30.1 C
Jakarta

Serial Pengakuan Eks Napiter (C-LI-XVIII): Perjalanan Hidup Eks Napiter Agus Setyawan ketika Terpapar Paham Radikal

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanSerial Pengakuan Eks Napiter (C-LI-XVIII): Perjalanan Hidup Eks Napiter Agus Setyawan ketika...
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Radikalisme bukanlah paham yang baru-baru ini muncul. Paham ini sudah mulai kelihatan batang hidungnya sejak kesepakatan Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib berdamai dengan Muawiyah Ibn Abi Sufyan. Perdamaian ini menjadi alasan munculnya kelompok yang bernama Khawarij. Kelompok ini bermanuver dengan Presiden Ali saat itu, bahkan dengan tandasnya mereka mengkafirkan Ali dan pengikutnya.

Sikap yang diambil Khawarij tidak bisa dipandang sebelah mata. Sikapnya yang cukup eksklusif cukup membahayakan terhadap persatuan bangsa dan keterbukaan berpikir. Apa yang keliru dari sikap Ali dan Muawiyah yang mereka berdua memilih untuk berdamai. Bukankah perdamaian itu adalah ”meeting point” di dalam Islam? Bahkan Islam sendiri sejatinya menunjuk arti ”perdamaian” dengan akar kata ”salam”.

Pasca pemerintahan Ali, radikalisme terus berkembang. Hingga saat ini, radikalisme bermetamorfosis menjadi kelompok teroris yang merupakan perwujudan dari ketidakpuasan berpikir eksklusif. Mereka melakukan aksi-aksi kekerasan yang dapat membunuh orang lain dan si pelaku sendiri. Di Indonesia telah banyak ditemukan bangsa yang terpapar akan paham ini. Satu di antaranya adalah Agus Setyawan.

Agus mengenal jaringan teroris itu seperti mengalir begitu saja. Dia bergabung sejak tahun 2000-an. Pada 1990-an, dia seringkali mengikuti kajian-kajian Islam dan bedah buku yang digelar di berbagai daerah. Antara lain di Kudus, Semarang, dan Solo. Kecintaan bergabung dalam forum kajian keislaman yang dipandu oleh kelompok radikal sangat berpotensi menjerumuskan Agus ke dalam paham radikal ini.

Mulanya, pria tamatan SMP di Wirosari itu hanya sekadar ingin memperdalam agama Islam. Kemudian dia mengikuti dari satu kajian ke kajian lainnya, hingga berbagai acara bedah buku. Dan, benar Agus terpapar bujuk rayu kelompok radikal, lalu dia bergabung dengan Jamaah Islamiyah (JI). Di JI, Agus mengaku berperan untuk merekrut orang-orang yang akan berangkat ke Suriah. Setelah sekitar 19 tahun menjadi bagian dari JI, Agus ditangkap Densus 88 di kediamannya di Wirosari.

BACA JUGA  Membingkai Kembali Toleransi Agama di Indonesia: Menyikapi Klaim Kekafiran

Setelah ditangkap di rumahnya pada 14 Mei 2019, dia kemudian dibawa ke Polda Jateng dan dipindah ke Rutan Cikeas. Berikutnya dia sempat dipindah ke Polda Metro Jaya dan terakhir ke Purwokerto. Ketika keluar penjara, Agus dikunjungi Kesbangpol dan Dinas Sosial Grobogan di rumahnya. Kehadiran perwakilan Pemkab itu untuk menjalin silaturahmi dan hubungan yang baik ke depannya.

Langkah silaturrahmi yang dilakukan oleh Pemkab merupakan cara yang paling jitu untuk membangun komunikasi yang baik dengan kelompok radikal. Silaturahmi akan mampu mengetuk hati orang untuk hijrah dari kebatilan menuju kebenaran. Nabi dulu sering melakukan cara seperti ini ketika mendapatkan perlawanan dari masyarakat Quraisy. Dan, efeknya benar-benar kelihatan. Banyak pembenci beliau mengakui kebenaran dakwah yang beliau sampaikan.

Sebagai penutup, kisah Agus dari orang biasa, mengenal dan terpapar radikalisme-terorisme, dan berakhir dengan hijrahnya ke jalan yang benar, merupakan pelajaran yang tidak dapat dilupakan oleh siapa pun. Bukankah setiap sesuatu itu ada hikmahnya, yakni pelajaran yang bisa dipetik. Pelajaran yang dimaksud adalah hendaknya tidak terjatuh di kesalahan yang sama dengan Agus. Bukankah orang bijak selalu belajar dari kesalahan orang lain?[] Shallallahu ala Muhammad.

*Tulisan ini disadur dari cerita mantan teroris Agus Setyawan yang dimuat di media online Murianews.com

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru