Harakatuna.com. Solo – Wilayah Solo Raya di Jawa Tengah masih menjadi zona merah paham radikal yang perlu diwaspadai. Faktor sosiologi masyarakat yang lebih terbuka terhadap paham baru, dinilai menjadi pemicu berkembangnya radikalisme.
“Paling rawan Solo Raya. Itu memang saya dulu pernah berdiskusi juga masalah itu mungkin kaitan dengan sosiologi. Sosiologi daerah-daerah Selatan. Masyarakatnya lebih terbuka untuk paham-paham seperti itu (radikal),” kata Kepala Badan Kesbangpol Jateng Haerudin, Rabu (19/2/2020).
“Yang jelas bukan rahasia lagi, daerah Sukoharjo, Karanganyar, Solo Raya ini juga banyak titik-titik di situ tumbuhnya embrio untuk paham-paham yang mengarah ke sana, embrio radikal,” lanjutnya saat menggelar konferensi pers di Gedung A Lantai 1 Kantor Gubernur Jateng.
Penyebab Zona Merah Radikalisme di Solo
Menurutnya, sosiologi masyarakat yang sangat berbeda justru terlihat di kawasan pantura Jawa Tengah. Di tempat tersebut, masyarakat dinilai memiliki pemahaman agama yang ditanamkan sejak dini, sehingga tak mudah dipengaruhi oleh paham baru.
“Kalau kita lihat di daerah pantura ini boleh tidak dikatakan hampir sama sekali tidak ada (kasus radikalisme). Mungkin sosiologinya berbeda,” terang dia.
“Di daerah daerah pantura ini sejak kecil mereka sudah ngaji, punya guru. Saya lebih melihat itu dia punya guru yang tidak mudah untuk diarahkan ke tempat lain. Tapi kalau tidak (punya guru) kan kadang cenderung lebih mudah terpengaruh,” tambahnya.
Dia mengatakan, orang berpaham radikal memiliki ciri tertentu, seperti tak mau menghargai pendapat dan keyakinan orang lain, bersifat eksklusif, dan menganggap orang lain salah. Selain itu, radikalis cenderung menggunakan cara kekerasan untuk mencapai tujuan.
“Memiliki sikap dan pemahaman radikal saja tak mesti menjadikan seseorang menjadi teroris. Ada faktor lain yang bisa menjerumuskannya dalam jaringan terorisme, di antaranya faktor kemiskinan, pendidikan, ketidakadilan, atau merasa kecewa dengan pemerintah. Adapula faktor kultural dengan pemahaman keagamaan yang dangkal, serta penafsiran kitab suci yang sempit dan leksikal,” ujarnya.
Haerudin menjelaskan, dari 10.925 narapidana yang kini ditahan di wilayah Jawa Tengah, sebanyak 223 di antaranya adalah napi teroris. Mereka tersebar di 45 lembaga pemasyarakatan. Jumlah napi teroris terbanyak, berada di Lapas Kelas IIA Pasir Putih Nusakambangan, Cilacap.