32.5 C
Jakarta

Toleransi Beragama dan Sejarah yang Tak Sepenuhnya Kelam

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuToleransi Beragama dan Sejarah yang Tak Sepenuhnya Kelam
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
Judul Buku: Koeksistensi Islam-Kristen, Penulis: Mun’im Sirry, Penerbit: SUKA Press, Tahun: 2022, ISBN: 978-623-7816-66-9, Tebal: x + 291 halaman, Peresensi: Rofiki Asral.

Harakatuna.com Dalam struktur masyarakat yang heterogen, mungkinkah satu kelompok dapat berdampingan dengan kelompok lain yang berbeda terutama dalam hal agama, dengan sepenuhnya saling menerima dan tanpa harus saling curiga? Jika pertanyaan ini dijawab oleh kaum pluralis dan para penganut inklusivisme, kita bisa optimis bahwa jawabannya sudah pasti iya. Mereka menyebutnya toleransi.

Tentu dengan catatan tambahan: jika secara praktis didukung oleh tingkat literasi dan kesadaran yang kuat masyarakat suatu bangsa tersebut. Tanpa dilandasi dua hal itu, mustahil sepertinya menciptakan masyarakat toleran, yang menghargai keragaman, lebih-lebih perbedaan keyakinan.

Memang, ketegangan antarumat beragama tidak dapat dimungkiri dalam sejarah panjang umat manusia. Terutama dalam relasi Islam dan Kristen, sepanjang sejarah perjalanannya dua agama besar ini digambarkan kerap bersitegang bahkan tak jarang menimbulkan konflik berdarah.

Ketegangan tersebut sebenarnya terus berlangsung hingga zaman modern, meskipun pada level yang berbeda. Fenomena Islamophobia di Barat yang memunculkan diskriminasi terhadap umat Muslim, sentimen-sentimen negatif ihwal kristenisasi dan islamisasi, serta persoalan-persoalan lain yang menyebabkan kesalahpahaman dua belah pihak, adalah bukti bagaimana hingga era modern pun ketegangan itu masih terjadi.

Akankah ketegangan-ketegangan semacam itu terus berlanjut, sementara hari ini sebagai “warga dunia” kita dituntut untuk bersikap toleran terhadap segala perbedaan? Bukankah konflik atas nama perbedaan lebih-lebih perbedaan keyakinan sama sekali tidak menguntungkan bagi siapa pun yang terlibat di dalamnya?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu dapat kita lihat dalam tulisan-tulisan Mu’im Sirry yang terdapat dalam buku “Koeksistensi Islam-Kristen”. Jika sekalian dikaitkan dengan pertanyaan pada bagian awal, secara implisit buku ini menggiring kita pada pentingnya jalinan hidup harmonis antarumat beragama, khususnya Islam dan Kristen.

Dengan penyajian yang sederhana, Mun’im mencoba menunjukkan bahwa tidak selamanya ketegangan antara dua agama besar itu terjadi. Ada lho momen-momen keharmonisan yang terjalin cukup intens bahkan sejak perkembangan dunia Islam awal.

Bahkan bukan sebatas hidup rukun berdampingan sebagai warga negara, melainkan bangunan relasi erat dalam memainkan peran politik bagi peradaban Islam kala itu. Fakta historis inilah yang saat ini jarang diketahui oleh kita sebagai umat beragama.

Dalam buku ini, Mun’im memaparkan fakta-fakta sejarah itu melalui sumber-sumber, yang dalam bahasanya sendiri, “tak umum diakses oleh para sarjana” atau pengkaji religious studies. Perbincangan seputar perjumpaan teologis dan pluralisme agama yang barangkali dianggap cukup sensitif oleh sebagian orang, dibahas Mun’im melalui analisis yang cermat dan cukup ‘berani’, namun tetap dengan bahasa yang mudah dipahami.

Singkatnya, ia sebenarnya menegaskan bahwa tak ada yang salah dalam mengkaji agama orang lain. Tradisi akademik semacam ini memang menjadi tugas kesarjanaan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan sekaligus mendorong dialog lintas agama.

Melihat Sejarah yang Tersisihkan

Sejarah yang digambarkan oleh banyak sumber terkait relasi Islam-Kristen yang kerap diwarnai ketegangan, rivalitas, bahkan perang, memang menjadi sebuah kenyatan historis. Namun, di balik tumpukan sejarah yang berjibun itu, terdapat bertumpuk data historis lain yang jarang kita dengar dan lihat, yang menunjukkan bahwa ternyata tidak sepelik itu hubungan antara dua agama tersebut.

BACA JUGA  Keterlibatan Perempuan dalam Kejahatan Terorisme

Ini sekaligus menegaskan bahwa sebenarnya realitas sejarah itu begitu kompleks. Ada bagian-bagian penting yang kadang tidak dipotret secara serius bahkan sengaja dihilangkan demi kepentingan tertentu.

Sebagai contoh, keterlibatan nyata non-Muslim dalam dunia Islam dapat dilihat ketika masa perkembangan Islam awal, tepatnya ketika peradaban Islam berada di bawah naungan Dinasti Umayyah, Abbasiyah, dan Fathimiyah. Tiga dinasti ini memainkan peran penting dalam kemajuan Islam pascawafatnya Nabi dan berakhirnya pemerintahan Khulafa Al-Rayidin.

Di era Umayyah, Mu’awiyah (pendiri dan khalifah pertama Dinasti Umayyah), sebagaimana disebutkan dalam sumber sejarah Islam klasik, mempekerjakan banyak orang Kristen dalam pemerintahannya. Bahkan Al-Ya’qubi menyebut Mu’awiyah sebagai penguasa Muslim pertama yang melibatkan kalangan nonmuslim dalam pemerintahan dan menempatkannya dalam posisi-posisi strategis.

Kebijakan Muawiyah ini kemudian dilanjutkan pada era Abbasiyah. Disebutkan bahwa Al-Mu’tashim-lah yang pertama kali mengangkat wazir (setingkat perdana menteri) dari kalngan Kristen. Posisi wazir merupakan jabatan politik strategis karena bertindak sebagai badan eksekutif dan secara hierarkis merupakan jabatan tertinggi kedua setelah khalifah. Tidak hanya Kristen, pada era dinasti ini beberapa orang dari kalangan Yahudi dan Majusi juga disebutkan pernah menempati posisi politik strategis dalam pemerintahan.

Hal yang sama juga terjadi dalam sejarah Dinasti Fathimiyah. Bahkan, Mun’im menyebut peran kepemimpinan non-Muslim dalam pemerintahan yang berpaham Syi’ah Ismailiyah itu mencapai level yang tiada bandingnya.

Tercatat setidaknya selama 3 abad pemerintahan Dinasti Fathimiyah yang berpusat di Mesir, ada 7 orang Kristen dan 3 Yahudi yang menjabat sebagai wazir, belum lagi yang menempati jabatan-jabatan penting lainnya di sektor administrasi pemerintahan.

Sementara di luar konteks yang bersifat politis itu, partisipasi nonmuslim sebenarnya sudah dapat dilacak bahkan sejak masa hidup Nabi dan era Khulafa Al-Rasyidin. Sebagaimana termuat dalam beberapa hadis dan sumber sejarah, seperti dalam Kitab Tarikh-nya Thabari, menyebut keterlibatan nonmuslim yang bergabung ke dalam pasukan Islam dalam beberapa peperangan.

Tradisi Intelektualisme sebagai Fondasi

Peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah itu sebenarnya dapat menjadi refleksi bagi kehidupan umat beragama saat ini. Betapa pun sejarah menunjukkan sisi-sisi kelam hubungan antar pemeluk agama yang dipenuhi ketegangan, namun ada sisi-sisi positif tak terbantahkan di mana mereka bisa harmonis berdampingan bahkan menjalin kolaborasi dalam membangun peradaban.

Riset yang dilakukan Mun’im dengan membeberkan sejumlah data historis seperti yang tergambar di atas menyiratkan betapa luasnya cakrawala dunia Islam yang masih perlu untuk digali lebih lanjut.

Paling tidak, jika bukan keharusan untuk setiap umat beragama, ia merupakan tugas bagi kalangan intelektual, tugas kesarjanaan, khususnya yang bergelut dalam religious studies, sebagai kewajiban pengembangan ilmu pengetahuan untuk diperkenalkan kepada masyarakat luas. Apalagi jika hal ini mampu membawa implikasi praktis, semisal menyadarkan masyarakat akan pentingnya toleransi beragama.

Bagi saya, buku ini berhasil merepresentasikan bagaimana toleransi terbangun melalui pondasi tradisi intelektualisme. Secara tidak langsung, Mun’im menyadarkan pembaca bahwa dengan menelaah sumber-sumber dari berbagai arah dan mempelajari langsung agama orang lain akan menjadikan pemikiran seseorang lebih terbuka terhadap segala perbedaan.

Dengan begitu toleransi akan tumbuh menjadi wujud pengamalan ilmu pengetahuan. Demikianlah kira-kira gambaran kerja kesarjanaan dalam studi agama; memproduksi ilmu pengetahuan sekaligus menciptakan kesadaran.

Rofiki Asral
Rofiki Asral
Kelahiran Sumenep, Madura, 1999. Menempuh pendidikan pada program studi Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru