31.9 C
Jakarta

Wacana Gender Queer dalam Gerakan Feminisme

Artikel Trending

KhazanahPerempuanWacana Gender Queer dalam Gerakan Feminisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Wacana queer dengan segala visi “pelepasan” bilogis esensialis, hadir sebagai wadah variasi gender atas bentuk ketidakpuasan atas ekspresi seksual yang tidak dapat diafirmasi oleh kelompok lesbian maupun homoseksual.

Maka queer hadir sebagai ruang baru sebagai bentuk tansisi LGBT yang tidak dapat menampung realitas dan fenomena tersebut. Dengan ini tidak ada alasan logis bagi genderqueer untuk selalu tunduk pada tubuh dengan cara tertentu.

Sebagai wacana awal, istilah queer muncul pertama kali sekitar tahun 1910-1920 di Amerika Serikat, di mana istilah tersebut digunakan untuk mendiskriminasi kelompok minoritas yang memiliki orientasi seksual berbeda.

Kemudian teori queer dimunculkan dan dibentuk oleh karya-karya feminis, seperti Theresa de Laurentis, Leo Bersani, Lee Edelman, Jack Halberstam, Eve Kosofsky Sedgwick dan Judith Butler yang menggunakan karya-karya Foucalt sebagai rujukan utamanya.

Inti dari klaim queer mengenai struktur identitas adalah gagasan bahwa identitas selalu bergerak, bergantung, dan dapat berubah. Jika wacana genderqueer mendapatkan legalitas untuk menjadi identitas, maka akan banyak yang diabaikan di antaranya pengalaman dan peran perilaku sosial sebagai warga negara dalam mengonstruksi aspek seksual.

Dengan demikian, apakah genderqueer sebagai teori akademis atau sebagai kategori definisi personal yang dapat menjawab diskriminasi individu yang berperilaku berbeda dalam ekspresi seksualnya? Apakah kesepakatan dalam mengartikan bentuk identitas selalu dibenturkan dengan budaya, terbuka dan selalu dinamis? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dijawab dan ditelusuri dalam tulisan ini.

Genderqueer: Antara Seksualitas dan Identitas yang Cair

Fenomena straight yang mengklaim identitas ‘queer‘ dengan menjelaskan beberapa masalah dalam memandang identitas sebagai pengetahuan yang mendikte. Praktik ini mencakup ‘logika’ bahwa identitas queer menghasilkan pengetahuan anti-normatif.

Salah satu masalah dengan ‘teori queer‘, menurut ahli teori queer seperti Schlichter mencakup dua hal. Pertama, cara menemukan identitas ini memerlukan penegasan melalui jembatan normatif secara eksternal. Hambatan ini merupakan konsekuensi dari paradoks yang melekat pada subjektivitas dimana subjek harus tunduk pada norma-norma peraturan yang mereka lawan, untuk menjadi subjek.

Melalui proses menjadi, ‘queer straights’ artinya harus menempatkan heteroseksualitas di luar proses untuk menjadi identitas.

Dari perspektif ini, tidak hanya kategori ‘queer straight’ yang gagal menjadi queer dengan narasi secara akademis, tetapi juga mengandung anggapan bahwa bagaimana seseorang mengidentifikasi “apa, siapa mengapa dan kapan” seseorang memiliki hubungan langsung dengan pengetahuan yang menjadikan indikator yang dihasilkannya sebagai identitas.

Kedua, premis ini bertumpu pada wawasan queer tentang inkoherensi dan ketidakstabilan identitas, proses subjektivitas dan operasi heteronormativitas. Identitas dipahami sebagai perubahan terus-menerus dan kontingen, untuk membangun hubungan sebagai proses dengan pengetahuan justru menjadi semakin sulit.

Hubungan antara identitas seksual dan pengetahuan anti-normatif tampak lebih kompleks dibandingkan antara kepastian aturan norma bahwa heteroseksual tidak dapat (terlepas dari keinginan yang diungkapkan oleh beberapa dari mereka) kemudian melakukan pembaharuan untuk berhenti berpikir secara alami. Jika premis ini di substansikan secara rasionalisasi.

Sebagai tawaran, ada dua kunci dasar yang tidak dapat diakomodasi secara komprehensif oleh teori queer sebagai studi kasus yang ingin menyandarkan queer sebagai identitas serta fenomena kampanya kelompok queer yang bergerak dengan motivasi mengangkat hak-hak sipil mereka sebagai kebebasan manusia dalam penyetaraan Hak Asasi Manusia.

BACA JUGA  Menelaah Film “13 Bom di Jakarta” dalam Perspektif Perempuan

Berangkat dari konteks teori queer pemikiran Judith Butler yang mengatakan bahwa identitas merupakan tindakan normatif individu yang bersebrangan dengan esensi biologis yang melekat dalam diri manusia. Bahwa, jika pandangan seks perempuan atau laki-laki sebagai penentu gender dan gender sebagai penentu orientasi seksual.

Mengutip pandangan al-Kindi mengenai jiwa, ia adalah “tunggal dan bersipat sempurna dan mulia‟. Esensinya berasal dari Sang Pencipta, seperti halnya sinar matahari berasal dari matahari. Telah dijelaskan bahwa jiwa terpisah dari badan dan berbeda daripadanya, dan bahwa esensinya adalah ilahi dan spiritual menilik akan keunggulan sipatnya dan kejijikannya terhadap nafsu dan keberingasan yang membinasakan badan.

Artinya ketika melepaskan hakikat identitas, maka upaya dalam pemimggiran antara substansi badan dan jiwa justru akan mencederai dan melampaui batas atas hakikat mutlak yang tidak dapat terlepas dari diri manusia.

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan perjuangan komunitas queer yang dimulai sekitar pada tahun 1970-an dalam memperjuangkan hak-hak mereka yang terpinggirkan kemudian beralihkan dengan identitas politik sebagaimana analogi varian gender LGBT yang sudah mendapatkan pengakuan.

Hal itu mengharuskan para ahli teori secara teoritis untuk melakukan pembaharuan dengan menggunakan satu metode maupun campuran dalam membingkai pertanyaan penelitian dengan kekuatan, bahasa, seksualitas, dan perbedaan dalam pikiran.

Namun, perjuangan dalam memosisikan queer di dalam ruang publik memberikan klaim sendiri dengan beberapa indikator gender yang diberikan dan menentang heteronormavitas seperti apa yang Judith Butler katakan.

Terlebih lanjut,para teori ahli pun perlu menganalisis secara kritis praktik kelembagaan dimana pendanaan diberikan untuk penelitian survei yang mengandalkan sampel ketetapan yang didominasi kulit putih, sarjana kelas menengah.

Daftar Rujukan

Ana, C. (n.d.). Social Movement and Citinzhip in Southern Europe.

Butler Judith. (1990). Gender Trouble. In B. Judith, Gender Trouble (p. 225). New York: Adventure Works Press.

Christian, H. (n.d.). Derrida and Queer Theory.

de, L., & Dever. (1990). On Lesbianism as a desexualized fantasy of feminism. Adventure Works, 185.

E. Hall, D. (n.d.). Queer Theoris.

Garber, L. (2001). Identity Poetics. Chicago: Columbia: University Press.

J, B. (1990). Gender Trouble; Feminism and the Subversion of Identity. London. Jackson, Sorensen. (1993). Introduction to International Relations. New York: Cornel University Press.

James, F. (n.d.). Sejarah dan Sistem.

John, L. (2008). Questions Concerning the Law of Nature. Ithaca and London: Cornel University Press.

Marion Young, I. (1990). “Five Faces of Oppression”, in Justice and the Politics of Difference . Princeton University Press.

Meredith, G. (n.d.). Sexual Devience and Society: A sociological Examination.

Michel, F. (n.d.). The History of Sexuality. The History of Sexuality. Vol. 1, An Introduction Trans, 181.

Michelangelo, S. (n.d.). Queer in Amerika ‘Sex, the Media, and the Coselts of Power.

Nikki, S. (1997). A Critical Introduction to Queer Theory. New York: Edinburgh University Press.

Paulus, B. (1997). Mengenal Teori Kepribadian Mutakhir. Yogyakarta: Kanisius.

Siobhan, B. (n.d.). Queering the Color Line: Race and the Invention of Homosexuality in American Culture. Amerika: Duke University Press. Tiina, R. (2008). “LOCALLY QUEER A Note on the Feminist Genealogy of Queer Theory Graduate”. Worls Monthly, 16.

Eugenia Dhea Adeline
Eugenia Dhea Adeline
Sarjana Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Universitas Mulawarman Samarinda, Kalimantan Timur. Mahasiswa Berprestasi Fakultas Keguruan dan Keilmuan Universitas Mulawarman tahun 2020. Duta Mahasiswa Pancasila BPIP dan PUSKAPSI Universitas Jember. Makalah terbaik putri Program Kaderisasi Ulama Gontor tahun 2021.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru