34.8 C
Jakarta

Salah Paham Makna Kebebasan Berekspresi dari Aktivis Radikal

Artikel Trending

KhazanahTelaahSalah Paham Makna Kebebasan Berekspresi dari Aktivis Radikal
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com- Andai kita dapat hidup hanya dengan roti dan air, maka hidup kita sudah menyenangkan, bahkan lebih dari menyenangkan. Akan tetapi kebutuhan hidup yang paling mendasar yang membuat kita mencintai kehidupan bukan hanya mengenyangkan perut yang lapar, tapi kebutuhan alami yang mirip dengan roti dan air. Kebutuhan alami ini jauh lebih tinggi. Dan, saat ini kebutuhan itu menjadi kebutuhan yang sangat dan sangat berharga. Kebutuhan itu adalah kepuasan akal dan jiwa yang tidak akan dicapai kecuali dengan kebebasan.

Kalimat di atas diucapkan oleh Ahmad Luthfi Sayyid, yang dijuluki sebagai seorang guru generasi (ustaz al-Jail) karena memiliki murid yang banyak dan sangat berpengaruh. Ia adalah seorang penulis dan memiliki berbagai karya tentang liberalisme dan kebebasan dalam lingkup yang lebih luas. Ia juga dianggap sebagai tokoh liberal klasik.

Kalimat Luthfi sebenarnya bisa kita tarik dalam konteks yang lebih luas yakni, kebebasan berserikat dalam kehidupan bernegara. Kelompok-kelompok yang menggugat kebebasan ini salah satunya para aktivis khilafah yang, sengaja memproklamirkan khilafah untuk kepentingan kelompoknya dengan atas nama Islam. Mereka sengaja mempertanyakan kebebasan sebab keberadaan mereka selalu dipermasalahkan, digugat bahkan disebut radikal.

Pembubaran Ormas HTI pada tahun 2017, menjadi titik balik dari perjuangan mereka. Perjuangan mereka, sebenarnya bisa dilihat sebuah kesalahan dalam kaca mata hukum. Dalam melihat kebebasan berserikat, tidak boleh melanggar aturan yang sudah ditetapkan dalam sebuah negara. Hal ini tercermin dalam sebuah fakta bahwa, HTI sudah melanggar Undang-Undang ormas, di antaranya:

Pertama, Ormas HTI melanggar kewajiban dalam Pasal 21 huruf b yaitu ormas berkewajiban menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aktivitas HTI yang di muka umum menyatakan mengusung ideologi khilafah yang berarti meniadakan NKRI jelas merupakan pelanggaran atas kewajiban ini.

Kedua, Ormas HTI melanggar kewajiban dalam Pasal 21 huruf f yang menyebutkan bahwa Ormas berkewajiban berpartisipasi dalam pencapaian tujuan negara. Tentu saja partisipasi ini dapat tercapai jika ormas percaya kepada sistem nation state yang dipilih oleh para pendiri NKRI sejak 17 Agustus 1945. Tidak mungkin ormas yang tidak percaya dengan NKRI dan ingin menggantinya dengan sistem yang lain kemudian dapat menjalankan kewajiban berpartisipasi untuk mencapai tujuan NKRI.

BACA JUGA  Pasca Pemilu: Potensi Ekstremisme Menguat

Ketiga, Ormas HTI melanggar larangan dalam Pasal 59 ayat (2) huruf c yang mengatur ormas dilarang melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan NKRI. Pengertian Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ditinjau dari Kebebasan Berserikat separatis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah “orang (golongan) yang menghendaki pemisahan diri dari suatu persatuan/golongan (bangsa) untuk mendapat dukungan”.

Keempat, ketentuan Pasal 59 ayat (4) yang menyatakan Ormas dilarang menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila agak sulit diterapkan dalam kasus HTI.

Melihat Undang-Undang yang berlaku di Indonesia, sangat jelas bahwa organisasi HTI menjadi sangat pantas dibubarkan untuk menyelamatkan negara Indonesia dari cengkraman ideologi yang mengimplementasikan intoleransi, kebencian dan propaganda atas nama Islam. Namun, perjuangan mereka tidak mati. Bahkan sampai saat ini, atas nama kebebasan, mereka terus memperjuangkan ideologinya agar tegak di Indonesia.

Organisasi Radikal yang Menggugat Kebebasan

Selama ini, kita memaknai bahwa Indonesia adalah negara yang menghargai kebebasan berpendapat, berserikat, berkumpul dan melaksanakan organisasi sebagaimana kebebasan yang dimiliki oleh para organisasi pada umumnya. Akan tetapi, trah perjuangan yang dilakukan oleh para aktivis khilafah melanggar aturan yang berlaku dalam Undang-Undang bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Memaknai kebebasan semestinya harus mampu melihat kewajiban yang harus dipenuhi sebaga warga negara Indonesia. Artinya, perjuangan yang selama ini dikoar-koarkan oleh para aktivis khilafah, dibenturkan oleh pelanggaran yang mereka lakukan sebagai bangsa Indonesia, yakni mempertaruhkan ideologi yang jelas-jelas bertentangan dengan Pancasila.

Meskipun kenyataan ini disadari oleh para aktivis khilafah, namun perjuangan untuk menegakkan pemerintahan Islam di Indonesia tidak pernah selesai. Mereka terus berkamuflase dengan trend yang ada. Tidak kehabisan cara untuk mempertahankan mati-matian ideologi yang sudah dilarang tersebut, mereka menjelma dengan berbagai rupa. Mengikuti segala kegemaran netizen, masuk dalam setiap pembahasan yang sedang viral, sehingga mampu menghipnotis masyarakat yang memiliki kekecewaan terhadap pemerintah.

Perjuangan itu, dilakukan atas nama kebebasan berekspresi dan berpendapat seperti yang dilindungi oleh negara Indonesia. Padahal, kebebasan yang dimaksud oleh para aktivis khilafah sudah mengkhianati jati diri bangsa Indonesia. Wallahu A’lam.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru