29.5 C
Jakarta

Bias dan Misoginis: Ketika Sekolah Negeri tidak Memberikan Ruang Aman bagi Siswi

Artikel Trending

KhazanahTelaahBias dan Misoginis: Ketika Sekolah Negeri tidak Memberikan Ruang Aman bagi Siswi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Kesal rasanya, ketika mendengar sebuah berita tentang pemaksaan penggunaan jilbab di sekolah kepada para siswi non-Muslim. Belum selesai dengan kekesalan itu, kasus serupa juga terjadi pada siswi salah satu sekolah di Yogyakarta, yang mendapat pemaksaan dari guru BK untuk menggunakan jilbab.

Baru-baru ini, yang sempat viral adalah penggundulan kepada para siswi di sekolah karena tidak memakai ciput saat berkurung. Video yang selanjutnya ramai diperbicangkan adalah, pemotongan rambut siswa karena terlalu panjang, hingga melebihi kerudung yang dipakai.

Kemunculan kasus sebuah lembaga yang mewajibkan siswa non-muslim memakai jilbab di salah satu sekolah negeri di Padang menimbulkan kesan perlakuan diskriminasi atas nama agama.

Situasi ini biasa dikenal dengan sebutan discrimination based on religion or belief. Padahal sejak era reformasi yang diawali dengan dilakukannya amandemen UUD 1945, Indonesia menjadi salah satu negara yang berupaya untuk selalu menjunjung HAM.

Meskipun pada era orde baru, pelarangan penggunaan jilbab di sekolah adalah fakta yang tidak terbantahkan, pasca-Reformasi semestinya kebijakan tentang penggunaan jilbab harus dipahami tidak sekedar dari kacamata agama. Akan tetapi, konsepsi tentang kehidupan sosial yang perlu dipahami oleh para elemen yang ada dalam lembaga pendidikan.

Fenomena tentang pemaksaan jilbab dalam dunia pendidikan, menjadi sebuah masalah yang sangat kompleks diselesaikan. Artinya, akar solusinya tidak sekedar tentang solusi penggunaan jilbab kepada siswi di sekolah.

Akan tetapi, ini berkenaan dengan kebebasan berpakaian dan kesalehan sosial yang dipaksanakan kepada para siswi. Akibatnya, para siswi memahami agama tidak sebagai ajaran yang ramah pada penampilan para siswi.

Berbicara soal jilbab, penulis tidak sedang memaparkan kewajiban berjilbab bagi umat Islam, yang oleh masyarakat, dijadikan sebagai tolok ukur kemuslimahan atau akhlak seseorang. Tulisan ini justru lebih menyoroti tentang kebijakan sekolah negeri yang seharusnya memberikan ruang bagi para siswi untuk memilih pakaian yang dikenakan dalam sekolah.

Para guru semestinya bisa bersikap bijak dalam menentukan sikap kepada siswi yang berjilbab ataupun tidak. Artinya, tidak ada pembedaan perilaku kepada siswi yang tidak berjilbab dengan menganggap kurang saleh.

BACA JUGA  Mengapa Isu Khilafah Terus Mengakar pada Waktu Pemilu?

Bias Misoginis

Persoalan jilbab hanya dialami oleh siswi saja. Konstruksi pakaian yang dibebankan kepada perempuan, jauh lebih besar dibandingkan dengan laki-laki. Lain daripada itu, ini bukan hanya tentang jilbab saja. Tetapi perilaku perempuan, biasanya lebih didikte atau dituntut lebih sopan dibandingkan dengan laki-laki.

Tidak jarang, kita masih melihat respons yang sangat biasa apabila melihat siswa nakal, atau melakukan tindak amoral tertentu. Namun, respons yang cenderung nyinyir, cukup besar apabila seorang perempuan memiliki sikap nakal atau bertindak yang tidak sopan.

Bias misoginis masih sangat terlihat dengan sikap yang memandang perempuan harus sopan, pendiam dan harus bertindak sesuai dengan ketaatan agama dalam menjalankan kehidupannya.

Ketaatan agama ini, salah satunya diwujudkan dengan penggunaan jilbab. Sehingga apabila seorang siswi tidak menggunakan jilbab, dianggap tidak sopan dan tidak taat dalam menjalankan perintah agama.

Pemahaman semacam ini, dimiliki oleh orang-orang yang tidak memiliki perspektif gender yang baik, sehingga cenderung mendiskriminasi perempuan.

Perilaku memotong rambut, atau menggunduli siswi yang berjilbab adalah salah satu dari gejala bias misoginis dengan faktor kesalehan yang dimiliki oleh guru. Ini adalah perilaku yang tidak menghargai kebebasan berpakaian pada siswi.

Kasus tentang pemaksaan jilbab pada sekolah negeri, merupakan bagian dosa besar pendidikan yang sampai hari ini, belum bisa diselesaikan.

Hukuman yang diberikan kepada siswi terkait penggunaan jilbab, semestinya perlu dikontrol lagi oleh pemerintah, supaya sekolah tidak menjadi ruang yang mematikan mental dan pola pikir siswi.

Para siswi yang duduk di bangku sekolah SMP ataupun SMA, sedang berada di fase remaja, di mana kecenderungan untuk mengekspresikan diri dengan memperbaiki penampilan cukup tinggi.

Hukuman yang diberikan oleh guru dalam persoalan pakaian, memberikan rasa trauma tersendiri bagi para siswi dan memiliki dampak terhadap bagaimana cara pandang siswi memaknai agama yang ditampilkan dengan cara-cara paksaan, serta tidak ramah terhadap ekspresi kehidupan perempuan.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru