30.2 C
Jakarta

Perempuan Berpolitik, Mengapa Tidak?

Artikel Trending

KhazanahPerempuanPerempuan Berpolitik, Mengapa Tidak?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mengatakan melalui siaran pers pada tahun 2022, bahwa angka keterlibatan perempuan dalam ranah politik mengalami peningkatan meskipun masih ada beberapa faktor penting yang belum maksimal.

Dengan adanya angin segar ini tentu meminimalisir kekhawatiran kita akan kondisi sosial perempuan yang telah lama ditepikan. Perkembangan yang belum maksimal ini tentu memerlukan proses dalam masa yang tidak singkat untuk mencapai maksud yang semestinya.

Keterlibatan perempuan dalam wilayah politik seringkali menjadi isu utama yang sering diperdebatkan terutama menjelang penyelenggaraan pemilihan umum. Terlebih di dalam negara yang mana budaya patriarkinya masih sangat kental.

Hal ini dilatarbelakangi oleh beragam kepentingan, mulai politik, historis, agama hingga tradisi dalam masyarakat. Nampaknya anggapan bahwa kaum laki-laki merupakan pemimpin bagi perempuan atau lebih berhak menjadi pemimpin dibandingkan kaum perempuan telah menjadi suatu dogma yang selama ini kurang tepat ditafsirkan.

Peran perempuan dalam wilayah politik juga tidak bisa diperdebatkan dengan undang-undang. Istilah yang digunakan dalam beberapa pasal terkait persoalan hak asasi tidak ditemukan adanya pembedaan jenis kelamin seseorang, istilah yang digunakan adalah warganegara. Berdasarkan aspek legal formal tersebut, jelas seharusnya tidak ada pengecualian terhadap peran sosial dan politik seorang perempuan.

Lantas bagaimana agama memandang peranan perempuan dalam bidang politik ini, sebagaimana maklum di masyarakat kita yang sulit untuk dihindari bahwa posisi perempuan disubordinat berdasarkan karena tafsir teks-teks keagamaan yang tekstual. Penafsiran secara tekstual tanpa dibahasakan secara kontekstual terhadap teks Al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad SAW ini berdampak luas bagi masyarakat, terlebih karena mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam.

Al-Qur’an memandang eksistensi perempuan dalam kehidupan ini sebagai makhluk yang memiliki kedudukan yang sama di hadapan Allah SWT. Laki-laki maupun perempuan memiliki tanggungjawab yang sama untuk berbuat baik semasa hidupnya, sehingga dapat mencapai kedudukan yang mulia dan terhormat di hadapan Allah SWT sebagaimana amal yang telah diperbuatnya.

Al-Qur’an tidak memberikan keutamaan kepada jenis kelamin tertentu, atau mengistimewakan satu diantaranya. Semuanya, laki-laki maupun perempuan memiliki potensi untuk menjadi hamba yang sholih dan khalifah, sebagaimana dijelaskan dalam surat Al-Hujurat ayat 13.

BACA JUGA  Membantah Stereotipe: Perempuan, Gender, dan Terorisme di Indonesia dan Pakistan

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling takwa. Sesunggguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.

Sungguh Islam hadir sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamiin). Buya Husein Muhammad mengatakan, pada hakikatnya tidak ada larangan dalam Islam jika seorang perempuan berperan dalam ruang publik terlebih dunia politik.

Perempuan juga bisa menjadi pemimpin dalam politik dengan segala tingkatannya. Tentu yang perlu dipertimbangkan bukan berdasarkan apakah dia laki-laki atau perempuan. Akan tetapi berdasarkan kualitas dan integritas yang dimilikinya.

Menurut Menteri PPPA, hasil survei Bank Dunia menyatakan akan adanya dampak yang dihasilkan saat perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk aktif secara politik dan membuat berbagai keputusan serta kebijakan.

Di samping keterlibatan perempuan dalam politik makin meningkat, pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan politik yang dimilikinya mesti ditingkatkan juga. Sehingga keberadaan mereka di bangku politik kelak melalui aspirasinya lahir kebijakan-kebijakan yang responsif, inklusif dan humanis.

Jika kembali melihat sejarah politik di Indonesia, kita memiliki banyak tokoh perempuan yang berperan. Diantaranya Nyai Djuaesih, yang dikemudian hari dikenang sebagai pendiri Muslimat. Dikutip dari laman Muslimat NU, muslimat NU adalah sebuah organisasi kemasyarakatan yang bersifat sosial keagamaan dan merupakan salah satu badan otonom dari Nahdlatul Ulama.

Berkat keberanian yang dilantangkan beliau 84 tahun lalu, kini perempuan-perempuan NU memiliki kesempatan luas untuk menjadi pelaku sejarah yang baik dan berperan penuh dalam tiap lini termasuk politik.

Selain itu, kita juga memiliki Nyai Siti Walidah yang membentuk organisasi otonom bagi wanita Muhammadiyah yang kini kita kenal dengan Aisyiyah. Aisyiyah yang digagasi oleh beliau dan suami, KH. Ahmad Dahlan. Nyai Siti Walidah pada awal terbentuknya Aisyiyah melakukan pembangunan sekolah-sekolah putri dan asrama. Hingga seiring berjalannya waktu semakin berkembang hingga tumbuh sebagai organisasi otonom.

Pergerakan para perempuan terdahulu kita sudah sangat progresif, tugas kita selain menjaganya agar tetap lestari juga harus berinovasi. Karena dunia semakin berkembang jangan sampai pemikiran kita semakin terbelakang.

Maylitha Luciona Demorezza
Maylitha Luciona Demorezza
Anggota Komunitas Puan Menulis. Mahasantri Ma’had Aly Sa’iidusshiddiqiyah, Jakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru