26.1 C
Jakarta

Perpres Miras dan Provokasi Kaum Mabuk Agama

Artikel Trending

Milenial IslamPerpres Miras dan Provokasi Kaum Mabuk Agama
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Hampir saja penggorengan isu kembali menyeruak ke publik, andai Presiden Jokowi tidak mengambil langkah taktis untuk membendung. Kaum-kaum sebelah, yang mabuk agama, yang selalu menunggu momen untuk memprovokasi antarmasyarakat, sudah siap-siap, sebelum langkah mereka terskakmat lebih awal. Ini bukan tentang pengorengan isu PBNU hubbuddunya lantaran ketua umumnya jadi Komisaris PT KAI. Ini tentang isu sebelumnya: polemik Perpres Miras.

Konon, Wapres Ma’ruf Amin tidak tahu, tidak ada konfirmasi, mengenai Perpres tersebut. Pemerintah menetapkan industri minuman keras sebagai daftar positif investasi (DPI) terhitung sejak tahun ini. Sebelumnya, industri tersebut masuk kategori bidang usaha tertutup, yang tertuang dalam Perpres Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal.

Beleid yang merupakan aturan turunan dari UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tersebut telah ditandatangani Jokowi dan mulai berlaku sejak Selasa (2/2) lalu. Pemerintah kemudian memutuskan untuk mencabut aturan mengenai investasi industri minuman keras yang tercantum dalam lampiran Perpres tersebut, pada Selasa (2/3) kemarin, atau sebulan kemudian, melalui saran berbagai pihak, dan sebelum polemiknya membesar.

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia, melalui Tempo, mengungkapkan awal mula usul membuka investasi minuman keras atau investasi miras di empat provinsi, yaitu Bali, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Utara, dan Papua, sebelum kemudian lampiran peraturan tersebut dalam Perpres No 10 Tahun 2021 itu dicabut. Demi kearifan lokal, katanya. Keempat provinsi tersebut, menurutnya, memiliki kearifan lokal yang bernilai untuk ekonomi.

“Dasar pertimbangannya itu adalah memperhatikan masukan dari pemerintah daerah dan masyarakat setempat terhadap kearifan lokal. Itu akan ekonomis kalau itu dibangun berbentuk industri. Tapi kalau dibangun sedikit-sedikit apalagi itu dilarang, maka tidak mempunyai nilai ekonomi. Itulah kemudian kenapa dikatakan bahwa memperhatikan budaya dan kearifan setempat,” ujarnya.

Di media sosial, justru beritanya tidak begitu kronologis dan cenderung mengundang polemik. Beredar kabar bahwa pemerintah menghalalkan khamr—sesuatu yang jelas terlarang dalam Islam. Ulasan Ismail Yusanto, dedengkot HTI, misalnya.

Kaum Mabuk Agama

KEMUNDURAN BESAR PERPRES MIRAS”, begitu judul ceramah Ismail Yusanto di kanal YouTubeFokus Khilafah Channel’. Target kritik adalah presiden, sebagai pemimpin yang ia anggap tidak melindungi rakyat lantaran pengesahan Perpres tersebut. Reaksi orang-orang seperti Yusanto itu merupakan sesuatu yang maklum, karen baginya kesalahan pemerintah merupakan ladang dakwah. Apa pun kasusnya, ujung-ujungnya adalah khilafah. Agama menjadi asongannya.

Benar suatu perkataan, bahwa mabuk minuman keras akan membuat orang berkata jujur tanpa sadar, sedangkan mabuk agama membuat orang berkata dusta secara sadar. Penyebutan ‘Perpres Miras’ juga sebenarnya istilah yang peyoratif, dan bisa membuat pendengar salah paham seolah ada Perpres khusus tentang khamr. Jelas itu tidak benar. Kenapa term tersebut muncul? Pencetusnya tidak lain ialah sekawanan Ismail Yusanto, agar terkesan bahwa pemerintah tidak peduli larangan Islam.

BACA JUGA  Pemilu 2024: Pemuda Jadi Target Teroris

Mencabut lampiran dalam Perpres tersebut merupakan tindakan yang tepat. Karena, memang secara sosio-kultural kita belum siap, dan masyarakat kerap kali salah paham antara penghalalan dan legalisasi. Juga, miras memang banyak mengandung mudarat. Sekalipun itu kearifan lokal, sebagaimana arak sudah menjadi tradisi saat nyongkolan di Lombok, itu tetap tidak bisa terlestarikan menjadi industri. Dampaknya akan lebih besar dan, tentunya, semakin riskan.

Tetapi alasan paling tepat dari pencabutan lampiran Perpres tersebut ialah menghalangi kaum mabuk agama tadi bertindak lebih jauh. Coba saja Jokowi tidak mencabutnya, ulasan terkait yang menyudutkan dan memelintir boleh jadi tak terhitung. Kalau ada yang bertanya: mana lebih berbahaya antara mabuk miras dengan mabuk agama, maka jawabannya adalah: keduanya memiliki kemudaratan yang sama. Miras merusak akal, dan mabuk agama juga membuat akal sehat seseorang terganggu.

Ada dua tipikal orang mabuk agama. Pertama, merasa paling benar dan paling saleh. Kalau harus menyebut secara personal, tipe seperti ini bisa terlacak melalui orang-orang HTI, yang setiap ada kasus, mereka langsung tampil seolah panutan paling benar. Kedua, merasa paling Islam dan paling beriman. Mereka adalah kaum radikalis-ekstremis yang beraksi melalui terorisme.

Radikalisme dan Terorisme

Di Twitter, tengah trending tagar #RadikalCikalBakalTeroris, #KejayaanMilikIslam, #IslamJayaDenganKhilafah, dan #TetapFokusKasusKM50. Para warganet lumayan memiliki kesadaran bahwa radikalisme dan terorisme adalah musuh bersama. Kasus-kasus perihal keterlibatan oknum FPI dengan ISIS, misalnya, sudah banyak yang menyoroti. Sementara itu, tagar tentang khilafah itu disuarakan orang yang sama—mereka kecil sekali tapi masif di media sosial.

Para teroris; seperti baru-baru ini di Jawa Timur dan di Poso, mereka juga sebenarnya adalah kaum mabuk agama. Terlalu merasa paling Islam dan menganggap lainnya jauh dari Islam sehingga harus mereka perangi, teror, dan lainnya. Kadar kemabukan mereka kepada agama sudah pada level akut sampai menegasikan perikemanusiaan demi menuju Tuhan, dalam angan mereka. Ibadah mereka boleh jadi lebih banyak dari kita, tetapi justru membuat mereka seperti tidak bertuhan.

Mabuk agama, dalam apa pun jenisnya, baik yang hanya merasa paling saleh sampai merasa paling Islam, tetaplah buruk. Yang satu suka provokasi, dan satunya lagi suka membunuh. Provokasi yang kaum mabuk agama ciptakan dalam konteks kasus Perpres Miras jelas bukan tindakan teror, tetapi itu menuntun seseorang untuk semakin antipati akut dengan pemerintah dan masyarakat lalu bisa bertindak yang tidak berperikemanusiaan.

Karenanya, lebih awal daripada radikalisme dan terorisme, kita juga harus memusuhi akarnya yang menjadi musabab: yaitu mabuk agama. Dan itu bukan karena miras, meski bahayanya sama bahkan, bisa jadi, lebih parah.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru