29.1 C
Jakarta

Partai Islam, Pesta Politik, dan Ekspresi Keagamaan yang Ramai

Artikel Trending

Milenial IslamPartai Islam, Pesta Politik, dan Ekspresi Keagamaan yang Ramai
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Menjelang Pemilu 2024, ramai-ramai orang membicarakan politik praktis. Begitu juga banyak umat dan tokoh agama terlibat terus memompa semangat masyarakat Indonesia untuk secara aktif pada hajatan politik ini.

Partai Islam

Sebagai sebuah contoh, Ustaz Ismail Yusanto (UIY) mendorong umat Islam untuk terlibat dalam politik ini. Dia menyarankan bahwa partai politik Islam harus melanjutkan estafet kepengurusan dalam tingkat kenegaraan dan kebangsaan.

Secara jelas Ismail Yusanto, mengatakan bahwa tujuan yang harus dicapai oleh partai atau kutlah atau jemaah kaum muslim yang bersifat politik saat ini adalah melanjutkan kehidupan Islam.

Tidak malu-malu Ismail Yusanto bahkan mengutip sebuah ayat untuk menguatkan argumennya di atas: “dalam surah Ali Imran ayat 104 terdapat kewajiban adanya satu atau lebih partai politik Islam dan tidak mungkin kita mengharap kepada sesuatu yang bukan Islam,” ujarnya dalam di kanal Ngaji Shubuh, Rabu (14-6-2023).

Bahkan Ismail Yusanto memproyeksikan bahwa partai-partai harus berjalan dalam dua lorong. Pertama, ketika berada dalam kehidupan Islam yang di dalamnya diterapkan syariat Islam secara kaffah di bawah naungan khilafah. Kedua, ketika kehidupan Islam tidak ada karena tidak diterapkannya syariat Islam secara kaffah ataupun diterapkan secara parsial di bawah sistem yang bukan Islam,” jelasnya.

Ekspresi Keagamaan

Apakah penjelasan tersebut bisa diterima dalam neraca politik dan kehidupan di Indonesia? Rasa-rasanya sangat jauh. Yang ada hanyalah kita dirundung surplus kegaduhan, defisit kesunyian. Pemilu dirayakan sembarangan, kurang tuntunan etis dan estetis. Dalam pemilu tersebut, agama diekspresikan dalam kerumunan dan kebisingan, miskin perenungan.

Tetapi, kita harus mengikuti laju zaman yang ramai itu. Kita tak bisa menghindar, justru kita dipaksa menunaikan segala urusan dalam keramaian, terutama perenungan atas Tuhan.

Itulah ajaran Ibnu Atha’illah dalam kitab al-Hikam yang disyarahi Ulil Absar Abdallah, menjadi buku Menjadi Manusia Rohani (2019). Bahwa meditasi di keramaian memberikan nilai besar. Karena harus melewati banyak ujian, yaitu macam godaan dunia yang menakjubkan. Godaan untuk bersikap curang, korupsi, lalai, atau gangguan “agyaar” (sesuatu yang bisa mengganggu pikiran dan rohani seseorang), lupa terhadap kehidupan spiritualnya kepada sumber segala hakikat: Tuhan.

BACA JUGA  Menciptakan Optimisme Politik, Memperbaiki Demokrasi

Tugas Menghadapi Kebisingan

Kini, keramaian tak sekadar di dunia nyata. Tetapi menjelma di dunia maya. Dunia yang bukan lagi ditentukan oleh data yang objektif, tetapi oleh keyakinan. Situasi yang disebut Tom Nichols sebagai zaman matinya kepakaran. Fakta yang jelas-jelas tidak benar diterima dan dibagikan sebagai kebenaran karena keyakinan. Maka, kesalahan berlanjut mejadi kebenaran yang semu bahkan palsu.

Keadaan itu dikhidmati Ibnu ‘Atha’illah, “Mencari kejelasan di tengah-tengah kebingungan ini adalah sama dengan seorang sufi yang mencari kebenaran di tengah-tengah realitas yang maya yang sering berubah-ubah. Dengan itu, kita dituntut berupaya mencari kebenaran, baik berita maupun ajaran.

Tugas rohanian adalah menepis informasi tak jelas. Menyingkap ketersembunyian dan mencari kebenaran akan Tuhan, dunia nyata dan maya.

Ajaran rohani bermisi menanggulangi pesimisme dan kerapuhan batin di zaman ramai dan penuh madeni. Sebab, rohani ejawantah batin yang memberi suluh dalam melakoni hidup dengan olah rasa, sabar, mawas diri, yang mengandung refleksi berkaitan dengan waktu, ruang, alam, peristiwa, dan Tuhan. Rohani adalah situasi batin yang terjelmakan dalam keilahian.

Kendati, kita sudilah berislam dengan menempuh jalan-jalan sunyi mencari kebenaran dan kejujuran akan Tuhan. Sebab kesunyian dan kejujuran dapat membawa kepada ketenangan batin yang mengantarkan pada lelaku kebaikan, baik kepada Tuhan sekaligus baik kepada sesama manusia dan alam.

Barangkali itulah yang menjadi ajaran manusia rohani. Semuanya perlu kesadaran dan sebisa mungkin melakukan penyadaran. Dengan cara-cara demikian, maka tepatlah ia menjadi manusia rohani, manusia yang selalu menjaga kesucian dan memberikan pencerahan. Manusia rohani yang bisa menyingkap silopsisme di zaman madeni.

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru