Harakatuna.com – Kalau kita mendengarkan pengajian Ustaz Khalid Basalamah, salah satu pendakwah kondang yang sangat familiar bagi masyarakat Indonesia, sekaligus seorang propagandis Salafi-Wahabi, ia adalah penceramah yang sangat menghindari untuk berkomentar tentang seorang tokoh, ulama ataupun ajaran-ajaran tertentu.
Pada setiap sesi pertanyaaan dalam ceramahnya, yang dijawab hanya pertanyaan tentang hukum. Tentang halal dan haram. Serta tentang berbagai macam tradisi yang dilakukan pada masa Rasulullah Saw dan para sahabatnya.
Sempat juga viral, komentarnya yang mengatakan bahwa dalam Islam tidak ada ajaran tentang nasionalisme. Tentunya, ini sama persis dengan komentar viral propagandis HTI, Felix Siauw, atau sejenis komentar Dr. Syafiq Reza Basalamah tentang ucapan minal aidin wal faizin.
Persamaan mereka adalah menolak Pancasila sebagai dasar negara, dan keukeuh agar seluruh masyarakat Muslim Indonesia konsekuen alias ngebet kepada Islam. Wahabi, dalam konteks ini direpresentasikan oleh ustaz-ustaz kondang yang begitu terkenal di media.
Mereka adalah orang yang memiliki otoritas cukup tinggi untuk memberikan fatwa kepada masyarakat, ataupun diikuti oleh masyarakat. Inti dari ajaran Wahabi adalah mengembalikan ajaran Islam hanya pada Al-Qur’an dan hadis.
Gerakannya juga memiliki misi utama membersihkan Islam dari praktik syirik, bid’ah dan khufarat. Aliran ini juga bisa dikatakan sebagai aliran ultra konservatif dan sangat keras. Ajaran ini memang terlihat sangat lurus dan seolah benar-benar Islam. Namun, apa yang terjadi? Justru ajaran ini bersifat memaksa, kaku, dan sangat keras.
Apabila ajaran ini diterapkan dalam pendidikan, maka yang terjadi adalah, anak didik yang seharusnya memiliki hati yang lapang untuk menerima perbedaan, menerapkan toleransi dan saling mengasihi sesama manusia, kecintaan terhadap negara Indonesia sebagai tanah air, dan menjunjung tinggi nilai dan keindonesiaan, dipatahkan dengan keras oleh ketiadaan hadis dan ajaran Al-Qur’an seperti yang diyakini oleh kaum Wahabi.
Apa jadinya jika lembaga pendidikan keagamaan Wahabi, dihidupkan oleh bangsa Indonesia. Masyarakat menitipkan generasi bangsa untuk menjadi manusia yang mampu memimpin Indonesia di masa yang akan datang, namun faktanya mereka sama sekali tidak memiliki nasionalisme dalam diri.
Bagaimana mungkin mereka memiliki sikap nasionalisme, sedangkan para ustaz Wahabi saja menolak hal tersebut dengan alasan ketiadaan dalil. Artinya, jangan berharap bangsa Indonesia akan lebih baik jika kita sebagai bangsa Indonesia membumikan ajaran Wahabi di Indonesia.
Pondok Pesantren Wahabi Merusak Masa Depan Bangsa Indonesia
Pondok pesantren yang dikenal dengan markas Wahabi, salah satunya Pondok Pesantren Assunah. Pondok ini dikenal sebagai markas Wahabi terbesar di Lombok. Terletak di pinggir jalan utama di Desa Bagik Nyaka, Lombok Timur, terdapat sebuah kompleks besar yang diperuntukkan kepada guru, jemaah, dan para santri yang bekerja di pondok tersebut.
Seperti pondok pada umumnya, ia dijaga ketat oleh para santri. Namun, pada praktiknya ada perbedaan yang cukup menonjol yakni, ustaz laki-laki harus menggunakan hijab atau satirah apabila mengajar santri perempuan karena bukan muhrim. Sebagian besar para perempuan Wahabi menggunakan cadar di ruang publik.
Salah satu jemaah pondok pesantren tersebut yang menceritakan bahwa, pasca mengenal ajaran Wahabi, merasa lebih islami karena memahami ajaran Islam sebenarnya. Kalimat ini disampaikan dengan mengacu pada kegiatan-kegiatan keagamaan yang diikuti. Namun, ia sudah mengikuti kegiatan dengan masyarakat. Ia tidak lagi berbaur dengan kegiatan kemasyarakatan, bahkan dianggap musuh karena ikut mengharamkan praktik adat setempat.
Sementara itu, Dian, salah satu pengajar di pondok tersebut, mengaku bahwa kegiatan yang tidak ada dalil dalam Al-Qur’an ataupun hadis ditiadakan. Tidak hanya ketiadaan dalil, mereka juga memiliki alasan bahwa mengetahui adat dan budaya adalah sesuatu yang sia-sia dan menyesatkan.
Berdasarkan penjelasan ini, barangkali kita bisa melihat bahwa ajaran Wahabi, tidak memberikan ruang bagi budaya yang berkembang di Indonesia untuk dipelajari oleh para santri. Bahkan, mereka diajarkan untuk membenci dan menolak budaya karena tidak ada dalil.
Wahabi menolak semua budaya yang berkembang di Indonesia tanpa ampun. Tentu, ini akan memperburuk pandangan para santri dengan tidak mengenali sejarah dan jati diri bangsa Indonesia. Dengan alasan memurnikan ajaran Islam, para santri akan terus menolak untuk mengenal lebih jauh tentang Indonesia, seperti budaya, sejarah, bahkan kehidupan Indonesia di masa silam. Mengapa pengetahuan ini penting?
Kecintaan terhadap bangsa dan negara, adalah modal utama bagi seseorang untuk terus bergerak dan berperilaku hidup sebagai bangsa Indonesia. Kecintaan semacam ini tidak akan dimiliki oleh orang tidak berpengetahuan tentang Indonesia itu sendiri.
Jika ini terus dibiarkan, maukah kita di masa yang akan datang, Indonesia dikuasai oleh para kelompok Wahabi yang menjadikan Indonesia sebagai daulah? Lalu bagaimana nasib mereka yang berbeda agama, berbeda suku, berbeda pemikiran? Mereka akan terusir dari bumi Indonesia. Na’udzubillah. Wallahu a’lam.