34.8 C
Jakarta

Menjaga Kebhinekaan di Tengah Perbedaan Iduladha

Artikel Trending

KhazanahOpiniMenjaga Kebhinekaan di Tengah Perbedaan Iduladha
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Bhineka Tunggal Ika sebuah semboyan bangsa Indonesia yang mengambarkan keragaman suku, ras, budaya dan agama yang tumbuh dalam kerukunan dan persatuan. Ketika terjadi perbedaan pandangan maupun keyakinan termasuk mengenai persoalan ibadah, maka menjadi suatu hal yang lumrah. Meski demikian nilai-nilai kebhinakaan selalu dikedepankan, seperti halnya ketika menyikapi terjadinya perbedaan penetapan Iduladha 1444 H.

Pemerintah telah menetapkan Iduladha 1444 H jatuh pada 29 Juni 2023. Sementara itu, Muhammadiyah akan melaksanakannya pada 28 Juni 2023. Terjadinya perbedaan ini menjadi perhatian oleh semua pihak, baik dari Kementerian Agama, Majelis Ulama Indonesia, maupun dari komisi VIII DPR RI selaku perwakilan rakyat. Mereka turut menghimbau serta mengajak kepada seluruh masyarakat agar saling menghormati dan terus meningkatkan Ukhuwah Islamiyah.

Penetapan bulan-bulan Islam seperti Ramadan, Syawal maupun Zulhijah di Indonesia bisa dikatakan sudah sering terjadi perbedaan. Hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari cara pandang maupun pendekatan yang digunakan.

Pemerintah maupun Nahdlatul Ulama saat ini telah menggunakan kriteria baru MABIMS (Menteri Agama Brunai Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura), sedangkan Muhammadiyah menggunakan kriteria wujudul hilal.

Baik dari Pemerintah maupun Muhammadiyah tentu memiliki landasan secara syar’i dan ilmiah dalam memilih metode atau kriteria yang digunakan tersebut. Memang adakalanya terjadi perbedaan penetapan seperti pada Idul Adha dan Idulfitri tahun ini, bahkan Iduladha tahun lalu juga tidak bersamaan. Namun perlu disadari bahwa upaya tersebut adalah bagian ijtihad yang dilakukan dengan penuh pertimbangan.

Rosulullah pernah bersabda dalam salah satu hadisnya mengenai pahala sebuah ijitihad yang kurang lebih sebagai berikut:

“Jika seorang hakim memutus perkara lalu ia berijtihad dengan benar maka baginya dua pahala, namun apabila ijitihadnya salah maka baginya satu pahala”.

BACA JUGA  Metode Ilmiah Ibnu Al-Haytsam untuk Menangkal Hoaks, Bisakah?

Dengan demikian, tidak ada larangan bagi umat Islam untuk melakukan ijtihad, justru akan mendapatkan pahala, tentunya sesuai dengan syarat dan ketentuan-ketentuan yang ada. Meskipun kadang terjadi perbedaan pandangan atas masing-masing hasil ijtihad yang dilakukan merupakan hal yang wajar saja.

Perbedaan hasil berijtihad juga sudah terjadi sejak era sahabat, seperti ketika mereka memahami hadis tentang “Jangan sekali-kali mengerjakan sholat Ashar kecuali di Bani Quraizhah”.

Sebagian kaum Muslimin pada waktu itu ada yang tidak melaksanakan Sholat Ashar sebelum tiba di Bani Quraizah. Namun sebagian lain justru melaksanakan shalat Ashar di perjalanan. Ketika Rasullulah mengetahui peristiwa ini beliau mendiamkan dan tidak mempermasalahkannya.

Kembali kepada persoalan mengenai perbedaan dalam penetapan awal bulan Kamariah (Ramadan, Syawal, Zulhijah) menurut beberapa kajian disebutkan bahwa salah satu pangkal perbedaan tersebut adalah dalam memahami atau menafsirkan hadis Rasulullah tentang perintah melihat hilal “Berbukalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya…”.

Sebagian kaum muslimin memahami perintah melihat hilal yaitu secara langsung menggunakan mata kepala, sementara sebagian lagi memahaminya dengan makna menghitung atau hisab.

Persoalan mengenai perbedaan cara pemahaman atau penafsiran terhadap nash agama, baik Al-Qur’an maupun hadis perlu kita hormati bersama. Begitu juga dalam pelaksanaan Idul Adha 1444 H tahun ini yang tidak bersamaan.

Masing-masing kaum muslimin memiliki keyakinan untuk memilih dan mengikutinya. Upaya kita bersama adalah terus menjaga nilai-nilai persatuan dan kebhinekaan di bulan Zulhijah yang penuh berkah.

Nor Kholis
Nor Kholis
Peminat Kajian Keislaman dan Kebudayaan

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru