27.3 C
Jakarta

Refleksi Bitung: Langkah Konkret Meredam Provokasi Konflik Agama

Artikel Trending

KhazanahOpiniRefleksi Bitung: Langkah Konkret Meredam Provokasi Konflik Agama
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Sabtu malam yang tenang, media sosial “X” tiba-tiba diramaikan oleh unggahan video berisi rekaman kericuhan massa yang terjadi di Bitung, Manado, Sulawesi Utara. Dikabarkan, bentrok massa itu melibatkan dua kelompok, yakni kelompok massa bela Palestina yang mengatasnamakan diri MBS dengan ormas Manguni Makasikouw. 

Dilansir dari Detik, konflik itu pecah ketika massa aksi bela Palestina melewati acara ulang tahun ormas Manguni. Karena terjadi kesalahpahaman, pecahlah bentrokan dua massa. Satu orang dikabarkan menjadi korban tewas, sedangkan dua lainnya mengalami luka-luka.

Aparat kepolisian bertindak sigap. Beberapa saat kemudian bentrok berhasil diredam, dan situasi Bitung diklaim sudah kondusif. Namun, situasi panas justru baru saja dimulai di dunia maya. Perang narasi dan opini atas tragedi Bitung ini terjadi di kalangan netizen. Berbagai narasi liar bermunculan menanggapi konflik kedua kelompok massa tersebut. 

Dan salah satu yang paling masif dan mengkhawatirkan adalah munculnya gelombang provokasi dari kelompok tertentu yang bertendensi mengadu-domba umat Islam dan komunitas agama lain, terutama Kristen. Sejumlah akun medsos X yang dikenal berafiliasi dengan ormas intoleran misalnya getol membangun narasi bahwa tragedi Belitung adalah konflik Islam dan Kristen. 

Di saat yang sama, ormas FPI yang sebenarnya telah dibubarkan mengeluarkan surat edaran khusus menyikapi tragedi tersebut. Surat yang lantas viral di media sosial itu memuat poin-poin yang terbilang provokatif dan kontroversial. Terutama poin terakhir yang secara eksplisit mengajak umat Islam melakukan jihad dalam menyikapi konflik Bitung ini. 

Bahaya Provokasi Konflik Agama

Gelombang provokasi itu pun kian menjadi manakala banyak akun yang mencoba mengaitkan kasus Bitung ini dengan tragedi konflik kemanusiaan di Poso, Ambon, dan Maluku beberapa tahun lalu. Provokasi ini jelas berbahaya. Isu keagamaan adalah isu yang sensitif bagi sebagian masyarakat Indonesia. 

Sejarah mencatat, provokasi dengan menunggangi sentimen agama nisbi efektif memantik api konflik sosial-horisontal. Kita tentu tidak ingin kejadian di masa lalu itu terulang di masa sekarang. Apalagi ini merupakan tahun politik. Sebuah masa yang krusial bagi arah perjalanan bangsa ke depan. Maka, segala narasi provokatif dengan menunggangi konflik Bitung ini harus segera diredam. Bagaimana caranya? 

Langkah pertama adalah berhenti atau tidak membagikan ulang rekaman video kericuhan yang mempertontonkan kekerasan dan kondisi korban. Rekaman video kericuhan itu secara psikologis akan memicu atau menstimulasi amarah, dendam, dan kebencian bagi siapa pun yang melihatnya. 

Sebaran video kerusuhan yang terus diamplifikasi secara masif di media sosial rawan menimbulkan kecemasan dan kepanikan publik. Kondisi itu berpotensi dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk menghembuskan isu-isu liar.

BACA JUGA  Antara Muhammadiyah dan NU: Belajar Memahami “Wajah” yang Lain

Bukan tidak mungkin, kericuhan serupa akan diduplikasi oleh kelompok masyarakat di wilayah lain. Tidak menyebarkan ulang video rekaman kericuhan adalah langkah awal dan paling mudah untuk memutus rantai kecemasan dan kepanikan publik.  

Langkah kedua adalah tidak menggiring opini menyesatkan bahwa peristiwa Bitung adalah konflik antar-agama. Meski kedua ormas merupakan representasi dari dua agama yang berbeda, namun apa yang mereka lakukan sama sekali tidak mewakili seluruh sikap atau pandangan pemeluk kedua agama tersebut.

Ormas Manguni tentu bukan representasi dari seluruh umat Kristen. Begitu pula ormas MBS juga tidak mewakili sikap umat Islam secara keseluruhan. 

Peristiwa Bitung lebih tepat disebut sebagai benturan sosial akibat kesalahpahaman di ruang publik. Isu terkait agama dan konflik Palestina hanyalah faktor sekunder yang memicu terjadinya peristiwa tersebut. Narasi yang menggiring opini publik bahwa peristiwa Bitung adalah konflik agama jelas menyesatkan dan berbahaya bagi kerukunan bangsa. 

Merawat Komitmen Kebangsaan

Langkah ketiga, memastikan agar komitmen kebangsaan, yakni kerukunan dan persatuan, diposisikan di atas seluruh kepentingan. Itu artinya, masing-masing pihak harus menyadari bahwa kepentingan merawat persatuan harus menjadi komitmen bersama yang tidak bisa ditawar dengan apa pun juga. Termasuk kepentingan untuk menunjukkan eksistensi kelompok di muka publik. 

Setiap individu atau kelompok di negeri ini memiliki hak yang sama untuk menyuarakan aspirasinya. Namun, hak menyuarakan kebebasan berpendapat itu bukanlah hal mutlak. Melainkan diatur oleh koridor komitmen terhadap Pancasila dan UUD 1945. 

Lengkah keempat, memastikan isu kemanusiaan yang terjadi di negara lain tidak mengganggu komitmen persatuan dan kerukunan bangsa. Sebagai bangsa yang menjadi bagian dari dunia internasional, adalah kewajiban kita untuk menunjukkan solidaritas terhadap penderitaan masyarakat di belahan dunia lainnya. 

Namun, patut diingat bahwa gerakan atau aksi solidaritas itu tetap harus diletakkan dalam koridor negara Indonesia yang menganut Pancasila. Maksudnya, jangan sampai aksi solidaritas kemanusiaan untuk masyarakat di negara lain justru menimbulkan riak konflik di negara sendiri. Solidaritas harus diletakkan dalam bingkai menghargai pluralitas dan kemajemukan bangsa. 

Arkian, kita berharap konflik Bitung ini bisa diredam sehingga tidak muncul konflik susulan. Aparat keamanan perlu bersikap tegas terhadap siapa pun pelaku kerusuhan, termasuk para provokator di media sosial. Provokasi di medsos perlu diredam agar sentimen kebencian dan permusuhan tidak meluas dan dapat menyulut api konflik yang lebih besar. 

Desi Ratriyanti
Desi Ratriyanti
Lulusan FISIP Universitas Diponegoro, bergiat di Indonesia Muslim Youth Forum.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru