32.5 C
Jakarta

Politik Identitas dan Politik Dinasti: Dua Isu Besar dalam Pemilu 2024

Artikel Trending

KhazanahTelaahPolitik Identitas dan Politik Dinasti: Dua Isu Besar dalam Pemilu 2024
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com- Dilansir dari Databoks, dana awal kampanye Capres-Cawapres 2024 (16-26 November 2023), pasangan Prabowo-Gibran mengeluarkan dana yang paling besar di antara yang lain. Besaran tersebut, terhitung sebagai berikut: Prabowo-Gibran sebesar 31,43 miliar, Ganjar-Mahfud sebesar 23,32 miliar dan Anies-Muhaimin, 1 miliar.

“Kalau Prabowo-Gibran gak menang, rugi dong!” ucap salah satu peserta dalam sebuah diskusi. Ungkapan itu juga diungkapkan dalam podcast mojok yang menghadirkan Alit Jabangbayi dan Patub Letto. Podcast yang bertajuk “Analisis Pinggir Jurang” tersebut, Patub mengungkapkan bahwa, Prabowo-Gibran, akan menang dalam Pilpres tahun 2024. Namun, jika pasangan ini tidak menang, maka akan terjadi kekacauan pada negara ini.

Analisis pinggiran itu rasanya tidak hanya sekedar asal bunyi begitu saja. Kalau dilihat dari dana kampanye yang dimiliki oleh pasangan Capres, Prabowo-Gibran adalah pasangan yang sudah menggelontorkan dana begitu besar. Alih-alih tidak hanya punya modal kapital, sinyal Presiden Jokowi yang mendukung anaknya, Gibran menjadi Cawapres mulai terlihat. Hal ini bisa dilihat dari statementnya yang mengatakan bahwa, dirinya boleh mendukung salah satu pasangan calon.

Selain itu, jauh lebih awal dari dukungan Presiden dan dana yang sangat besar untuk kampanye, kehadiran Gibran sebagai Cawapres, didukung oleh Undang-Undang yang disahkan oleh Mahkamah Konstitusi, yang tidak lain adalah pamannya sendiri, bukti bahwa politik dinasti yang diciptakan oleh Presiden Jokowi begitu brilian.

Selain itu, kehadiran Prabowo sebagai Capres, juga memiliki rekam jejak yang begitu buruk terkait pelanggaran HAM yang terjadi pada tahun 1998 silam. Meskipun selalu ramai pada momentum politik, utamanya ketika Prabowo mencalon diri sebagai Presiden, kasus ini tidak bisa dihilangkan dilenyapkan dari diskusi para aktivis karena sampai hari ini, masih menyisakan luka begitu mendalam, terkait pelanggaran HAM.

Meskipun demikian, kasus HAM yang menyeret nama Prabowo Subianto, masih belum seberapa dibandingkan dengan isu politik dinasti yang diciptakan oleh Presiden Jokowi. Beragam ekspresi dan pendapat yang disampaikan di ruang publik oleh para aktivis HAM, akademisi, sudah terlihat. Lagi-lagi, fenomena ini bukan karena dukungan kepada salah satu pasangan tertentu, namun benar-benar mengkritik pemerintahan Presiden Jokowi yang sudah menciptakan politik dinasti untuk kepentingan dirinya sendiri.

BACA JUGA  Melihat Gerakan Perempuan Akar Rumput dalam Upaya Pencegahan Radikalisme

Selain kasus politik dinasti, isu besar yang muncul dalam Pemilu tahun ini adalah politik dinasti yang menyeret nama pasangan Anies-Muhaimin. Hal ini karena adanya fatwa wajib yang dikeluarkan oleh ulama Jawa Barat untuk mendukung pasangan Anies-Muhaimin pada Pilpres yang akan datang. Fatwa ini tentu berdampak besar dalam menciptakan polarisasi masyarakat karena sudah membawa nama agama. Suara masyarakat Muslim akan terpecah dengan berbagai reaksi beragam.

Tidak hanya itu, politisasi agama yang muncul dan sangat disayangkan adalah ketika dilontarkan oleh tokoh kiai dengan larangan agar tidak mendukung pasangan yang didukung oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Alasannya karena PKS identik dengan kelompok Wahabi. Ceramah ini jelas sangat tendensius karena akan menciptakan kebencian antar kelompok masyarakat Muslim. Sebagai kelompok pemilih terbesar, masyarakat Muslim akan mengalami dinamika konflik yang beragam pada saat Pemilu.

Artinya politik identitas yang dibawa atas nama agama, adalah sebuah hal yang pasti terjadi pada saat Pemilu, utamanya karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama, dengan pemeluk agama Islam terbanyak. Meski begitu, masyarakat Muslim diharapkan untuk tidak terpecah belah dan menjaga persatuan meskipun sudah berbeda pilihan.

Dua Isu Besar yang Menyeret Masa Depan Bangsa

Dua isu besar ini adalah masalah yang sudah kita rasakan pada saat menghadapi Pemilu. Politik identitas dan politik dinasti merupakan masalah yang diciptakan oleh para penguasa dalam memungut suara rakyat. Masyarakat perlu memahami bahwa, dua masalah ini selalu terus diperdebatkan di media sosial, di ruang-ruang diskusi sampai nanti Pemilu selesai. Jika Pemilu sudah selesai dilaksanakan, mari kembali lagi rajut persaudaraan antar sesama. Wallahu A’lam.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru