sempurna.

BACA JUGA  Menciptakan Optimisme Politik, Memperbaiki Demokrasi

Sementara sistem pendidikan akan rusak, standar pendidikan juga akan anjlok. Ideologi ekstremis sebagai bagian dari regenerasi teroris jelas mengganggu tujuan pendidikan yang seharusnya: pembangunan pengetahuan, keterampilan, dan moralitas. Kebebasan berpikir juga akan menambah rusak iklim pendidikan di Indonesia, seperti menghambat perkembangan kritis dan analitis serta mempersempit wawasan dan toleransi terhadap pluralitas.

Konsekuensi Ketidaktegasan

Jika pemerintah tidak tegas menangani masalah ini, ada beberapa konsekuensi yang harus mereka terima. Pertama, meluasnya jaringan ekstremis. Ekspansi mereka menciptakan lingkungan yang lebih menguntungkan terhadap rekrutmen generasi muda. Kedua, menurunnya kredibilitas pendidikan. Regenerasi teroris merusak kredibilitas lembaga pendidikan baik nasional maupun internasional, serta menghambat pertumbuhan ekonomi, pembangunan sosial, dan daya saing negara.

Ketiga, meningkatnya risiko keamanan. Jika pemerintah tidak menangani masalah ini dengan tegas, risiko terorisme dan kekerasan meningkat, serta mungkin terjadi serangan teroris yang lebih serius dan meluas di masa depan. Tanpa penegakan hukum dan pengawasan institusi yang ketat, atau tanpa pendidikan yang mendorong toleransi dan inklusivitas, keamanan negara secara keseluruhan berada dalam ancaman yang nyata.

Dengan demikian, kembali pada masalah awal, ini bukan tentang soft approach dalam kontra-terorisme. Ini semua berkaitan dengan masa depan Indonesia di tengah maraknya regenerasi teroris oleh eks-teroris itu sendiri. Sebagai fakta, tentu saja tindakan preventif terhadap masalah tersebut menjadi keharusan. Beberapa waktu lalu sudah diuraikan tentang rumah-rumah tahfiz dan lembaga amal yang jadi sarana regenerasi teroris, tetapi pemerintah masih tidak merespons.

Apakah ketegasan yang diperlukan itu harus bersifat populer? Tentu tidak. Yang terpenting adalah efektivitas. Para pendukung Daulah hari ini berkeliaran bebas di mana-mana, baik lewar rumah tahfiz maupun badan amal. Sebagian mereka telah mengelabui aparat melalui ‘Ikrar NKRI’, namun beraksi masif menciptakan ancaman masa depan. Jika ketegasan tetap menjadi barang mahal, regenerasi akan terus berjalan mulus dan negara ini tinggal menunggu bom waktu yang akan menghancurkan segalanya.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru