32.7 C
Jakarta

Terorisme di Sekeliling Kita: Antara Konsekuensi Sosial, Ekonomi dan Psikologis

Artikel Trending

Milenial IslamTerorisme di Sekeliling Kita: Antara Konsekuensi Sosial, Ekonomi dan Psikologis
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Kasus Al-Zaytun dengan sang gembong, Panji Gumilang alias Abu Toto, mengejutkan banyak pihak. Sebab, dia jelas-jelas merupakan tokoh NII KW 9. Artinya, selama dua dekade, di tengah masifnya gebrakan pemerintah dalam kontra-terorisme, masih ada yang luput. Dalam kurun waktu itu pula, dia mengajarkan kesesatan. Gerilya Abu Toto, untuk terorisme, tidak hanya memiliki dampak sosial dan ekonomi, namun juga psikologis masyarakat.

Apakah Panji layak disamakan dengan Para Wijayanto dan Aman Abdurahman? Dalam konteks gerakan, tidak. Fenomena Al-Zaytun dan Panji lebih mirip dengan Abdullah Sonata dan lembaga-lembaga pendidikan binaannya yang mendukung Daulah. Seperti diuraikan sebelumnya, Sonata alias Abu Hamzah punya sejumlah lembaga, yaitu Ponpes Imam Syafi’i, Rumah Qur’an Utrujah, dan Markaz Khoirukum. Pengaruhnya di masyarakat juga sama besarnya.

Atau sama dengan gerakan Suherman alias Abu Jauhar yang juga membina sejumlah lembaga pendidikan non-formal, yakni Baitul Qur’an Darul Muhajirin, Rumah Qur’an Dzurriyyati Syamsudin (RQDS). Semuanya tersebar di Jabodetabek. Di Bandung, ada Pesantren Qur’an Safinatul Ilmi, Rumah Tahfiz Plus (RTP) Baiturrahman, Yayasan Dapur Yatim, Baitul Hamasah. Jawa Barat banyak dihuni lembaga pendukung Daulah, termasuk Rumah Qur’an Darun Najah di Indramayu.

Ironi, bukan? Jelas. Ternyata yang kita anggap aman tidak seperti kelihatannya. Ada satu fakta yang mesti kita sadari bersama, yaitu dinamika terorisme di Indonesia. Di sekeliling kita memang tidak ada lagi aksi teror bom seperti dulu, namun bukan berarti terorisme tidak ada. Terorisme di sekeliling kita tetap memainkan peran dalam mendestruksi aspek sosial-ekonomi negara dan psikologis masyarakat—terutama umat Islam. Parahnya, banyak yang tidak menyadari hal itu.

Karena itu, mengungkap dampak terorisme di sekeliling kita merupakan tugas moral seluruh pihak. Kita tidak dapat membayangkan masa depan masyarakat ketika hari ini, dan dalam jangka yang lama, terorisme memengaruhi mereka. Tidak hanya individu masyarakat yang terkena dampak buruknya, tetapi juga negara secara umum. Boleh jadi, sistem pemerintahan terus berjalan seperti sekarang. Namun bagaimana jika aspek sosial dan ekonominya terpuruk?

Sosial Rusak, Ekonomi Memburuk

Seiring dengan menjamurnya lembaga pendidikan pendukung Daulah di sekeliling kita, ada harga mahal yang harus kita bayar, yaitu rusaknya kondisi sosial masyarakat. Dahulu, masyarakat Indonesia dikenal karena sikap toleran, inklusif, dan harmoni dalam pluralitas. Religiusitas mereka tidak melahirkan prasangka buruk terhadap yang berbeda, justru mengeratkan persatuan dalam heterogenitas sosial. Sayangnya, apakah sosial kita hari ini—dan ke depan—masih seperti itu?

Ada dua dampak buruk terorisme terhadap aspek sosial kita. Pertama, perubahan sosial, yang mencakup kerusakan hubungan sosial dan pergeseran nilai dan persepsi. Polarisasi masyarakat hari ini seperi label kadrun, cebong, dll, merupakan bukti perubahan sosial yang nyata. Perubahan tersebut mencakup rusaknya relasi sosial antarumat beragama, bahkan antarumat Islam itu sendiri. Terjadi pergeseran nilai toleransi hingga intoleransi pun jadi persepsi yang mainstream. Ironis.

Kedua, stigmatisasi dan diskriminasi. Dampak sosial ini terkait dengan minoritas di Indonesia. Terorisme membuat umat Islam tersudut, dicap buruk, dan didiskriminasi di mana-mana. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lainnya. Penembakan Nahel di Prancis oleh polisi setempat, misalnya, merupakan contoh bahwa aspek sosial umat Islam sedang dalam keterpurukan yang nyata. Kita bisa menyangkal terorisme tak dibenarkan Islam, tapi ternyata pelaku teror selalu Muslim. Dilematis.

BACA JUGA  Idul Fitri, Memperkuat Kohesi Sosial dan Penyucian Diri

Dalam aspek ekonomi, terorisme juga punya dampak buruk. Ini berkaitan dengan fakta bahwa aksi teror menyasar lokasi-lokasi strategis, seperti tempat wisata. Ambil contoh bom Bali, bagaimana kerugian ekonomi akibat terorisme tersebut? Tidak hanya infrastruktur, sektor pariwisata dan investasi pun terkena imbas yang signifikan. Ekonomi memburuk, dan masyarakat mengalami kerugian besar. Terorisme merusak ekonomi rakyat dan negara—menyengsarakan hidup mereka.

Selain itu juga instabilitas pasar. Terorisme memiliki pengaruh penting terhadap lesunya pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan sosial. Ekonomi mikro dan makro sama-sama terkena dampaknya. Masyarakat semakin jauh dari kata sejahtera. Sayang sekali, mereka tidak bisa berbuat banyak. Sebagian kalangan bahkan memaklumi hal tersebut sebagai konsekuensi sosial-ekonomi akibat terorisme. Tanyakan apakah masyarakat sekeliling kita sejahtera? Tidak. Terorisme mengacaukan semuanya.

Dampak Psikologis dan Respons Kita

Apakah sosial-ekonomi menjadi satu-satunya yang terdampak? Jelas tidak. Dari aspek psikologis, terorisme mengakibatkan trauma dan gangguan kesehatan mental. Ini bisa menimpa korban langsung, saksi, maupun pihak yang sama sekali tidak tahu-menahu. Kita sebagai Muslim kerap merasa paranoid ketika berada di luar Indonesia. Khawatir mengalami islamofobia atau diskriminasi lainnya. Psikologi kita, sebagai umat Muslim, terkena imbasnya.

Terorisme dengan demikian mewariskan ketakutan dan kecemasan; efek jangka panjang ihwal kesejahteraan psikologis masyarakat. Ini parah sekali. Kita kerap diidentikkan dengan teroris lalu merasa cemas. Kita juga takut terjadi aksi teror pada saat-saat tertentu, karena dekatnya teroris dengan kita. Artinya, terorisme di sekeliling kita, secara psikologis, membuat kita dihantui rasa cemas dan takut; takut jadi sasaran teror atau sasaran pelampiasan korban teror.

Lalu bagaimana respons kita? Ada dua agenda yang bisa kita lakukan, yakni penanggulangan dan pemulihan. Keduanya mencakup respons pemerintah pada aspek keamanan, rehabilitasi, dan reintegrasi, serta dukungan sosial yang berkenaan dengan peran komunitas dan lembaga bantuan dalam pemulihan itu sendiri. Dari segi keamanan, aparat boleh jadi sudah optimal. Yang perlu dioptimalisasi ialah peran komunitas, karena hari ini masih minim sekali.

Dengan demikian, penting untuk menyoroti dampak terorisme di sekeliling kita secara ekstensif. Jika sosial kita rusak, masyarakat akan semakin rentan jadi teroris. Jika ekonomi kita memburuk, radikal-terorisme jelas akan semakin marak. Adalah fakta bahwa faktor pemicu terorisme ialah realitas sosial-ekonomi yang terpuruk. Adapun psikologi masyarakat yang terganggu akibat terorisme memosisikan mereka sebagai korban dan terjerumus dalam insekuritas yang akut.

Tantangan dan peluang dalam penanggulangan terorisme dan pemulihan sosial-ekonomi ialah militansi. Kurangnya sikap militan membuat terorisme di sekeliling kita tetap bebas berkeliaran. Sebab, di antara masyarakat kita, ada yang tidak percaya pada terorisme. Alih-alih ikut menanggulangi, mereka memilih abai. Hingga aspek psikologis mereka terganggu, lumrahnya mereka akan tetap bergeming. Sementara itu, para teroris dan kelompok teror semakin menjamur di sekeliling kita. Sangat ironis.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru