29.5 C
Jakarta

Refleksi Iduladha 1444 H: Taubat dari Rasisme dan Terorisme

Artikel Trending

Milenial IslamRefleksi Iduladha 1444 H: Taubat dari Rasisme dan Terorisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Selama Iduladha. Adalah anugerah Tuhan kita bisa kembali bertemu dengan hari raya ini. Sebagian saudara Muslim kita bahkan merayakannya di tanah suci—sungguh nikmat yang luar biasa. Harta-harta dikurbankan. Umat Muslim euforia, saling bersalaman. Kalau mengingat semua itu, harusnya kita tidak lagi perlu khawatir dengan nasib negara-bangsa; guyup, rukun, dan tenteram. Namun, coba kita berefleksi, benarkan keadaannya telah setenang itu?

Sepertinya belum. Umat Muslim hari-hari ini tak benar-benar bersatu. Apa yang tampak di hari raya tidak mencerminkan realitas riil. Sesama Muslim masih banyak permusuhan dan intrik-intrik politik. Rasisme yang marak, sebagai contoh, bak tak ada habisnya. Kita masih kerap dikotak-kotakkan oleh ras dan suku; Arab, Tionghoa, dan pribumi. Oknum dari masing-masing rasial saling olok satu sama lain, yang rentan memecah-belah persatuan.

Hari ini, misalnya, ada kebencian mendalam kepada keturunan Arab. Mereka dicaci maki, dianggap pengungsi, dihina, dan narasi-narasi negatif lainnya. Kebencian yang sama juga diarahkan kepada keturunan Tionghoa.  Tidak berhenti di penghinaan rasial, pelaku bahkan membawa rasisme mereka ke ranah politik. Muncullah olokan kepada Ahok dan, yang terkini, kepada Anies. Keduanya sama-sama eks-gubernur DKI, dan sama-sama jadi bahan rasisme selama lima tahun terakhir.

Mengapa semua itu terjad? Sejak kapan rasisme di negara ini mengemuka? Dan sampai kapan ia akan eksis? Semua ini menarik dikaji. Adapun terorisme, ia jelas merupakan ancaman lama yang terus menghantui masyarakat. Karenanya, pada momentum Iduladha 1444 H, kita harus melakukan refleksi. Tujuannya adalah bertaubat dari segala kemungkaran tersebut. Rasisme dan terorisme tidak bisa dirawat atau dibiarkan berlarut-larut. Efek buruknya jangka panjang.

Rasisme Pemecah Belah

Rasisme, untuk diketahui, merupakan fenomena sosial yang memiliki dampak yang serius dalam pemecah belah masyarakat. Indonesia, sebagai sebuah negara yang heterogen, rentan terhadap konflik dan perpecahan akibat tindakan tersebut. Permusuhan rasial yang hari-hari ini marak tidak akan selamanya jadi wacana, jika dibiarkan. Ia akan mengembang menjadi konflik horizontal, chaos, dan yang paling buruk ialah perang sipil.

Jika dirangkum, sedikitnya ada lima hal yang menjadi dampak rasisme. Pertama, perpecahan identitas. Ketika individu atau kelompok tertentu mengidentifikasi diri atau menganggap lebih superior atau inferior berdasarkan ras, etnis, atau asal usul mereka, maka munculnya kesenjangan, prasangka, dan ketegangan antarkelompok menjadi hal yang niscaya. Kedua, diskriminasi sosial. Korban rasisme akan menghadapi perlakuan tidak adil dan marginalisasi, baik dalam sosial, ekonomi, dan politik.

Ketiga, konflik antarkelompok. Ketegangan akibat rasisme memantik sentimen negatif, kebencian, dan permusuhan dan memicu konflik sosial. Contoh konkretnya, labelisasi ‘kadrun’, ‘cebong’, ‘komunis’, dan lainnya telah mengakibatkan beberapa kali tweet war. Kelak, bisa jadi ia jadi perang nyata, kalau tidak segera dibenahi. Keempat, tersendatnya pembangunan. Rasisme menyemarakkan kesulitan akses pendidikan dan kesehatan, serta menghambat potensi pembangunan nasional. Ironi.

BACA JUGA  Kemajuan Bangsa-Negara Tidak Lahir dari Sistem Khilafah

Kelima, penggerusan nilai Pancasila. Rasisme kontradiktif dengan nilai-nilai Pancasila dan mengancam keutuhan Pancasila itu sendiri sebagai landasan ideologi bangsa. “Kemanusiaan yang adila dan beradab”, “Persatuan Indonesia”, dan “Keadilan sosial” yang ditegaskan sila kedua, ketiga, dan kelima itu semuanya terlaksana jika kita bertaubat dari rasisme. Maka, apakah kita akan terus merawat penyakit rasis tersebut? Tidak. Rasisme harus dilawan. Ia hanya mewariskan perpecahan.

Terorisme Perusak Persatuan

Sebagaimana rasisme, terorisme merupakan perusak persatuan—ancaman serius bagi masyarakat Indonesia. Ia tidak hanya mengancam keamanan dan stabilitas negara, tetapi juga memengaruhi persatuan dan kesatuan di dalamnya. Terorisme menciptakan ketakutan dan ketidakpercayaan, trauma dan kekhawatiran yang mengganggu kehidupan sehari-hari. Setelah itu, terorisme menyebabkan perpecahan dan ketidakharmonisan antarmasyarakat. Cukup buruk.

Perpecahan identitas adalah dampak lainnya. Teroris mengooptasi agama atau ideologi tertentu untuk membenarkan tindakan mereka, yang melahirkan konflik antarakelompok agama, etnis, atau ideologi yang berbeda. Lanjutan dari itu ialah maraknya diskriminasi. Serangan terorisme memicu respons keras yang, tidak jarang, respons tersebut malah memperburuk kerukunan dan mewariskan ketegangan sipil; mengganggu persatuan kita yang harmonis dalam kemajemukan.

Terorisme, selain itu, juga memperkuat pemikiran ekstrem karena memengaruhi sebagian kita untuk rentan terhadap pengaruh ekstremisme. Dan yang terburuk di antara semuanya ialah, terorisme itu mengancam keberagaman dan toleransi. Ia merupakan antitesis pluralitas yang bertujuan menghancurkan kerukunan antaragama dan antarbudaya. Apakah kita mau semua itu terjadi? Jelas tidak. Lalu apa saja yang mesti kita lakukan? Banyak.

Penguatan keamanan dan intelijen, pendidikan dan pemberdayaan masyarakat, penegakan hukum yang proporsional dan adil, peningkatan kerja sama internasional, dan promosi toleransi dan dialog antaragama adalah langkah-langkah strategis yang bisa kita tawarkan. Upaya bersama membangun kesadaran akan ancaman terorisme dan mengedepankan persatuan, keberagaman, serta nilai-nilai Pancasila merupakan tugas kita. Sementara itu, bagian penindakan biar jadi tugas aparat.

Sebagaimana Ibrahim yang ‘mengorbankan’ egoisme dengan hendak menyembelih Ismail, kita semua juga harus mengorbankan egoisme untuk kemaslahatan bersama. Di negara ini, tidak ada orang Tionghoa atau orang Arab; semuanya orang Indonesia. Rasisme harus disembelih, sebagaimana juga nafsu terorisme. Keduanya harus dibuang jauh-jauh. Bagi sebagian kita yang masih tejebak dalam ego rasisme dan terorisme, di momentum ini, mari kita bertaubat. Mari berkorban demi persatuan.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru