31.2 C
Jakarta

Benar, Tasawuf Bisa Menangkal Radikalisme?

Artikel Trending

Milenial IslamBenar, Tasawuf Bisa Menangkal Radikalisme?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Maftukhin, Rektor IAIN Tulungagung, memberi suatu quote menarik tentang spiritualitas dan etika kemanusiaan. Katanya, “Seringkali orang yang hanya tahu sebagian, beranggapan pengetahuannya menyeluruh. Maka pengetahuannya menjadi hijab bagi dirinya. Sementara orang yang tahu keseluruhan merasa pengetahuannya hanya sebagian. Maka ia selalu mencari kesempurnaan.”

Quotes itu kemudian disyarahi Abad Badruzaman. Bagi Abad, quote Maftukhin itu sangat penting dalam lanskap kehidupan manusia hari-hari ini. Di mana kepakaran telah bergeser otoritasnya setelah ruang-ruang keilmuan/publik berkecamuk dengan narasi “kosong kebenaran”. Ditambah tak adanya garis diri atau tahu diri. Siapa yang berhak memberikan opini: siapa pun, kapan pun, di mana pun bersuara, asal bunyi. Kesakralan dan otoritas musnah.

Fenomena itu yang menjadikan ruang narasi publik “kotor” dan berputar dalam kecamuk suryakanta tak sahih. Padahal menurut Abad, seharusnya orang boleh bersuara apabila mengerti persoalan yang benar-benar dikuasai. Meski, hari ini orang tidak mungkin mengerti semua bidang dan menjadi perpustakaan berjalan atau menjadi manusia ensiklopedis, seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan Imam Al-Ghazali. Tapi paling tidak, orang boleh berkotribusi dengan sikap tahu diri. Jadi pakar di bidang yang digeluti, pelit bicara saat ditanya soal bidang yang tidak dikuasai. Kendati serahkan hal demikian pada ahlinya, atau ahlinya ahli.

Kapasitas, kapabilitas, tahu posisi dan sadar akan kemampuan diri menjadi kunci untuk bersikap pada setiap di/ke/dalam/keseluruhan praktik hidup sehar-hari. Agar ia bisa menjadi penopang narasi yang tersebar dan bisa mendongkel kesalahan legalitas opini dan bisa menukangi dengan dibawa ke ruang dunia yang tegak berdiri kokoh pada wajah rialitas kebenaran hidup atau hidup yang benar.

Gerilya ruang narasi kehidupan manusia mutakhir ketika melihat kotestasi dinamikanya mungkin juga menyambung dan tidak jauh-jauh banget dengan empat tipe yang pernah direnungkan Imam Ghazali: “Pertama, orang yang tahu tapi ia tidak sadar kalau dirinya tahu. Orang model begini sedang lalai, harus disadarkan. Kedua, orang yang tidak tahu tapi sadar kalau dirinya tidak tahu. Ini tipe orang bodoh (yang mau belajar), harus diajari. Ketiga, orang yang tahu dan tahu kalau dirinya tahu. Ini tipe orang berakal, harus diikuti. Keempat, orang tidak tahu tapi tidak tahu kalau dirinya tidak tahu. Ini tipe orang dungu yang enggan belajar, berhati-hatilah terhadapnya!”

Demikialah Imam Ghazali menceritakan pola garis kehidupan yang dilakukan manusia dari masa ke masa yang kemudian dijanggarkan dalam renung Maftukhin di buku Menggali Spirirualitas Ramadan: Syarah Renungan Rektor IAIN Tulungagung (2020). Dengan renungan Maftukhin yaitu tentang posisi diri dan kepakaran, sebagai manusia tidak sempurna, maka harus tahu kadar diri. Menurut Abad, “kita tidak boleh berpuas diri. Cari lagi cari lagi, perkaya dan perkaya terus, untuk kesempurnaan.

Tapi kesempurnaan manusia ada takaran yang tidak luput dari aneka ketidaksempurnaan. Butuh berimbangan yang mengharuskan kerja-kerja serius supaya ia bisa dan barangkali patut memantaskan diri. Dan tidak menjadi apa yang digambarkan Imam Ali: “orang berilmu tapi tidak mau mengamalkan ilmunya, orang bodoh yang malas belajar, orang kaya yang bakhil dengan hartanya, dan orang miskin yang menjual akhiratnya dengan dunianya. Maka celaka mereka dan merugi tujuh puluh kali.”

Dari empat tipologi Al-Ghazali dan Imam Ali, kita berada di mana? Sebut saja diri kita masing-masing secara mandiri dan lirih dalam diri. Tapi yang penting bagi kita adalah mengakui: kita patut sadar diri, sadar posisi dan tidak bakhil pada kepemilikan harta/ilmu yang sedang dimiliki. Sebagaimana Imam Ali, manusia harus mengamalkan segala/bagian-bagian yang dimiliki sejauh kemampuan dan jangkauan kepada orang lain. Dan apabila tidak memiliki (ilmu-harta), maka carilah kepada orang pintar yang punya kewaroan, keikhlasan, dedikasi. Jika tidak mau, berhentilah membuang narasi tidak sedap ke ruang publik. Disamping tidak membuat kotor, juga tidak berdampak miris.

BACA JUGA  Polarisasi dan Disintegrasi: Residu Pemilu yang Harus Diantisipasi

Sebab, apabila narasi ekstrem terus menggelambung di langit-langit riuh manusia, ia bisa meluas dan menjadi kekisruhan sosial. Kekisruhan atau kerusuhan sosial menjadi salah satu penyebab runtuhnya kohesi sosial. Penyebab utamanya adalah kebakhilan dan ketidakmauan orang-orang untuk mengerem hasrat nan egoisitas otoritas keawamannya. Apalagi hal itu terjelmakan pada konsep dan narasi kepada kitab suci. Sungguh sangat bahaya.

Menyeimbangkan Berpikir

Kodrati manusia sebagai kaum yang diagungkan secara akal, moral, intelektual, dan religiositasnya dalam menghadapi problem kehidupan-keakhiratan membutuhkan keseimbangan berfikir. Sebab, sebagaimana renung Maftukhin, “manusia yang unggul adalah mereka yang mampu memposisikan antara kapan berfikir dengan intelektualnya dan kapan berpikir dengan spiritualnya.”

Mengacu pada narasi di atas, suatu kaum yang bodoh cenderung bertindak dengan kebodohannya dan itu berdampak pada kerusakan. Juga, kecerdasan intelektual-spiritual yang terbiarkan mengelana, ia bisa berubah jadi kekuatan yang merusak dan rakus. Misalnya limpahan-limpahan pengetahuan dan karunia-karunia yang diberikan semesta sebagai hasil olah pikiran termasuk hasil penelitian dan eksplorasi dan tentu saja meditasi-kontemplasi dapat membuat manusia lupa diri. Di sinilah moderasi atau keseimbangan kecerderasan diperlukan. Keseimbangan kecerdasan spiritual dan intelektual akan mengawal jiwa, ruhani, otak, dan raga manusia agar tidak berubah menjadi makhluk yang rakus, lalim, egois, hedonis, dan menjadi manusia langit.

Menurut Abad, jika seseorang terlalu condong ke sisi spiritual, dikhawatirkan ia akan berubah jadi “rahib” menjahui dunia dengan segala isinya yang Tuhan titipkan pada dunia untuk kebaikan manusia. Tapi jika seseorang terlalu mengagungkan aspek intelektual, ditakutkan ia akan berubah dari “predator” atas apa saja dari dunia ini yang dinilainya menguntungkan kehidupan materilnya.

Lanjutnya, sekali lagi keseimbangan diperlukan. Jika kecerdasan intelektual mampu membuka tabir semesta sehingga terlihat aneka karunia (sumber daya) untuk kehidupan jasadiah manusia, maka kecerdasan spiritual membukakan mata hati manusia bahwa semua karunia itu milik Allah yang harus didayagunakan dalam rangka mengabdi kepadaNya dan ditasarufkan untuk kemaslahatan seluruh hambaNya, seraya memperhatikan kelestariannya. Bila demikian terjadi dan menjadi lelaku manusia, sesungguhnya ia telah beragama dan berkehidupan secara dewasa. Dan apabila boleh dikatakan demikian, ia telah menjalankan itu dengan semesta hati yang bening.

Sebagaimana renung Maftukhin, “Dari hati yang bening, akan mengeluarkan kekuatan yang membawa audiens pada kebeningan hati yang sama, meskipun kadang yang dikeluarkan (ucapan+tindakan) adalah sesuatu yang sangat pahit, sepahit brotowali. Sebaliknya, dari hati yang karuh akan memperkeruh hati para audiens, meskipun yang keluar manis seperti madu.” Dua-duanya punya energi masing-masing. Dan bersahutan dari ragam sisi.

Di lembar zaman yang mungkin cair, tapi kebudayaan manusia makin beku, kaku dan kelihatannya manusia tidak lagi memiliki kemampuan otentik untuk memamah fenomena, baik dari sisi intelektual dan spiritual, kita sepantasnya merenung layaknya Maftukhin. Kehidupan tidak mengharuskan di khususkan kepada akhirat, melainkan juga kepada dunia. Sebab, akhirat ditentukan oleh iman dan saleh kehidupan dunia. Kendati, kita (manusia) tidak boleh tenggelam pada materealisme, tidak harus juga membumbung tinggi dalam spiritualisme.

Sebagaimana kata Quraish Shihab dalam Islam yang Saya Anut: Dasar-Dasar Ajaran Islam (2018), ketika pandangan mengarah ke langit, kakinya harus tetap berpijak di bumi. Islam mengajarkan umatnya agar meraih duniawi, tetapi dengan nilai-nilai samawi. Artinya, dunia dan akhirat serta spiritualitas dan intelektual dipandang sebagai satu kesatuan untuk meraih dunia dan akhirat yang agung. Keempatnya butuh sikap moderasi.

Sikap moderasi harus bisa menyeimbangkan segala persoalan hidup yang ukhrawi dan duniawi, dan disertai dengan upaya menyesuaikan diri dengan situasi yang dihadapi berdasarkan petunjuk agama (kitab suci) dan kondisi objektif yang di alami. Moderasi menyeimbangkan antara ruh dan jasad, dunia dan akhirat, agama dan negara, individu dan masyarakat, ide dan realitas, yang lama dan baru, akal dan nakal, agama dan ilmu, modernitas dan tradisi. Itulah yang dimaknai moderasi dalam kehidupan umat manusia.

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru