31.5 C
Jakarta

Menelaah Film “13 Bom di Jakarta” dalam Perspektif Perempuan

Artikel Trending

KhazanahPerempuanMenelaah Film “13 Bom di Jakarta” dalam Perspektif Perempuan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Film “13 Bom di Jakarta” sempat menjadi pembicaraan hangat di kalangan masyarakat Indonesia beberapa waktu lalu. Keberhasilan film tersebut mencuri perhatian tidak lain karena biaya produksinya yang mencapai kisaran antara Rp8 miliar hingga Rp25 miliar. Selain itu, film tersebut juga menggunakan senjata asli dalam proses produksinya, sehingga memberikan efek visual yang sangat menegangkan.

Film tersebut berhasil menggambarkan dengan cukup nyata tentang kebrutalan tindakan terorisme, banyak masyarakat yang menjadi korbannya. Keotentikan cerita ini semakin meningkat karena terinspirasi dari peristiwa nyata, yaitu serangan terorisme di sebuah pusat perbelanjaan di Tangerang, Banten, pada tahun 2015.

Kisah film diawali dengan sekelompok teroris yang dipimpin oleh Arok mengancam akan meledakkan 13 bom di berbagai lokasi di Jakarta, setiap delapan jam sekali. Beberapa dari bom tersebut diledakkan di lokasi-lokasi kritis, seperti stasiun kereta api, bandara dan jalanan utama, sehingga menimbulkan kerusakan besar dan memakan banyak korban jiwa.

Insiden itu memicu Badan Kontra Terorisme (ICTA) yang akhirnya turun gunung. Mereka mulai merancang strategi baru untuk menjebak Arok dan komplotannya. Namun, rencana tersebut terbaca oleh Arok, yang kemudian justru membuatnya semakin gencar dan tak ragu untuk melancarkan aksi terornya.

Ternyata, kemampuan Arok dalam mengantisipasi langkah ICTA bukan tanpa alasan. Di dalam tubuh tim khusus bersembunyi seorang penyusup, seorang mata-mata yang membocorkan informasi. Beberapa orang sempat menjadi daftar orang yang dicurigai, namun satu per satu meleset. Akhirnya, di detik film berakhir sang penyusup baru terbongkar.

Perempuan Unjuk Gigi dalam Aksi Terorisme

Mata-mata tersebut ternyata adalah Gita, seorang pegawai yang tidak disangka adalah adik ipar dari Arok. Dia juga merupakan orang yang memegang bom ke-13. Strategi ini sangat efektif, karena sosok Gita sama sekali tidak menimbulkan kecurigaan, bahkan bagi saya sebagai penonton.

Hal ini disebabkan oleh imej yang dibangun bahwa terorisme sering kali diasosiasikan dengan laki-laki, sehingga membuat kita menganggap bahwa perempuan tidak mungkin terlibat dalam peran utama dalam aksi terorisme. Walaupun sebelum melancarkan aksinya, dia berhasil ditangkap oleh Karin, atasannya, tepat pada waktunya.

Film tersebut cukup jelas mengilustrasikan adanya pergeseran tren peran perempuan dalam dunia terorisme sebagai strategi baru. Di masa lalu, perempuan sering kali terbatas pada peran dalam urusan rumah tangga dan sebagai pendukung bagi suami mereka yang teroris, tetapi kini mereka menjadi pelaku utama dalam aksi-aksi terorisme. Salah satu alasan utamanya adalah karena keterlibatan perempuan cenderung tidak mudah dicurigai, karena dianggap lemah-lembut.

BACA JUGA  Perempuan dan Keadilan Gender: Sebuah Telaah Ulang

Misalnya, aksi terorisme yang melibatkan perempuan di Surabaya pada 13 Mei 2018. Tindakan pengeboman yang menargetkan gereja tersebut melibatkan satu keluarga, yakni Dita Oepriarto, Puji Kuswati, dan keempat anak mereka. Dalam aksi tragis itu, kedua anak perempuan bersama ibu mereka diberikan sabuk bom dan meledakkan diri di depan gereja. Akibatnya, delapan belas orang tewas, yakni enam pelaku dan dua belas warga sipil.

Urgensi Kontra-terorisme oleh Perempuan

Tentu saja, kasus pelibatan perempuan seperti yang terjadi dalam aksi tersebut hanya sebagian kecil. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dari tahun 2000 hingga 2023, telah tercatat 65 putusan pengadilan pidana yang menjatuhkan hukuman kepada perempuan yang terlibat dalam terorisme. Selain itu, berdasarkan data penangkapan dari Densus 88 Antiteror Polri, setidaknya ada 68 kasus penangkapan terhadap perempuan yang terlibat dalam kegiatan terorisme.

Oleh karena itu, keterlibatan perempuan dalam upaya pencegahan terorisme menjadi suatu kebutuhan yang mendesak. Terlebih lagi, hasil survei yang dilakukan oleh BNPT pada tahun 2020 menunjukkan bahwa indeks potensi radikalisme cenderung lebih tinggi di kalangan perempuan, urban, generasi Z, milenial, serta individu yang aktif di internet dan media sosial.

Di beberapa ruang, perempuan memegang posisi yang strategis, mulai dari peran dalam lingkup terkecil seperti keluarga hingga peran dalam lingkup luas seperti organisasi. Keberhasilan dalam penanggulangan radikalisme tidak hanya bergantung pada kebijakan pemerintah, tetapi juga sangat tergantung pada peran unit-unit kecil seperti keluarga. Keluarga dianggap sebagai benteng utama dalam melawan penyebaran paham radikal. Peran perempuan, khususnya dalam mendidik dan meningkatkan literasi anak-anak, juga sangat penting.

Dalam skala yang lebih besar, perempuan dapat berperan sebagai agen perdamaian di suatu daerah. Sebagai contoh, Lian Gogali, seorang aktivis perempuan dan perdamaian yang lahir di Poso, Sulawesi Tengah pada 28 April 1978, telah mempraktikkan hal ini.

Dia mendirikan sekolah perempuan dan Institut Mosintuwu, sebuah lembaga untuk perempuan lintas agama di daerah kelahirannya. Selain membawa misi kesetaraan dan keadilan bagi anak-anak dan perempuan, Lian Gogali juga bertujuan membawa perdamaian bagi kemanusiaan.

Sekolah perempuan ini menjadi wadah bagi perempuan dari berbagai latar belakang agama, suku, sosial, dan ekonomi, yang memungkinkan mereka untuk meningkatkan pengetahuan serta berkolaborasi dan berkreasi bersama dengan aktivis perempuan lainnya.

Hoerunnisa
Hoerunnisa
Mahasiswi UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Asal dari Garut Selatan, aktif di organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kabupaten Bandung. Saat ini tergabung dalam komunitas menulis Puan Menulis.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru