28.2 C
Jakarta

Sterilisasi Masjid dari Kegiatan Politik Praktis

Artikel Trending

Milenial IslamSterilisasi Masjid dari Kegiatan Politik Praktis
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Lolly Suhenty mengingatkan, bahwa masjid tidak boleh ada kegiatan politik. Hal tersebut disampaikannya ke semua partai politik (parpol) peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

Namun, peringatan tersebut seperti ditelantarkan oleh sebagian kelompok orang. Katanya, pelarangan masjid untuk sosialisasi politik pasti ada upaya sistemis dalam mengerdilkan fungsi masjid. Bahkan mereka mengatakan, ini sama halnya dengan politik orientalis pada masa-masa kemerdekaan, di antaranya Snouck Hurgronje, yang melarang masjid dijadikan sebagai tempat pembahasan politik.

Motif Politik

Menurutnya, masjid dan politik adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Layaknya sebuah rumah, agama (Islam) adalah fondasinya, sedangkan kekuasaan (politik) adalah penjaganya. Jadi katanya, jika dua kekuatan tersebut terus berupaya dijauhkan, maka yang terjadi kerusakan, kehancuran dan lain sebagainya.

Yang aneh, lagi-lagi mereka mengatakan bahwa segala upaya-upaya pemisahan masjid dan politik tidak lepas dari rencana licik para kapitalis global dalam upaya menghegemoni umat Islam dan dunia. Bahkan bilamana ada seorang muslim yang menjalankan hal tersebut, mereka ini dianggap sebagai kaki tangan para kapitalis. Apakah ini benar adanya?

Tidak sama sekali. Justru dipisahkan dari politik agar masjid kembali pada fungsinya. Yakni eksistensi masjid dan kaum muslim berada dalam koridor ritual dan ibadah saja.

Soal ini pernah Alm Prof. Dr. Hermanu Joebagio sebut bahwa masyarakat Nusantara sejak dulu memang memfungsikan Islam sebagai pemadam bara politik yang selalu membakar hati umat Islam. Berangkat dari teks akademisnya, dia mengatakan: “Sesungguhnya, keislaman di Jawa khusunya Solo tidak singkretik seperti yang disebut oleh peneliti Barat dan sebagian masyarakat. Tapi, keislaman di Jawa seperti keislaman-keislaman lainnya: murni (menjalankan ritual) Islam,” tuturnya.

Menurutnya, ini bisa lihat sejarah ulama-ulama Solo dalam melakukan jejaring kepada ulama-ulama Nusantara, seperti Sunan Kalijaga, Sunan Ampel, dan wali-wali lainnya. Di mana, mereka sharing pengetahuan dan setalah mendalami pengetahuan, mereka mempraktikkan secara mandiri dan kemudian diikuti masyarakatnya.

Memahami keislaman di Nusantara, menurut Prof. Dr. Hermanu tidak cukup berbekal pembacaan pada teks babon yang ditulis sarjana Barat atau yang pernah diwacanakan oleh orang Barat. Tetapi harus mengacu pada konteks realita keterjadian fenomena masyarakat di tempat. Maka dari situ, akan terlihat pembentukan budaya dan ekspresi masyarakat yang sesugguhnya.

BACA JUGA  Kemajuan Bangsa-Negara Tidak Lahir dari Sistem Khilafah

“Keterkaitan antara sejarah keislaman dan masjid di Solo, terbentuk melalui pesan oral dan ekspansi “otoritas” pada masanya. Bahkan para ulama di Jawa mendorong berdirinya Kerajaan Islam dengan sistem birokrasi kesultanan, yang mirip dengan birokrasi kesultanan di Timur Tengah. Ini terlihat dan berlaku sejak masa-masa Raden Fatah,” tambahnya.

Di Jawa, menurut peneliti sejarah itu, eksistensi birokrasi kesultanan/kerajaan diikuti pula dengan berdirinya lembaga Pengulu Tapsiranom, yang mengurusi Ulama dan Masjid di wilayah kekuasaan Sultan. Bahkan Sultan sering memberi tanah perdikan kepada Ulama-Ulama untuk membangun masjid dan lembaga pendidikan Islam di desa-desa.

Pembudidayaan Masjid

Kemudian, masjid dan lembaga pendidikan berkembang. Darinya, akhirnya mempercepat proses konversi kepemelukan agama Islam. Semula, di masjid, kemudian berdirilah pesantren.

“Waktu itu, ketika eksploitasi Belanda makin menguat, ulama melakukan konggregasi dalam dakwah, yaitu penguatan Islam untuk keimanan, solidaritas dan politik. Penguatan ini ditakuti oleh pemerintah kolonial”, kata pendiri Pusat Studi Pancasila itu.

Konggregasi-konggregasi yang digencarkan adalah salah satu cara membangun kesadaran akan pentingnya solidaritas politik. Karena, menurut penelusuran Prof. Hermanu, pada abad ke-20 penduduk Jawa (penduduk sekitar pesantren) dianggap bukan warganegara Hindia Belanda. Bahkan menurutnya, semula Ulama enggan meletakkan masjid sebagai konggregasi politik. Tetapi karena Ulama berani memerankan diri sebagai culture broker di pedesaan, lalu peran itu harus dimainkan untuk melindungi umat.

Pada abad ke-19, Santri dan Kiai melancarkan gerakan periferal dan semi periferal. Dan kemudian pada abad ke-20, bersinergi dengan kaum nasionalis mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Ketika Sumpah Pemuda jadi pijakan sidang BPUPKI hasilkan Pancasila, Santri dan Kiai juga menyetujuinya. Maka dengan demikian, sejak dulu hingga sekarang peran masjid sangat signifikan pengaruhnya.

Harapan Prof. Hermanu menginginkan masjid dewasa ini dapat juga berperan aktif dalam pencegahan pemahaman yang keluar dari rambu-rambu keislaman dan kebangsaan yang telah disepakti. Lebih jauh, masjid harus berani bersaing dalam gempuran modernitas yaitu bisa memberdayakan ekonomi umat dan berbagai program-programnya.

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru