31 C
Jakarta

Pemuda: Sasaran Indoktrinasi Khilafah oleh Aktivis HTI

Artikel Trending

KhazanahTelaahPemuda: Sasaran Indoktrinasi Khilafah oleh Aktivis HTI
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com Dibubarkannya HTI sejak 2017 silam bukanlah sebuah kenyataan akhir yang diterima oleh masyarakat Indonesia. Reinkarnasi organisasi licik terlarang ini terus menjelma dan eksis dalam berbagai ruang kehidupan, masuk dalam berbagai sektor yang membuat kita, utamanya generasi milenial menjadi sasaran utama. Kita akan semakin kecolongan jika tidak segera mengambil peran di dalamnya.

Hingga 2024 HTI sebagai organisasi ilegal justru semakin berkembang. Pergerakannya semakin masif merasuk pada generasi milenial, khususnya bagi mereka yang sedang mengalami kegalauan yang luar biasa, mencari jati dirinya, representasi ustaz-ustaz milenial yang selama ini justru memberikan kenyamanan pada generasi milenial, seperti Felix Siauw. Ia adalah salah satu ustaz kebanggaan para milenial yang sedang hijrah.

Kegiatan metamorfoshow dengan tajuk “It’s Time to be One Ummah (Inilah Saatnya Menjadi Satu Umat”, masih menjadi perbincangan hangat. Sebanyak 1.200 orang berbondong-bondong hadir ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta Timur, pada Sabtu (17/2) kemarin. Mereka semua hendak menghadiri talkshow di Ruang Teater Tanah Airku, TMII, pukul 09.00-12.00 WIB. Kegiatan ini menjadi salah satu basis kekuasaan aktivis HTI di Indonesia.

Media online HTI juga masih aktif sampai hari ini. website Muslimahnews.net menjadi salah satu rujukan utama milenial sebagai konsumsi literatur keislaman yang berkenaan dengan konten-konten HTI. Sebab seluruh tulisan-tulisan di dalamnya, menyerukan untuk diterapkannya sistem khilafah. Ada salah satu tulisan yang menjadi alasan saya mengapa tulisan ini muncul, yakni berjudul “Berkah Generasi Muda: Modal Besar Membangun Peradaban Islam”.

Sebuah tulisan yang memantik pemahaman pembaca bahwa bagi mereka (pengikut khilafah), anak muda adalah sebuah konsensus yang tidak bisa dilepaskan dari sebuah peradaban.

Dalam sebuah negara, ia menjadi benteng pertahanan untuk melihat masa depan negara itu sendiri. Lebih lanjut, tulisan tersebut menjelaskan bahwa potensi pemuda sebagai pelopor perubahan mestinya diberdayakan untuk membangun peradaban Islam.

Lagi-lagi, tulisan tersebut berangkat pada interpretasi sistem pemerintahan Indonesia yang disebut “kapitalis” sebab bukan berasal dari Islam. Maka seyogianya, secara kaffah apa pun yang terjadi harus kembali pada Islam.

Penerapan sistem khalifah di masa silam, menjadi sebuah cerminan mutlak, mengapa sistem tersebut juga harus diterapkan di Indonesia. Akhirnya, pemudalah yang harus mengembalikan peradaban tersebut untuk kembali pada sistem khilafah.

BACA JUGA  Mengapa Aktivis Khilafah Menolak Dialog Antar Agama?

Ini menjadi fatal akibatnya jika kita abai terhadap kenyataan ini. Apalagi sejauh ini, potensi anak muda Indonesia begitu besar. Tantangan bonus demografi semakin membuka cakrawala, serta tidak bisa menafikan kenyataan yang nantinya akan diisi oleh mereka, para pengikut khilafah.

Pada akhir tahun 2020, BNPT memaparkan bahwa sekitar 85% dari generasi milenial (usia 20-39 tahun) berpotensi tergabung dalam jaringan radikalisme-terorisme. Jika dikorelasikan dengan data di akhir 2019 dan awal tahun 2020, kenaikan simpatisan HTI meningkat 0,4%.

Fakta ini diperkuat dengan maraknya konten-konten keagamaan di media sosial yang tidak terbendung. Tidak sedikit dari mereka yang jatuh hati ikut dalam berbagai pemikiran dan konten keagamaan yang tidak diterimanya secara utuh menyebabkan kesalahpahaman dalam memaknai konsensus negara, narasi intoleransi, serta penolakan terhadap sistem pemerintahan yang tidak bersyariah dan menyimpang dari ajaran Islam.

Sinergi, Kolaborasi dan Berani

Tanpa menegasikan pemuda-pemuda lainnya, secara de jure dan de facto, anak muda memiliki peran untuk berani melawan arus utama radikalisme yang semakin lama kian tidak terbendung. Semua harus optimis dengan melakukan berbagai cara, menebarkan konten-konten positif, ikut serta terhadap penggunaan media sosial secara santun, literatur keislaman yang mumpuni, pengetahuan yang bisa dipertanggungjawabkan, serta komitmen penuh terhadap negara Pancasila.

Artinya, tugas kita saat ini adalah mengambil dan merebut ketertarikan anak muda terhadap ajaran Islam yang ramah, mencintai perdebatan dan ajaran Islam yang menjunjung kecintaan terhadap Indonesia.

Berbeda halnya dengan para aktivis HTI yang mencitrakan ajaran Islam dengan penerapan khilafah, kita perlu menyuarakan sebaliknya. Anak muda, yang cinta terhadap Indonesia, dan seorang Muslim, harus memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi. Mereka harus memiliki imajinasi untuk membangun Indonesia dengan persatuan dan kesatuan.

Hal itu akan tercapai jika kita terus berkolaborasi dan bersinergi bersama dengan kesadaran penuh, bahwa Indonesia adalah milik semua bangsa Indonesia tanpa melihat latar belakang agama mana pun. Dengan begitu, memupuk kesadaran itu sangat penting bagi kita semua, agar tidak mudah tergerus oleh ajaran HTI yang menyesatkan. Wallahu A’lam.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru