26.1 C
Jakarta

RKUHP, Neo-Otoritarianisme, dan Isu Khilafah

Artikel Trending

Milenial IslamRKUHP, Neo-Otoritarianisme, dan Isu Khilafah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Sejumlah mahasiswa menggelar demo untuk menentang Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) di area Monumen Nasional, Jakarta Pusat, Selasa (21/6) kemarin, tepat di hari ulang tahun Presiden Joko Widodo yang ke 61 tahun. Pada pukul 14.30 WIB, para mahasiswa datang membawa slogan penolakan RKUHP sembari menyanyikan lagu ulang tahun untuk Jokowi. “Ini adalah bukti rasa sayang kita ke Pak Jokowi,” ujar Melki, ketua BEM UI, seperti dilansir Tempo.

Para demonstran beranggapan, RKUHP mengekang kebebasan berpendapat—mencederai demokrasi. Jokowi, yang selalu tampil sederhana dan manis di depan rakyat, kembali dikritik sebagai The King of Lip Service. Sebanyak 560 personel polisi pun diterjunkan. Berikut ini pernyataan sikap mahasiswa terhadap RKUHP, saat demonstrasi kemarin:

  1. Mendesak Presiden dan DPR RI untuk membuka draf terbaru RKUHP dalam waktu dekat serta melakukan pembahasan RKUHP secara transparan dengan menjunjung tinggi partisipasi publik yang bermakna;
  2. Menuntut Presiden dan DPR RI untuk membahas kembali pasal pasal bermasalah dalam RKUHP, terutama pasal-pasal yang berpotensi membungkam kebebasan berpendapat dan berekspresi warga negara meski tidak termasuk ke dalam isu krusial; serta
  3. Apabila Presiden dan DPR RI tidak kunjung membuka draf terbaru RKUHP dan menyatakan akan membahas pasal-pasal bermasalah di luar isu krusial dalam kurun waktu 7 x 24 jam sejak pernyataan sikap ini dibacakan, kami siap bertumpah ruah ke jalan dan menimbulkan gelombang penolakan yang lebih besar dibandingkan tahun 2019.

Namun demikian, pro-kontra RKUHP tidak hanya berhenti di situ. Sejumlah kalangan bahkan menyebut, RKUHP tidak hanya merusak demokrasi, melainkan juga mengkristalisasi pemerintahan Jokowi sebagai rezim neo-otoritarianisme. Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum, Busyro Muqqodas, misalnya, menyimpulkan situasi Indonesia sepanjang periode kedua kepemimpinan Jokowi sebagai otoritarianisme gaya baru. Pemberedelan demokasi, faktor utamanya.

Benarkah RKUHP mencederai demokrasi? Benarkah Jokowi adalah rezim otoritarianisme? Dua pertanyaan ini sangat penting karena akan menyingkap sesuatu di baliknya. Sebab, di era post-truth, setiap isu memiliki keterkaitan satu sama lain, baik aktor maupun kepentingan. Maka perlu ditanya, apakah semua ini ada kaitannya dengan isu khilafah?

Isu Khilafah

Mungkin ada yang beranggapan, mengaitkan RKUHP dengan isu khilafah adalah mengada-ada belaka. Anggapan ini memang masuk akal, namun tidak selalu benar. Jika perspektif yang digunakan untuk melihat RKUHP ialah posisinya sebagai respons, maka kaitan tadi akan tampak jelas. Sebuah respons ada setelah adanya stimulus. Isu khilafah bisa menjadi stimulus, dan sebuah kebijakan represif bisa menjadi respons alternatif—betapa pun respons tersebut terdengar tidak mengenakkan.

Tentu saja segala yang menyalahi deokrasi harus dilawan. Jadi jika ada sebuah kebijakan yang tidak memihak kepentingan rakyat, segala protes menemukan pembenarannya selama dilakukan dalam koridor demokratis. Dalam konteks RKUHP, masyarakat boleh mengkritik pemerintah selama kritik tersebut konstruktif dan demi kepentingan demokrasi. Namun perlu juga dicatat bahwa di antara pemerintah dan rakyat selalu saja ada provokator. Merekalah biang keroknya.

BACA JUGA  Persatuan Melampaui Kepentingan: Telaah Rekonsiliasi Politik Kebangsaan

Seperti diketahui, isu khilafah telah mewariskan iklim saling menghina antarsesama. Para aktivis khilafah sering kali mencemooh para pemimpin negara sebagai antek-antek kafir, dajal, bahkan yang lebih keras dari itu. Mirisnya, pelakunya tidak hanya aktivis khilafah, tetapi juga para simpatisan mereka. Umumnya, mereka mengaku melayangkan protes, namun protes yang dimaksud justru bersifat ad hominem. Dari iklim tersebut, pemerintah kemudian merasa perlu ambil tindakan.

RKUHP, dengan demikian, adalah sebuah respons, bukan stimulus. Sementara itu, neo-otoritarianisme itu muncul jika sebuah kebijakan represif lahir sebagai stimulus untuk melanggengkan kekuasaan. Misalnya, di zaman Orde Baru. Suharto membungkam semua kritik masyarakat untuk mengekalkan kekuasaannya, sehingga ia disebut rezim otoriter. Sekarang, pertanyaannya, apakah Jokowi bisa melanggengkan kekuasaannya? Tidak. Tahun 2024, dirinya pasti diganti.

Isu khilafah adalah isu yang kompleks dengan dampak yang lebih kompleks pula. Semua orang tahu, saling caci-maki di media sosial, yang terutama diarahkan kepada aparat dan pemerintah, sudah di luar kendali. Sehingga jika dibiarkan, ia sangat berbahaya. Mau tidak mau, sebuah kebijakan harus dibuat untuk meredakan suasana: menghilangkan tradisi saling mencaci yang bak mulai mendarah daging di kalangan warga negara.

Pemerintah Otoriter?

Semua otak yang waras tidak ada yang setuju dengan pemerintahan otoriter, apalagi di negara demokrasi seperti Indonesia. Namun, istilah otoritarianisme dan neo-otoritarianisme sering kali peyoratif, digunakan oleh pihak-pihak tertentu yang ingin menyudutkan suatu pemerintahan. Mereka, pihak yang berkepentingan tadi, sengaja membuat stimulus yang membuat suatu reim gusar dan bertindak. Dan ketika bertindak, pihak tadi langsung teriak “ini rezim otoriter”.

Di sini harus dijelaskan, bahwa otoritarianisme tidak akan terjadi di negara demokrasi dan di tengah iklim demokratis yang terbuka lebar. Indonesia, dalam hal ini, seperti diketahui bersama, mendukung kebebasan pers. Pers yang notabene merupakan salah satu pilar demokrasi tidak akan membiarkan suatu pemerintahan otoriter dibentuk. Jika suatu sudah muncul, maka itu tidak akan bertahan lama dan segera mendapat resistansi yang kuat dari khalayak masyarakat.

Beda halnya jika suatu pemerintahan memang dibentuk atas dasar otoritarianisme, seperti dalam sistem monarki, di mana kontrol pemerintahan bersifat sentralistis. Contoh sistem pemerintahan yang menganut otoritarianisme ialah khilafah ala Hibut Tahrir, yaitu khilafah sebagai sistem yang memusatkan kekuasaan di tangan Amir/Khalifah.

Jadi, dalam konteks RKUHP, neo-otoritarianisme tidak perlu ditakutkan karena memang tidak akan pernah terjadi. Masyarakat bebas menilai dan bersama melakukan gerakan, jika otoritarianisme memang benar-benar akan rezim lakukan. Yang perlu diwaspadai adalah, isu khilafah dan para aktivisnya yang senantiasa memanfaatkan keadaan. Mereka mengobok-obok iklim kesantunan dengan tradisi saling cemooh, dan ketika ditindak malah berteriak rezim otoriter. Hati-hati!

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru