27.3 C
Jakarta

Riak-riak Kaum Radikal-Populis di Tengah Putusan MK

Artikel Trending

Milenial IslamRiak-riak Kaum Radikal-Populis di Tengah Putusan MK
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Sudah nonton putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa Pilpres 2024? Ratusan demonstran memadati kawasan di sekitar Patung Arjuna Wijaya, beberapa ratus meter dari Gedung MK, Jakarta Pusat, di tengah sidang putusan sengketa Pilpres 2024 hari ini. Mereka membawa sejumlah atribut seperti spanduk yang menyerukan pembatalan hasil penghitungan suara Pilpres 2024.

Salah satu pendemo, Nani, 45 tahun, berharap MK dalam putusannya memberi rasa keadilan dengan mendiskualifikasi Prabowo-Gibran. “Tuntutannya diskualifikasi pasangan capres-cawapres nomor urut 02 dan pemilu diulang,” kata Nani, dilansir dari BBC. Pagi tadi, Nani belum mau berspekulasi tentang hasil putusan sidang MK. Namun, ia berharap MK memutuskan seadil-adilnya tanpa intervensi siapa pun.

Tidak hanya Nani, seluruh stasiun TV hari ini fokus meliput sidang putusan MK. Aparat gabungan juga dikerahkan untuk sterilisasi area MK—untuk mencegah kemungkinan terburuk seperti chaos dan lainnya. Mengaca pada Pilpres 2019 silam, banyak korban berjatuhan karena chaos, ketika pendukung Prabowo tidak terima dengan kekalahan mereka. Sepertinya potensi tersebut hari ini kembali tampak.

Dengan kata lain, hari ini terdapat riak-riak kaum radikal-populis di tengah putusan MK. Sejak pagi, massa sudah memadati area sekitar MK, mulai dari narasi penyelamatan demokrasi maupun semangat melawan kezaliman. Dalam narasi yang beredar, ternyata tidak semuanya murni untuk menggugat MK tetapi juga melampiaskan amarah dan kekecewaan atas pemilu itu sendiri. Sengketa Pilpres jadi momentum mobilisasi para radikalis.

Sengketa Pilpres; Momentum Radikalis

Sidang sengketa Pilpres merupakan momen penting dalam proses demokrasi di Indonesia. Namun, kekhawatiran akan potensi dimanfaatkan kaum radikal untuk melakukan mobilisasi massa, bahkan menciptakan kekacauan jika putusan MK tidak sesuai dengan keinginan mereka, merupakan isu yang perlu ditangani serius. Baik hari ini maupun ke depannya, karena gerakan mereka saling bertalian.

Memang, harus diakui bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk menyuarakan pendapat dan mengekspresikan kekecewaan mereka terhadap hasil putusan MK. Namun, kesadaran akan batas-batas ekspresi tersebut mesti dijaga seksama. Mobilisasi massa yang berujung pada chaos dan aksi radikal-ekstrem tidak hanya merusak proses demokrasi, tetapi juga membahayakan keamanan dan stabilitas nasional.

Pemerintah dan seluruh elemen masyarakat harus kolaborasi mencegah potensi radikalisasi dan propaganda populisme. Langkah-langkah konkret seperti peningkatan monitoring terhadap aktivitas kaum radikal, pendekatan persuasif untuk menyelamatkan masyarakat dari mereka, dan hukuman tegas bagi yang mencoba memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan pribadi-kelompok wajib dilakukan.

Pada saat yang sama, MK mesti berada di tengah dengan prinsip keadilan yang substantif. Tujuannya, agar semua pihak merasa puas dan kekuatan politik tidak disalahgunakan. Keterlibatan aktif untuk mendukung demokratisasi pemilu, menyebarluaskan informasi yang akurat dan seimbang, serta promosi sikap saling respek dan toleran membantu meminimalisasi ketegangan dan konflik yang tak diinginkan.

BACA JUGA  Politik Dinasti dan Politik Identitas, Bahaya Mana?

Dalam situasi yang rawan ini, sikap bijaksana dan bertanggung jawab dari semua pihak adalah sesuatu yang niscaya. Masyarakat Indonesia harus bersatu dalam spirit nasionalisme dan menghormati proses demokrasi. Jangan sampai sengketa Pilpres jadi senjata kaum radikal-populis untuk meracuni masyarakat. Jangan sampai juga putusan MK menjadi pemantik gerakan-gerakan people power di masa yang akan datang.

Riak Populisme, Harus Waspada?

Apakah aksi-aksi people power hari ini perlu diwaspadai sebagaimana di awal Reformasi? Atau, apakah riak-riak para radikalis-populis itu harus ditakuti sebagaimana saat polemik Al-Maidah 51 dengan aksi berjilid-jilidnya? Dua pertanyaan ini penting karena dari kacamata perancang aksi, mereka memobilisasi massa bukan tanpa tujuan. Mereka percaya bahwa jika putusan MK tidak sesuai gugatan, chaos adalah senjata terampuh.

Lalu bagaimana menyikapinya? Di sini peran seluruh pihak dibutuhkan. Masyarakat, terutama, mesti diedukasi tentang ancaman populisme yang memanfaatkan isu nasional untuk menggalang kekuatan massa—alih-alih perbaikan bersama. Tujuan edukasi ini tidak lain adalah memfiltrasi tumbuhnya gerakan populis yang menggunakan rakyat sebagai tameng, juga menyelamatkan masyarakat dari rongrongan radikalisme.

Mengapa radikalisme yang harus diwaspadai? Sebab, populisme selama ini diinisiasi oleh kaum radikal yang kalah pamor secara sosial-politik di tengah masyarakat. FPI, sebagai contoh, para anggotanya yang tidak puas dengan rezim—baik karena organisasinya dilarang maupun ideologinya tak tersampaikan—berusaha membangun kekuatan secara diaspora. Para penumpang gelap FPI melakukan segala cara untuk itu.

Hal itu dapat divalidasi dengan hadirnya tokoh-tokoh besar FPI dalam setiap flyer gerakan populisme—sebagaimana dalam thumbnail tulisan ini. Umumnya mereka disatukan dengan tokoh lain yang sebenarnya tidak seideologi, seperti Ismail Yusanto dan Felix Siauw, namun punya agenda yang sama yaitu mengkritik rezim dan meruntuhkan kepercayaan masyarakat. Artinya, populisme adalah perkumpulan para radikalis lintas organisasi.

Dengan demikian, sekalipun riak-riak kaum radikal-populis tidak perlu dikhawatirkan sebagaimana saat awal Reformasi dan aksi bela Islam berjilid-jilid, perkawinan kaum radikal lintas organisasi merupakan momok yang menakutkan. Bayangkan jika para anggota FPI dan HTI yang sudah tak punya organisasi itu bersatu untuk merespons berbagai polemik nasional, seperti sengketa Pilpres 2024. Ini bahaya. Sangat berbahaya untuk Indonesia.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru