31.2 C
Jakarta

Potensi Terorisme Ke Depan, Bagaimana Kita Melawannya?

Artikel Trending

Milenial IslamPotensi Terorisme Ke Depan, Bagaimana Kita Melawannya?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Terorisme masih bertengger dalam posisi atas mesin pencari Google hingga hari ini. Ini menarik karena pada saat ia dianggap topik yang monoton, kejadian-kejadian tak terduga di sekitar kita justru mengatakan sebaliknya. Dalam wujud yang lebih luas, potensi terorisme tidak hanya mengancam masyarakat tetapi juga marwah agama. Dari waktu ke waktu, potensinya meningkat, alih-alih memudar. Bagaimana cara kita melawannya?

Untuk diketahui, hari-hari ini telah terjadi pergeseran ke arah bentuk terorisme yang lebih terdesentralisasi dan menyebar, dengan aktor serangan individu atau kelompok yang lebih kecil daripada organisasi hierarkis yang besar. Hal tersebut juga difasilitasi oleh kemajuan teknologi dan media sosial, yang memungkinkan individu terhubung dan meradikalisasi secara online, serta penyebaran ideologi ekstremis melalui platform propaganda dan messaging.

Lainnya, ada juga kecenderungan yang berkembang ihwal penggunaan senjata berteknologi rendah, seperti pisau, kendaraan, dan alat peledak bikinan sendiri, dalam serangan teroris, daripada persenjataan yang lebih canggih. Hal ini sebagian didorong oleh kesulitan mendapatkan dan mengangkut senjata yang lebih besar, serta kekuatan simbolis menggunakan benda sehari-hari sebagai senjata. Dampaknya juga tidak signifikan. Korbannya sedikit sekali.

Kecenderungan lainnya adalah meningkatnya fokus kelompok teroris pada target empuk, seperti ruang publik, sistem transportasi, dan landmark budaya, daripada instalasi pemerintah atau militer. Hal ini sebagian dimotivasi oleh keinginan untuk memaksimalkan korban dan menimbulkan ketakutan dan kepanikan di kalangan masyarakat umum. Kendati aparat juga kerap jadi sasaran teror, kasusnya tidak terjadi secara personal melainkan ruang publik. Kantor polisi, misalnya.

Terakhir, ada kecenderungan menuju globalisasi terorisme, dengan kelompok dan individu yang terinspirasi oleh ideologi ekstremis melakukan serangan di berbagai negara dan wilayah. Ini difasilitasi oleh kemudahan perjalanan dan komunikasi di dunia modern, serta penyebaran propaganda dan pesan ekstremis secara online. Teroris personal (lone-wolf) salah satunya juga terjadi karena ini. Mereka sporadis dan tak terafiliasi kelompo teror lokal. Untuk semua itu, kita harus apa?

Tegas-Tanggap yang Kontinu

Perseptif, dalam artian tegas-tanggap, dalam kontra-terorisme, merupakan modal utama yang sangat krusial. Demikian karena ancaman terorisme tetap menjadi salah satu tantangan paling signifikan terhadap keamanan dan stabilitas nasional, dan hal itu membutuhkan tanggapan yang beragam namun akurat. Tugas perseptif ini dipegang oleh para stakeholders kontra-radikalisasi dan deradikalisasi, baik Densus 88, BNPT, hingga BIN.

Pendekatan perseptif terhadap kontra-terorisme berarti memahami faktor-faktor kompleks yang berkontribusi terhadap munculnya dan bertahannya terorisme, seperti keluhan politik, sosial, ekonomi, dan ideologi. Itu jelas melibatkan pengakuan bahwa terorisme sering kali berakar pada ketegangan sejarah, budaya dan agama yang mendalam, yang tak dapat diselesaikan melalui tindakan militer atau penegakan hukum belaka—tidak akan efektif.

Pendekatan perseptif juga berarti mengakui pentingnya hak asasi, supremasi hukum, dan nilai-nilai demokrasi dalam melawan potensi terorisme. Implementasinya ialah memastikan bahwa langkah-langkah kontra-terorisme proporsional, efektif, dan menghormati hak dan martabat semua individu, termasuk tersangka, tahanan, dan korban terorisme itu sendiri. Selain itu, sikap perseptif juga berarti mengakui bahwa kontra-terorisme butuh kerja sama dan kolaborasi internasional.

BACA JUGA  Tahun 2024: Masihkah Ada Harapan Baik Bagi Bangsa Indonesia?

Yang terakhir tadi melibatkan pembangunan kemitraan dengan pemerintah lain, kelompok masyarakat sipil, dan komunitas yang terkena dampak terorisme untuk berbagi informasi, keahlian, dan sumber daya. Semua itu sangat penting untuk mengembangkan strategi yang efektif, kontinu, dan legal untuk menghadapi potensi terorisme ke depan. Dinamika terorisme, komitmen terhadap HAM dan nilai-nilai demokrasi, dan kerja sama lintas batas dan sektor harus dioptimalisasi dengan prinsip kontinuitas.

Tanpa itu semua, melawan terorisme hanya ibarat gali lobang tutup lobang. Satu teroris tertangkap, yang lain beraksi. Satu teroris sembuh, yang lain terperosok jadi teroris. Tambal-sulam semacam itu sama sekali berbahaya tidak hanya karena menghabiskan banyak anggaran negara tanpa terlihat hasilnya, tapi juga karena yang jadi teroris pasti lebih banyak daripada yang sembuh—bersamaan dengan semakin masif dan terstrukturnya propaganda terorisme itu sendiri.

Belajar Seluk-Beluk Terorisme

Mempelajari dan memahami terorisme untuk melawan mereka adalah masalah kompleks dan sensitif yang perlu dilakukan secara hati-hati. Boleh jadi memang perlu mempelajari kelompok teroris dan taktik mereka untuk mengembangkan strategi kontra-terorisme yang efektif. Namun, jika kita salah langkah, ada risiko melegitimasi bahkan mengagungkan terorisme dalam proses tersebut—tanpa kita sadari, tentunya. Ada juga risiko stigmatisasi seluruh komunitas berdasar etnis atau agama mereka.

Apa pun itu, kita harus memahami betul konsekuensi logis dari mempelajari teroris, bahkan jika pun itu untuk kepentingan kontra-terorisme dan ancamannya ke depan. Ada tiga cara belajar tentang terorisme yang dapat berguna bagi kita sebagai senjata untuk melawannya. Pertama, memahami motivasi dan keluhan kelompok teroris. Ini membantu mengidentifikasi dan mengatasi faktor mendasar yang berkontribusi terhadap radikalisasi dan perekrutan mereka.

Kedua, mempelajari taktik dan teknik yang digunakan oleh kelompok teroris. Ini dapat apat membantu mengembangkan langkah-langkah keamanan dan penegakan hukum yang lebih efektif untuk mencegah serangan dan menanggapinya jika terjadi aksi teror. Ketiga, mempelajari pengalaman dan perspektif individu yang terkena dampak terorisme, seperti korban, penyintas, dan keluarganya. Ini semua dapat membangun empati, pemahaman, dan kebijakan yang topcer untuk mereka.

Kendati begitu, penting untuk ditekankan bahwa mempelajari seluk-beluk terorisme harus senantiasa dilakukan secara bertanggung jawab dan objektif. Fokusnya, pemberantasan potensi terorisme dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi dan supremasi hukum. Itu semua juga harus melibatkan secara intens individu atau komunitas yang terkena dampak, serta komitmen untuk mengatasi akar penyebab terorisme melalui cara-cara tanpa kekerasan yang justru semakin menyemarakkan terorisme itu sendiri.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru