26.1 C
Jakarta

Pemelintiran Narasi “Penguasa Zalim” di Kalangan Radikalis

Artikel Trending

Milenial IslamPemelintiran Narasi “Penguasa Zalim” di Kalangan Radikalis
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Di antara empat belas ribu cuitan di Twitter bertagar #SyariahMenyejahterakan, ada satu narasi yang menarik, yaitu ikhwal penguasa zalim. Pada cuitan tersebut, dikatakan, chaos kebijakan hari ini di Indonesia merupakan dampak dari kezaliman penguasa di satu sisi, dan di sisi lainnya disebabkan pembiaran masyarakat terhadap kezaliman itu sendiri. Omnibus Law, yang hari ini tengah viral, dan mendapat kritikan banyak pihak, sarat dengan narasi kezaliman penguasa tadi.

Perlu untuk ditegaskan, pertama-tama, bahwa saya bukanlah relawan pemerintah maupun DPR. RUU Cipta Kerja—dalam beberapa poinnya—memang mendiskreditkan buruh, dan menguntungkan para pemodal, investor. Legislasi RUU di tengah pandemi COVID-19 juga bukan merupakan sesuatu yang mendesak dan perlu disegerakan. Tidak dilibatkannya aspirasi masyarakat sendiri juga berarti sebagai memburuknya kualitas demokrasi. Tetapi, benarkah narasi penguasa zalim masih seideal itu?

Ungkapan—atau lebih tepatnya tuduhan—kezaliman penguasa, pemerintahan saat ini, secara historis berasal dari pengguliran isu PKI kepada Jokowi. Presiden wong cilik itu dianggap tidak benar-benar berasal dari wong cilik, namun produk dari pengaburan identitas tokoh komunis. Bersamaan dengan itu, isu PKI di Indonesia semakin gencar, dihantu-hantukan. Politik identitas juga menjadi faktor penting dari narasi ‘penguasa zalim’. Rezim ini, berikutnya, mereka stigma sebagai rezim yang zalim.

Akibatnya, apa pun kebijakan yang dianggap kontroversial, ujung-ujungnya dipahami sebagai akibat kezaliman tadi. Lambatnya proses kasus Ahok, karena penguasa zalim. Perginya Habib Rizieq ke Mekah, karena rezim zalim. Kriminalisasi ulama, karena kezaliman rezim. Bahkan Omnibus Law, itu produk penguasa zalim. Terlepas dari kontroversial tidaknya kebijakan yang disebut terakhir ini, apakah kaum radikalis yang istiqamah dengan narasi penguasa zalim itu benar-benar memahami perkaranya?

Di situlah celah pemelintiran narasi penguasa zalim terjadi. Ia tidak lagi disematkan kepada siapa pun yang memenuhi kriteria kezaliman, melainkan stigmatik kepada Jokowi dan pemerintahannya. Yang mereka tuntut dari penzaliman tersebut satu, yaitu menyiapkan pengganti. Tentu, “mereka” di sini bukan dalam kasus Omnibus Law ini, karena RUU Cipta Kerja, sekali lagi, boleh jadi memang problematik. Mereka yang saya maksud ialah kaum radikalis, yang tidak perlu lagi saya sebut spesifik siapa saja mereka.

Penguasa Zalim Harus Diganti!

Usut punya usut, penguasa zalim, atau narasi sejenis yang beredar, bertolak dari anggapan tiadanya ruang keadilan. Di era sahabat, Utsman bin Affan dikudeta dan dibunuh karena dianggap menerapkan nepotisme. Ali bin Abi Thalib juga dianggap demikian, pasca peristiwa arbitrase dengan Muawiyah, maka lahirlah kelompok Khawarij. Ditinjau dari segi politik, narasi “penguasa zalim” tidak lebih merupakan intrik belaka untuk mendelegitimasi penguasa. Itu, jelas, murni politik.

Di Indonesia, bau-bau agama masih menyeruak. Masyarakat memimpikan pemimpin ideal beragama Islam, hasil refleksi atas sejarah kejayaan masa lalu: adil, tegas, dan berpihak kepada kepentingan rakyat. Meski secara historis tidak seideal itu, karena faktanya banyak raja Islam berperang sesama keluarga dalam hal perebutan kekuasaan, yang masyarakat hari ini adalah kejayaan Islam ketika itu secara umum. Sejarah kebejatan mereka dilupakan. Penguasa ketika digeneralisir sebagai simbol keadilan.

BACA JUGA  Rajab, Bulan Penuh Pahala untuk Memerangi Khilafahisme

Ujung-ujungnya adalah penawaran pemimpin baru, tentu, sesuai idealisme Islam. Narasi khilafah pun menjadi antitesis demokrasi. Dengan kata lain, kalau ada kaum HTI, FPI, dkk, berteriak perihal kezaliman pemimpin, itu artinya mereka tengah menginginkan lengsernya petahana sambil menawarkan pemimpin baru dari kelompok mereka. Jika dalam polemik RUU Cipta Kerja narasi “penguasa zalim” dilacak melalui isi RUU, maka bagi radikalis, itu melekat kepada personal penguasa yang mereka targetkan. Sangat subjektif.

Jadi, di sini perlu dibedakan antara narasi asli dengan yang sudah dipelintir kalangan radikalis. Dalam narasi yang ideal, kajian kerangka teoretis dalam mengkritik penguasa telah dilakukan. Dan dalam implementasinya, mereka tidak menyerang personal, melainkan menyerang kebijakannya. Misalya, NU dan Muhammadiyah sudah mengkaji naskah RUU Cipta Kerja, lalu mengeluarkan sikap bahwa kebijakan tersebut tidak urgen, dipaksakan, bahkan sarat kezaliman. Itu, dalam konteks demokrasi, lumrah saja.

Sementara itu, kalangan radikalis bermazhab “pokoknya”. Pokoknya ganti pemimpin, pokoknya turunkan rezim zalim, pokoknya yang penting bisa menggulingkan pemerintahan yang sah. Kedua konteks narasi tersebut jelas berbeda. Yang terakhir sudah melakukan pemelintiran, memprovokasi masyarakat agar secara berjemaah menjadi oposisi.

Politik (sok) Agamis

Religiusitas, sedikit banyak, sudah ikut andil dalam suasana perpolitikan di negeri ini. Narasi “penguasa zalim” sendiri diproyeksikan sebagai aktualisasi nilai religius terhadap pemimpin. Politik yang agamis memiliki daya tarik tersendiri, dan suara masyarakat mudah sekali diraih dengan jargon-jargon keagamaan. Hanya dengan mengatakan bahwa si A sudah tidak sejalan dengan agama, si B menyalahi ajaran agama, maka suara rakyat akan berduyun-duyun menghindarinya.

Tidak ada penguasa sehat yang ingin masyarakatnya sengsara. Tidak ada masyarakat Islami yang ingin makar setiap hari. Kalau salah satu dari keduanya terjadi, maka yang tidak beres ada pada mereka sendiri. Boleh jadi, si penguasa mengabaikan kepentingan publik, sehingga narasi “penguasa zalim” disematkan kepadanya. Atau bisa juga yang terobsesi kekuasaan adalah oknum masyarakat itu sendiri. Akibatnya, setiap hari, yang disuarakan adalah kezaliman pemerintah. Padahal, di baliknya, hasrat ingin merebut kekuasaan memuncak. Agama sekadar menjadi tabir kepalsuan mereka.

Dari itu, ke depan, baiknya narasi “penguasa zalim” tidak lagi dipelintir untuk kepentingan tertentu. Jika penguasa harus dikritik, maka kritik tersebut ditujukan kepada kebijakannya, bukan untuk menyerang personal. Dalam sebuah sistem pemerintahan, kita tahu, ketidakberesan beberapa sendi bukanlah kemustahilan. Tetapi itu ulah oknum. Keadilan wajib ditegakkan, dan kezaliman harus dimusnahkan. Pemerintah tidak kedap kesalahan. Tetapi juga hendaknya tidak dijadikan objek pemelintiran.

Sekali lagi, apa yang saya uraikan di sini merupakan pengamatan terhadap beberapa polemik dan respons masyarakat terhadapnya, tidak secara spesifik kasus Omnibus Law. Saya juga tidak menegasikan kritik atas penguasa, jika kebijakannya tidak merepersentasikan kepentingan khalayak. Kita sebagai rakyat bertugas memperjuangkan keadilan, memberantas kezaliman. Namun demikian, pada saat yang sama, kita memiliki tugas untuk melakukan filtrasi atas tuduhan kezaliman itu sendiri. Sebab, jika tidak, kita akan terjebak dalam pemelintiran para radikalis yang memang ingin penguasa saat ini runtuh.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru