33.5 C
Jakarta

Teror Natal: Preseden Buruk yang Jangan Sampai Terjadi di Indonesia

Artikel Trending

Milenial IslamTeror Natal: Preseden Buruk yang Jangan Sampai Terjadi di Indonesia
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Persis tujuh tahun lalu, yakni 19 Desember 2016, tragedi mengerikan terjadi di Pasar Natal Berlin, Jerman, ketika seorang pengemudi truk dengan sengaja menyeruduk kerumunan, menewaskan 12 orang dan melukai lebih dari 70 orang. Kejadian tersebut tidak hanya menyisakan duka mendalam bagi masyarakat dunia, tetapi juga menyoroti pentingnya kewaspadaan menjelang perayaan Natal, 25 Desember.

Salah satu korban peristiwa tersebut ialah pengemudi truk itu sendiri, yang tewas tertembak dalam kendaraannya. Pelakunya dari Tunisia, yang terinspirasi propaganda ISIS, berhasil melarikan diri setelah serangan tersebut. Namun, empat hari kemudian, ia juga tewas dalam baku tembak dengan polisi di dekat Milan, Italia. Serangan itu dianggap aksi teroris, sebagai peringatan keras ihwal ancaman di tengah perayaan Natal.

Menariknya, kasus tersebut memicu respons cepat aparat Jerman. Kantor Jaksa Agung Federal langsung melakukan penyelidikan. Tidak lama, Eurojust, lembaga Uni Eropa yang berfokus pada kerja sama yudisial, juga terlibat secara aktif. Kerja sama Jerman dengan Eurojust untuk kasus teror Natal itu menyoroti signifikansi kolaborasi internasional dalam mengatasi ancaman terorisme.

Eurojust, sebagai penghubung antarnegara di tingkat yudisial, memainkan peran krusial dalam memfasilitasi pertukaran informasi akurat. Ia juga memiliki akses memadai ke jaringan koresponden nasionalnya untuk menangani terorisme. Keberhasilan Eurojust dalam menyelenggarakan pertemuan koordinasi pada Maret 2017, yang dihadiri para stakeholders berbagai negara, menunjukkan urgensi strategi integratis menghadapi tantangan serius ini.

Pertemuan tersebut membahas status korban dan saksi dari berbagai negara, serta hasil penyelidikan mengenai perjalanan pelaku dan keberadaannya menjelang aksi, antara 19 dan 23 Desember 2016. Kesepakatan untuk melanjutkan kerja sama langsung melalui Eurojust menegaskan pentingnya sinergi antarnegara, terutama karena Natal adalah perayaan internasional yang selalu berada di bawah bayang ancaman terorisme.

Bagaimana dengan Indonesia?

Dengan melihat kasus di Jerman tersebut, juga respons sigap pemerintah untuk menanganinya, kita diingatkan akan kebutuhan untuk tetap waspada dan memperkuat kerja sama internasional dalam menjaga keamanan selama perayaan Natal. Menyikapi ancaman bersama, seperti yang terlihat dalam respons cepat Eurojust dan kerja sama lintas negara, adalah kunci melindungi masyarakat dan merayakan Natal dengan aman.

Bukannya hari ini aksi teror sudah jarang terdengar? Benar, hari-hari ini memang sedang tiarap, semua teroris jarang melakukan aksi. Namun justru itu poinnya: jangan sampai lengah. Bicara tentang terorisme, sudah banyak preseden buruk yang harus jadi pelajaran bersama. Teroris di berbagai negara itu memanfaatkan dua situasi, pertama, keramaian yang diisi para non-Muslim, dan kedua, kelengahan masyarakat.

Di Indonesia, aksi teror yang menargetkan non-Muslim banyak buktinya. Yang paling bersejarah adalah Bom Bali, yang menewaskan ratusan turis asing, terutama AS dan Australia. Teror yang menarget gereja juga tidak sedikit. Pengeboman gereja di Solo tahun 2011, teror di Gereja Oikumene, Samarinda tahun 2016, pengeboman gereja di Surabaya tahun 2018, dan bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar tahun 2021, misalnya.

Itu semua menjadi bukti bahwa Indonesia harus selalu waspada, terutama setiap menjelang perayaan Natal. Teroris itu, jangankan pada non-Muslim, kepada sesama Muslim yang dianggap menyimpang pun, akan melakukan aksi teror. Maka tidak ada alasan untuk meremehkan ancaman mereka. Sebagai ideologi, terorisme akan selalu melahirkan anak ideologis yang siap mati. Natal, bagi mereka, adalah salah satu medan jihad.

BACA JUGA  Riak-riak Kaum Radikal-Populis di Tengah Putusan MK

Sebagaimana umumnya medan jihad, mereka akan sangat bahagia jika dapat melakukan aksi teror dan menewaskan banyak umat Kristiani. Tidak terbayangkan betapa bahagianya para teroris di negara ini, termasuk para ideolog mereka yang mendekam di penjara, ketika Natal jadi menakutkan bagi para pemeluk Kristen. Karenanya, tidak ada cara lain untuk merespons mereka, yaitu: lawan! Jangan sampai Indonesia jadi medan amaliah mereka.

Lawan Teroris!

Upaya melawan teroris, atau secara umum kontra-terorisme, di negara ini, dapat dikata sudah komprehensif. Strategi para stakeholder, baik BNPT RI, Densus 88, BAIS TNI, maupun BIN sudah sangat mumpuni untuk menyikat mereka. Sinergi dengan masyarakat juga sudah dilakukan. Sepertinya, yang harus dilakukan untuk melawan teroris dan mencegah preseden buruk terjadi di Indonesia adalah dalam hal penguatan saja.

Pertama, penguatan kerja sama internasional. Ini seperti yang dilakukan stakeholders Jerman dan Eurojust. Kolaborasi dengan negara-negara tetangga dan lembaga internasional memungkinkan pertukaran informasi yang efektif dan koordinasi tindakan bersama. BNPT sudah melakukan kunjungan ke berbagai negara dan menandatangai MoU dengan mereka. Namun, apakah sudah optimal kinerjanya? Atau formalitas belaka?

Kedua, peningkatan kapasitas penegak hukum. Ini dalam rangka pengayaan SDM, termasuk kepolisian dan badan intelijen, dalam mendeteksi, mencegah, dan menanggapi ancaman terorisme. Pelatihan yang terus-menerus dan peralatan yang memadai dapat memperkuat kemampuan ini, sehingga aparat tidak lagi kalah langkah dengan teroris. Artinya, jika teror Natal masih terjadi suatu hari, berarti teroris masih selangkah lebih maju.

Ketiga, penguatan keamanan di tempat ibadah. “Kecolongan” adalah kata yang sering muncul ketika aksi teror terjadi. Bagaimana sebuah gereja jadi mencekam karena dibom, harus diakui, merupakan bentuk lemahnya pengamanan tempat ibadah. Bayangkan, Banser NU harus turun jadi sukarelawan menjaga gereja. Lalu ratusan ribu aparat yang digaji itu: TNI dan Polri, bekerja apa saat Natal? Pergi ke mall?

Memperkuat keamanan di tempat-tempat ibadah, terutama pada periode-periode sensitif seperti Natal, itu wajib hukumnya. Ini melibatkan peningkatan pengawasan, pemeriksaan keamanan, dan kerja sama dengan komunitas keagamaan. Banser NU hanya mitra, bukan petugas lapangan. Tupoksi ini harus jelas, sekalipun jaga gereja itu tidak dibayar. Aparat harus siap siaga dan harus respons cepat, sehingga Indonesia aman dari teror Natal.

Tentu saja, selain keempat poin tersebut, banyak hal lain yang mesti dilakukan agar teror Natal tidak lagi terjadi di Indonesia. Aparat keamanan jelas lebih tahu dan punya tanggung jawab untuk itu. TNI-Polri, mereka digaji untuk mengamankan negara ini. Jika teroris masih dapat menerobos pengawasan, berarti para aparat harus membenahi kinerjanya.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru