30.8 C
Jakarta

Wajah Indonesia di Balik Kritisnya Ulama

Artikel Trending

KhazanahTelaahWajah Indonesia di Balik Kritisnya Ulama
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

BPS mencatat data jumlah penduduk di Indonesia hingga September 2020 sebanyak 270,2 juta jiwa. Total penduduk Indonesia sejalan dengan meningkatnya populasi Muslim di Indonesia semakin banyak seiring berjalannya waktu. Sebanyak 229 juta orang Indonesia adalah penganut agama Islam. Jumlah ini mencapai 87,2 persen dari total populasi Tanah Air atau 13 persen dari total populasi Muslim di seluruh dunia

Sejalan dengan meningkatnya populasi tersebut, tidak heran ketika semakin banyak kelompok-kelompok Islam yang terus menyebar dengan berbagai pemikiran yang beranekaragam. Ini baik, sebab akan semakin banyak ragam pemikiran Islam yang dihasilkan melalui ragam keilmuan yang dimiliki.

Menjadi masalah ketika dalam perbedaan keragaman pemahamaan keberagamaan Islam di Indonesia ini justru menjauhkan sikap keindonesiaan yang seharusnya terpatri dalam jiwa dan menjadi jati diri bangsa Indonesia. Apalagi jika ada seseorang yang mengaku ulama, kemudian menyerukan untuk meninggalkan Indonesia dengan dalih perintah agama. Ulama semacam ini harus kita jauhi, apalagi jika ia mendekatkan pada pertengkaran, perpecahan, bahkan dengan kalimat-kalimat cacian. Na’udzubillah.

Populasi Muslim di Indonesia bisa kita lihat bagaimana sikap keislaman yang terimplementasikan di Indonesia sebagai negara majemuk. Dengan banyaknya pengguna media sosial Muslim di Indonesia, salah satu acuan untuk melihat sikap tersebut, bisa kita lihat dengan tontonan keislaman yang netizen konsumsi melalui media sosial. Siapa ulama panutan yang banyak mereka tonton, dan lainnya.

Dengan populasi Muslim yang besar, kita bisa mengetahui bahwa sosok yang menjadi panutan dalam menjalankan relasi sosial adalah ulama. Sosok ulama dengan pengetahuan keagamaan yang mumpuni, serta kearifan dan kebijaksanaan seharusnya tampil sebagai sosok yang bisa menjawab masalah-masalah kebangsaan yang semakin mengikis bangsa Indonesia.

Wujud Amar Ma’ruf Nahi Munkar Ulama

Beberapa waktu terakhir yang sempat ramai di media sosial perihal kebijakan impor beras dari pemerintah dan menimbulkan berbagai sikap tokoh publik. Tak terkecuali para ulama yang berani speak-up terdepan dalam menyuarakan penolakan tegas terhadap kebijakan yang akan dilaksanakan.

PBNU yang diwakilkan oleh KH. Said Aqil Siradj melakukan penolakan secara tegas terhadap impor beras. Disusul dengan penolakan ulama-ulama Muhammadiyah, ditambah lagi dari berbagai elemen ulama yang turut aktif menyuarakan penolakan terhadap kebijakan yang dirasa merugikan petani Indonesia.

BACA JUGA  Intrik Licik HTI: Menyebarkan Ideologi Khilafah Berkedok Isra’ Mi’raj

Hal ini berdasar pada kenyataan bahwa negara Indonesia sebagai negara agraris. Tentu hal yang bisa dilakukan adalah hasil pertanian yang mumpuni justru seharusnya bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia itu sendiri.

Sikap kritis ini memang perlu kita rayakan, meski pada kenyataannya sikap tersebut bukanlah pertama kali pada jajaran ulama. Akan tetapi kita bisa melihat bagaimana peran ulama terhadap dinamika perjalanan bangsa Indonesia tidak lepas dari ragam keilmuan keagamaan yang mereka miliki serta sejalan dengan ajaran Islam.

Sikap kritis ulama terhadap berbagai kebijakan yang tidak pro terhadap rakyat (tanpa melihat jenis agama) merupakan salah satu wujud Amar Makruf Nahi Munkar. Perihal Amar Makruf Nahi Munkar bisa kita lihat dalam Q.S Ali Imran ayat 3:104, artinya: “Hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.

Michael Cook dalam  Ikhwan dan Yunus: 2019 memandang bahwa ada tiga karakter dalam Al-Qur’an ketika berbicara tentang amar makruf nahi mungkar. Pertama, kata al-maʿrūf Allah Swt beberapa kali di dalam Al-Qur’an. Namun tidak dengan serta-merta mengandung makna legal formal, bahkan terkadang mempunyai padanan makna dengan kata iḥsān yang berarti bajik.

Kedua, menyeru dan melarang dalam konteks ini selalu berkaitan dengan istilah etis yang umum. Ketiga, kata menyeru kepada kebaikan selalu berhubungan dengan topik-topik seperti menunaikan shalat, membayar zakat, percaya kepada Tuhan, mematuhi Tuhan dan rasul-Nya.

Dapat kita pahami bahwa, persoalan implementasi amar makruf nahi mungkar pada ulama memang tidak pernah selesai. Sebab mereka adalah bagian dari elemen Indonesia yang tugasnya mengurus umat, mengurus bangsa, sama seperti pemerintah. Meskipun pada kenyataannya memiliki ranah yang berbeda dalam pelayanannya terhadap bangsa Indonesia.
Sikap kritis para ulama tidak lain adalah menciptakan kemaslahatan kepada umat, bangsa Indonesia, tidak lebih. Sebab orientasi mereka adalah Indonesia yang terdiri dari berbagai umat. Berbeda halnya dengan para kritikus yang memiliki ranah berbeda, sehingga cenderung kepada makian, perpecahan, perseteruan. Ini yang harus kita hindari. Wallahu a’lam
Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru