31 C
Jakarta

Tentang Plagiarisme dan Cara Menghindarinya

Artikel Trending

KhazanahLiterasiTentang Plagiarisme dan Cara Menghindarinya
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Beberapa hari belakangan, di media sosial kita bisa membaca kabar tentang seorang ‘penulis’ muda berinisial SYK. Dia baru saja hendak menerbitkan buku kumpulan cerpennya ketika ternyata dilaporkan bahwa buku itu adalah hasil menjiplak. Rupanya, dia melakukan salin tempel dan sedikit modifikasi pada beberapa karya penulis lain. Salah satu cerpen yang dijiplak adalah milik seorang penulis, yang di tahun lalu, karya kritik sastranya memenangkan sayembara DKJ.

Kasus ini menarik, karena sang pelaku melakukan tindakan plagiatnya dengan ‘agak gila’. Saya katakan gila, karena dia berani merencanakan sebuah tindakan yang beresiko besar pada citra dirinya.

Dia tidak hanya melakukan copas dan mereplikasi seolah-olah itu adalah murni karyanya, tapi juga mencatut beberapa persona masyhur untuk endorsement palsu dan logo sebuah penerbit demi mewujudkan ‘bukunya’ itu. Anak ini juga mengaku bekerja di penerbit tersebut. Bahkan, dia sudah memposting kover calon buku itu di laman Facebook-nya. Sungguh sebuah tindakan gila yang sangat konyol.

Setiap kreator memiliki hak atas kreasinya, begitu pun penulis. Karya yang dia buat, ibarat harta. Harus dilindungi dan siapapun tidak berhak mengambil manfaat darinya tanpa izin. Dan plagiarisme, bersama pembajakan, jelas merupakan pencurian. Cakupan plagiarisme ini pun cukup luas. Tidak hanya mencomot secara tekstual, mengambil ide tanpa izin pun termasuk pelanggaran hak cipta.

Kata ‘plagiarisme’, seperti ditemukan dalam kamus Oxford, tersusun dari kata Latin plagiarius, bermakna ‘penculik’. Di KBBI, kata plagiarisme terdaftar dengan definisi makna ‘penjiplakan yang melanggar hak cipta’. Sedangkan plagiat dimaknai ‘pengambilan karangan (pendapat dan sebagainya) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dan sebagainya) sendiri’.

Jenis plagiarisme sendiri amat banyak dengan berbagai kategori, sebagaimana dijabarkan Shadiqi (2019) yang sumbernya merujuk pada Bernett dan Campbell (2012). Misalnya, dari sisi motivasi pelakunya, dapat dibedakan menjadi intentional plagiarism, unintentional plagiarism dan inadvertent plagiarism.

Jenis pertama, intentional plagiarism, si plagiator secara sengaja dan sadar mencomot teks dari sebuah karya kemudian mengakui bahwa itu adalah hasil karyanya. Kasus SYK di atas dapat dimasukan plagiat jenis pertama ini, yang ternyata merupakan pelanggaran kelas berat sebab faktor kesengajaan-nya.

Sedangkan kebalikannya, unintentional plagiarism, merupakan tindakan plagiat yang tidak disengaja. Sebabnya, si penulis kurang informasi di bidang penulisan rujukan, sitasi, dan sebagainya, serta pengetahuan akan plagiarisme itu sendiri. Lalu untuk jenis ketiga, inadvertent plagiarism, merupakan hasil dari kelalaian si penulis untuk menyebut sumber. Dalam banyak kasus, seperti terjadi pada Hellen Keller (berdasar info dari Wikipedia), si penulis lupa pernah membaca sebuah ide atau gagasan, lalu menyangka bahwa itu adalah hasil pemikirannya.

Kalau mau ditinjau dari bagaimana si plagiat melakukan aksinya, maka akan kita jumpai beberapa cara. Pertama, patch-writing, yaitu menyalin teks dengan mengabaikan penyebutan sumber, atau melakukan tambal sulam tulisan dari berbagai rujukan. Kedua, inappropriate paraphrasing, yaitu si penulis mengutip dengan sedikit merubah dengan tetap menyebut sumber. Biarpun disebut parafrase, tapi parafrase semacam ini masihlah dianggap plagiat. Jenis terakhir, yaitu summaries, atau meringkas.

Pertanyaannya, mengapa bisa terjadi plagiarisme?

Ada banyak kausa. Sebagian yang bisa disebut di sini di antaranya (Shadiqi, 2019):

  • Internet dan kemudahannya menyebabkan siapapun dapat memperoleh informasi dengan mudah dan mencomot karya orang lain tanpa kesulitan berarti.
  • Adanya tekanan dari pihak luar, misalnya deadline yang sempit dari dosen, guru, atau atasan. Sehingga jamak kita lihat mayoritas siswa, bahkan mahasiswa mengumpulkan tugas menulisnya dengan mengunduh karya orang lain.
  • Keahlian menulis yang menyedihkan. Ini disebabkan menulis belum menjadi budaya pendidikan di Indonesia, bahkan di level pengajar, sehingga mayoritas masyarakat kita tak terlatih membuat karya tulis sendiri.
  • Minimnya informasi soal plagiarisme dan tidak adanya penghargaan terhadap hak cipta.
  • Berkarya secara orisinal tidak menjadi prioritas utama. Ini menyangkut lemahnya kepribadian pelaku yang tidak mau berproses dan bersusah payah.
  • Kebiasaan plagiat yang telah dilakukan sejak lama.
  • Di level penerbit, pengelolaan yang kurang teliti dan tidak ketat menjadi salah satu sebab beredarnya karya plagiat.
BACA JUGA  Membangkitkan Api Kreativitas Literasi, Ini Tipsya

Untuk menghindari plagiarisme saat berkarya, kita perlu belajar banyak hal. Pertama tentu menanamkan dalam diri kita bagaimana sikap sejati seorang kreator, yaitu mampu mengapresiasi karya orang lain, di samping memiliki mental seorang inventor. Ini akan mendorong kita untuk bekerja dengan jujur dan sungguh-sungguh. Ini juga sekaligus menantang kita bagaimana menciptakan sebuah karya orisinal yang berkualitas.

Kedua, harus mengerti benar batasan-batasan dalam plagiarisme sehingga kita bisa lebih berhati-hati dan teliti, juga tentang bagaimana menulis rujukan, kutipan, dan sebagainya. Cara ketiga, berlatih parafrase yang diperbolehkan. Jika kita belum terbiasa melakukannya, maka satu kalimat cukup menjadi latihan pertama. Selanjutnya, kita bisa meningkatkan skalanya manjadi satu paragraf. Trik sederhana melakukannya ialah, catat kata kunci dari sebuah ide yang hendak kita ambil, lalu tuliskan dengan bentuk berbeda tapi masih dengan maksud yang sama. Untuk karangan ilmiah, cantumkan sumber dan sitasi lengkapnya.

Terakhir, gunakan aplikasi dan layanan daring pendeteksi plagiat untuk meneliti apakah karya kita terindikasi plagiarisme. Perbaiki, lalu baru publikasikan jika sudah benar-benar bersih dari dugaan plagiat.

Masalah plagiarisme merupakan masalah yang kompleks. Ia tidak hanya berada di level individu, tapi sudah menjadi bagian dari area kehidupan yang lebih besar. Dari segi hukum, hal ini telah diatur secara seksama oleh undang-undang. Walau disayangkan, pemerintah masih abai dengan hal-hal yang berkisar pada produk intelektual.

Di tingkat individu, akan kita temukan relasi plagiarisme dengan kepribadian dan cara pandang si pelaku, yang mempengaruhi cara ia bertindak di masyarakat. Bayangkan apa jadinya jika seseorang terbiasa dengan aktivitas plagiat, ia akan enteng saja melakukan banyak kecurangan, di semua bidang. Ini tentu amat tidak baik buat penulis pemula. Mental berjuangnya tidak akan terasah. Dan lebih parah lagi saat plagiarisme dilakukan penulis terkemuka, tentu akan sangat memalukan!

Menulis secara orisinal bukan perkara mudah, tapi juga tak bisa disebut sulit banget. Perlu melebihkan sedikit usaha, jika memang kita menginginkan karya yang lebih punya nilai dan bobot. Mencuri itu sudah jelas dilarang. Dalam Islam bahkan hukumannya adalah potong tangan. Kalau sudah demikian, bagaimana bisa kita berbuat lebih banyak untuk menjadikan dunia lebih baik jika tangan kita terpotong?

Athi Suqya Rohmah
Athi Suqya Rohmah
Freelancer, mukim di Kebumen Jawa Tengah.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru