26.7 C
Jakarta

Ajaran Kebaikan Buya Syafii, Sang Guru Bangsa

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuAjaran Kebaikan Buya Syafii, Sang Guru Bangsa
image_pdfDownload PDF
Judul: Muazin Bangsa dari Makkah Darat, Penerbit: Serambi, Penulis: Maarif Institute, Terbit: I, Juli 2015, Tebal: 432 Halaman, ISBN: 978-602-290-047-4, Peresensi: Anton Prasetyo.

Harakatuna.com – Karut marut persoalan bangsa, bahkan dunia, tak lepas dari minimnya “muazin bangsa”. Sepeninggal Nurcholish Madjid (Cak Nur) dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), kini masyarak Indonesia harus merasakan kehilangan guru bangsa yang konsisten menjadi muazin (menyerukan nilai-nilai moralitas dan kebajikan serta mengingatkan orang-orang untuk terhindar dari perilaku-perilaku mungkar). Ia adalah Ahmad Syafii Maarif (selanjutnya ditulis Buya Syafii) yang lahir di Sumpur Kudus atau Makkah Darat.

“Muazin Bangsa dari Makkah Darat” merupakan bunga rampai para cendikiawan, akademisi, dan peminat pemikiran Buya Syafii yang dimotori oleh Maarif Institute. Kegiatan ilmiah ini merupakan upaya intelektual dalam rangka menafsirkan pelajaran-pelajaran yang disampaikan Buya Syafii terkait persoalan kebangsaan, agama, sosial, dan lain sebagainya.

Amin Abdullah menilai bahwa Buya Syafii selalu mendengungkan agar umat islam selalu dapat memperlakukan Alqur’an sebagai kitab suci yang bermuatan pedoman etika sosial. Dalam bentuk tulisan ataupun lisan, Buya Syafii sering mengungkapkan kata-kata “berdialog dengan Alqur’an”. Jika dirunut melalui pengembaraan intelektualnya, kata-kata ini berakar pada tafsir tematik The Major Themes of the Qur’an karya Fazlur Rahman. Rahman sendiri merupakan salah satu guru Buya Syafii saat mengambil program doktor di Chicago tahun 70-80-an.

Realisasi dialog dengan Alqur’an yang diajarkan Buya Syafii akan dipandu lewat 6 kecenderungan pemikiran Islam kontemporer, yaitu The Legalist-traditionalist, The Theological Puritans, The Political Islamist, The Islamist Extremist, The Secular Muslims, dan The Progressive-Ijtihadists (hlm. 27).

Di samping itu, Amin juga mengupas gerakan ilmu yang dilakukan oleh Buya Syafii. Menurutnya, gerakan ini belum bisa terealisir di masyarakat. Terbukti, kekerasan di mana-mana, para pemimpin tidak bisa menjalin keharmonisan hubunhan, begitu seterusnya. Pendidikan keagamaan bahkan menghasilkan pola pikir yang penuh emosi, mudah marah, tidak mudah memberi ruang kepada pihak lain, dan lain sebagainya. Dan, kenyataan ini mesti menjadi pekerjaan rumah (PR) para generasi penerus Buya Syafii.

Senada dengan tulisan Amin, Noorhaidi Hasan juga mengungkapkan bahwa Buya Syafii merupakan penjaga pluralisme dan pengawal keutuhan bangsa. Ia menulis, Buya Syafii dikenal sebagai guru besar sejarah yang produktif menulis berbagai karya yang memberikan tafsir segar atas dinamika hubungan agama dan negara Indonesia. Buya Syafii dikanal masyarakat sebagai sosok yang pluralis, inklusif, moderat, terbuka, dan toleran. Ia merupakan pribadi yang serius namun santai.

BACA JUGA  Gus Dur dan Perjuangan untuk Etnis Tionghoa di Indonesia

Lewat ijtihad politik garam-nya, Buya Syafii telah berhasil menepis kelompok “khawarij gaya baru” yang bercita-cita ingin mendirikan “Negara Tuhan” sembari membajak ayat-ayat Tuhan (hlm. 92). Buya Syafii berpendapat bahwa dialektika Islam dan negara dalam konteks sejarah konstitusionalisme Indonesia telah melahirkan nasionalisme berketuhanan (nasionalisme religius).

Nasionalisme seperti ini telah mewadahi unsur-unsur nilai Islam, nasionalisme modern, dan kearifan tradisional bangsa. Adapun ideologi pancasila dan UUD 1945 merupakan rumusan nyata nasionalisme religius tersebut.

Mewakili kaum hawa, Neng Dara Affiah mengupas peran Buya Syafii di bidang gender. Menurut Dara, Buya Syafii mempercayai bahwa manusia, khususnya umat Muslim memiliki potensi akal yang dapat digunanakan untuk meraih cita-cita. Hanya saja, potensi tersebut tidak digunakan dengan maksimal sehingga kubangan kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan tak dapat dihindarkan.

Kegetiran ini juga terasakan pada pundak perempuan, di mana pendidikan, kepemimpinan, dan lain sebagainya terkait perempuan menjadi permasalahan kesetaraan gender yang tidak dapat dihindarkan pula.

Dalam paparannya, Dara menilai bahwa Buya Syafii Maarif merupakan sosok laki-laki yang sangat peduli dengan isu-isu gender. Hanya saja, ia tidak terjun langsung sebagai aktivis atau bahkan pejuang gender. Meski begitu, Buya Syafii merupakan model laki-laki baru yang turut mempromosikan penghapusan praktik diskriminasi terhadap perempuan. Buya Syafii lebih banyak memberikan tauladan melalui keluarganya.

Cara ini dilakukan sebagai ikhtiar meneruskan pembaharu muslim sebelumnya (Muhammad Abduh, Qasim Amin, Rifaah Al-Thahthawi, Haji Agus Salim, dan lain sebagainya).

Dara juga memaparkan bahwa untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan memperoleh tantangan serius dari individu, organisasi dan partai politik yang secara sengaja mengokohkan ideologi patriarki di mana pemikiran kesetaraan dan keadilan gender merupakan ancaman yang dapat merobohkan kekuasaan untuk menekuk perempuan (hlm. 270).

Tantangan ini semisal maraknya perkawinan poligami, menguatnya perkawinan di bawah umur, dan kekerasan terhadap perempuan di ranah domestik serta publik.

Selain Amin, Noorhaidi, dan Dara, kontributor lainnya adalah Zuly Qodir, Abdul Munir Mulkan, Sudirman Nasir, hingga William H. Frederick (pembimbing Buya Syafii ketika belajar di Ohoi University). Tulisan-tulisan ini tentu akan memiliki kontribusi besar terhadap nasib bangsa di masa mendatang.

Anton Prasetyo, S. Sos. I., M. Sos.
Anton Prasetyo, S. Sos. I., M. Sos.
Ketua Lembaga Ta’lif Wan Nasyr NU Gunungkidul

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru