31.7 C
Jakarta

Memuluskan Demokrasi: Catatan terhadap Narasi Khilafah

Artikel Trending

KhazanahOpiniMemuluskan Demokrasi: Catatan terhadap Narasi Khilafah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Sistem demokrasi memang tidak sempurna, tapi mayoritas negara di dunia saat ini menggunakannya. Bagi Indonesia demokrasi Pancasila memang bukan yang terbaik, tapi tidak ada yang lebih baik dan cocok diterapkan di negara ini daripada Pancasila. Sebab Pancasila, demokrasi Indonesia tidak sekuler sebagaimana Turki pun tidak—secara eksplisit—menyandingkan agama seperti Tunisia.

Sifat asli demokrasi memang berisik. Itulah sebabnya di negara demokrasi kita harus siap bersilang pendapat dan bersulang keberisikan. Termasuk beberapa keberisikan yang tak hentinya dilontarkan oleh saudara-sudara pejuang khilafah terkait demokrasi. Mereka bilang demokrasi itu thaghut, sistem usang, syahwat oligarki, gembong sekuler-kapitalis, dan lain sejenisnya.

Sebenarnya, karena demokrasi lah pendapat mereka sah dan boleh-boleh saja. Tapi jika dalam sistem khilafah sebagaimana yang mereka inginkan “mungkin” menjadi tidak sah. Sebab bertentangan dengan konsep syura pengambilan pendapat yang harus berasal dari orang Islam dan kompeten. It is what it is, demokrasilah sebetulnya yang membuat saudara-saudara khilfahers ini masih eksis sampai detik ini.

Ruang Etis-Dialektis

Indeks demokrasi Indonesia pada 2022 berada pada skor 6,71. Skor ini nilainya masih relatif rendah, fluktuatif, dan cenderung stagnan. Hal ini membuat Indonesia masih berada pada tipe rezim dengan demokrasi yang cacat (flawed democracy). Penilaian survei ini dilihat dari beberapa indikator, yakni: pluralisme dan proses pemilu, efektivitas pemerintah, partisipasi politik, budaya politik yang demokratis, dan kebebasan sipil.

Menurut beberapa pengamat, stagnansi demokrasi Indonesia ini paling terlihat dari budaya demokratis dan kebebasan sipil. Pengamat lain juga menyebut bahwa efektivitas kebijakan pemerintah juga turut menjadi penghambat pertumbuhan demokrasi di Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa jalan demokrasi Indonesia masih banyak pekerjaan untuk diperbaiki.

Satu hal yang perlu dibenahi pemerintah adalah ruang etis-dialektis sebagai aspek kebebasan sipil. Dalam konteks ini, eksistensi opini saudara-saudara pejuang khilafah patut diberikan rekognisi. Biar saja terjadi persinggungan opini, adu argumentasi secara metodologis.

Tentu saja dengan catatatan selama perdebatan itu tidak sampai pada pertaruhan identitas yang memantik vulnerabilitas sehingga secara konsekuen dapat melahirkan pertarungan ke arah permusuhan dan intoleransi.

Jika demikian ini akan menjawab satu dari kegelisahan para khilafahers, yakni “katanya negara demokratis, tapi opini khilafah kok dibungkam dan dibubarkan”. Padahal, andai ruang nafas khilafahers ditutup secara utuh sekali pun seharusnya tidak ada “kekesalan” terhadap pemerintah dan demokrasi yang sejatinya adalah jahiliyah menurut mereka.

Termasuk perihal isu hangat persoalan Israel kemarin, mereka menggunakan alasan konstitusi sebagai argumen politiknya. Artinya, mereka justru berlindung dibalik konstitusi yang mereka sendiri tidak mengakuinya.

Namun jika ruang etis-dialektis itu semakin terbuka, argumen intelektual akan terlihat dengan jelas. Media sosial akan menjadi jembatan untuk membuka segala tabir kepalsuan ini; apa yang benar dan apa yang salah, bukan siapa yang kafir dan siapa yang muslim.

BACA JUGA  Radikal-Terorisme Sasar Medsos, Akankah Kita Diam Saja?

Bagi saya, api khilafahers itu perlu dipadamkan dengan air yang mengalir, dengan argumentasi yang adil. Bukan ditutup dan dikubur tanpa memastikan bahwa api itu mati, jangan-jangan di bawah sana kobarannya lebih besar. Artinya, promotor moderasi beragama pun tidak perlu takut, kenapa kita harus terus sembunyi dari kesempitan-kesempitan khilafahers. Bukankah demokrasi Pancasila kita lebih layak?

Peradaban Islam dan Demokrasi Berkeadaban

Saya selalu bertanya-tanya sebetulnya bagaimana khilafah versi mereka dapat memecahkan persoalan zaman? Bagaimana dengan sistem ekonomi tanpa riba dan nir-kapitalis itu? Bagaimana moral dan intelektual para pemuda seharusnya diarahkan? Bagaimana korupsi dan nepotisme dibumihanguskan? Bagaimana pembangunan infrastruktur ala Islam itu sebetulnya? Bagaimana membangun masyarakat madani yang aman damai dan berperadaban itu?

Saya acap kali menyimak bagaimana opini dan narasi “bagaimana-bagaimana” tersebut dijawab dan dimainkan oleh mereka. Jawabannya tentu serupa, nalarnya terbaca, menggantung dan diakhiri #khilafahadalahsolusi karena “walau anna ahla al-qura lafatahna ‘alayhim barakat…”.

Mereka tidak mampu menjamin secara konkret-metodologis. Sementara romantisme masa lampau selalu menjadi topik utama, padahal pertanyaannya adalah bagaimana sistem tersebut dapat menjawab tantangan abad ini?

Sekali lagi, demokrasi pancasila memang tidak sempurna dan belum maksimal dalam pengamalannya. Segala macam ijtihad kontemporer juga tidak sepenuhnya berhasil dalam mengatasi persoalan modern, tapi itu tidak berarti bahwa demokrasi pancasila sudah busuk dan masyarakat yang mendukung digenggamnya kejahiliahan sebagaimana ungkapan mereka.

Kaidahnya, ma la yudraku kulluh, la yutraku kulluh. Kenapa saudara-saudara pejuang khilafah keukeuh melalukan taghyir sistem secara top-down, sementara syariat Islam sebetulnya dapat dibumikan melalui pengamalan secara bottom-up.

Lalu sebetulnya yang sedang diperjuangkan khilafahers itu nilai Islam praktis atau hanya sekadar egoisme politis? Jika opsi pertama adalah jawabannya maka apakah demokrasi pancasila membuat syariat Islam betul-betul nonsens? Ternyata jawabannya tidak.

Meski bukan negara berbasis Islam, tapi sampat saat ini nilai-nilai Pancasila masih sejalan dengan nafas Islam, dan tentunya senantiasa menjamin bagaimana nilai Islam tumbuh subur di masyarakat. Artinya, barangkali opsi kedua adalah tujuan khilafahers yang relatif lebih tepat.

Oleh karena itu, daripada sibuk mengumbar sesat dan kafir, lebih baik gerakannya difokuskan pada segmen kesalehan ritual dan sosial. Siapa yang berani menolak jika niat utama khilafahers adalah kemajuan Indonesia dan restorasi peradaban umat Islam? Mari sama-sama bangun peradaban dan demokrasi yang berkeadaban. Demokrasi Pancasila sudah lebih dari cukup untuk menjadi pintu besar kejayaan bangsa ini. Wallahu a’lam.

Ayi Yusri Ahmad Tirmidzi
Ayi Yusri Ahmad Tirmidzi
Mahasiswa Magister PAI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pemuda Berprestasi Kab. Kuningan 2020 & 2021.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru