28.4 C
Jakarta

Pemaksaan Beragama Vis A Vis Moderasi Beragama

Artikel Trending

KhazanahOpiniPemaksaan Beragama Vis A Vis Moderasi Beragama
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Beberapa tahun belakangan ini berbagai kasus pemaksaan beragama semakin marak terjadi, misalnya kasus jilbab di SMKN 2 Padang dan SMAN 1 Banguntapan Bantul yang semakin menunjukkan bahwa ternyata masih ada sebagian masyarakat kita yang ingin memaksakan keyakinan keagamaannya kepada mereka yang berbeda.

Mirisnya, pemaksaan seperti itu justru dipandang oleh mereka sebagai religious virtue (kebajikan keagamaan) dan bukan sebagai pelanggaran, baik terhadap agama maupun konstitusi.

Pemaksaan beragama menjadi duri dalam nadi kebangsaan kita. Perlu disadari bahwa pemaksaan beragama bukan justru semakin menunjukkan moralitas agama, namun justru merusak etika beragama itu sendiri. Dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 256 ditegaskan bahwa tidak ada paksaan bagi seseorang (apapun latar belakangnya) dalam beragama.

Upaya pemaksaan atas dasar tafsir ritus keberagamaan seperti jilbab menjadi salah satu faktor penting dalam suburnya konflik sektarian di Indonesia. Kita perlu belajar dari kasus Jilbab yang terjadi di Iran, Mahsa Amini (22) harus kehilangan nyawanya atas upayanya dalam memperjuangkan kebebasan sipilnya.

Kematian Amini ini menjadi gejolak sosial politik di Iran belakangan ini, bahkan perempuan-perempuan di Iran dan di negara lain membuat gerakan protes dengan membakar cadar dan hijab mereka.

Gerakan memotong rambut para perempuan di berbagai negara menjadi wujud tantangan langsung kepada para pemimpin ulama di Iran. Kematian Amini telah menyalakan kembali kemarahan atas banyak isu, termasuk pembatasan kebebasan pribadi di Iran, di mana ada otoritas memberlakukan aturan berpakaian yang ketat untuk masyarakat perempuan.

Urgensi Moderasi Beragama  

Melihat dari fenomena di atas, penting kiranya kita mendudukkan secara epistemik, antara pemaksaan beragama vis a vis moderasi beragama. Penting dipahami bahwa moderasi beragama itu bukanlah melakukan moderasi terhadap agama, tetapi memoderasi pemahaman dan pengamalan umat beragama dari sikap ekstrim (Burhani, 2021).

Menurut Sri Subhapannyo Mahathera (2022), Moderasi beragama menjadi kebutuhan untuk menemukan persamaan dalam perbedaan dan bukan mempertajam perbedaan dengan bersikap eksklusif. Moderasi beragama menjunjung nilai kemanusiaan dan menghadirkan keseimbangan pemahaman agama di tengah masyarakat.

Moderasi beragama menjadi jalan tengah memadukan cinta kasih dan kasih sayang serta pemahaman agama lebih terbuka terhadap perkembangan kehidupan dewasa ini sehingga moderasi beragama dapat menjauhkan sikap ekstrim, bahkan pemikiran primordialisme dan intoleransi terhadap perbedaan.

Pemaksaan Jilbab yang terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia menjadi contoh kecil bagaimana moderasi beragama belum menjadi spirit keberagamaan Islam global. Untuk itu, meskipun problem kebangsaan di Indonesia, namun Indonesia sebagai pelopor moderasi beragama tetap memiliki peran untuk mengeskportasi moderasi beragama ke seluruh dunia.

BACA JUGA  Ini Kriteria Profetik Calon Pemimpin yang Wajib Diketahui

Sebagaimana menurut Lukman Hakim Saifuddin, Indonesia memiliki relasi yang khas antara agama dan negara. Relasi ini bahkan dipandang tidak sama dengan bangsa lainnya yang menjadikan agama sebagai dasar negara. Akan tetapi, Indonesia menjalankan kehidupan bernegaranya dengan acuan atau panduan dari nilai-nilai agama.

Dari peristiwa tersebut di atas, maka penting bagi kita untuk membumikan wawasan moderasi beragama di ruang publik. Mengingat pemaksaan beragama melalui atribut kebudayaan seperti Jilbab ini sejatinya menunjukkan krisis wawasan moderasi beragama dan keringnya pengetahuan keberagamaan. Maka dari itu, Moderasi beragama menjadi langkah strategis untuk penguatan wawasan kebangsaan serta edukasi tentang pentingnya menghargai martabat kemanusiaan.

Dalam buku Peta Jalan (Roadmap) Penguatan Moderasi Beragama Tahun 2020-2024, moderasi beragama didefinisikan sebagai suatu cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mengejewantahkan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan bangsa.

Sedangkan beberapa kasus dalam konteks pemaksaan beragama (jilbab) ini justru merusak kemaslahatan umum dan mencederai nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karena itu, sejatinya kita (baik panguasa atau rakyat) harus saling menghormati, menghargai kepada sesama bahwa kita bisa jadi berbeda agama, bisa saja berbeda paham, berbeda pikiran, berbeda pandangan, akan tetapi marilah perbedaan itu jangan kemudian menimbulkan permusuhan dan kebencian.

Sebagaimana pesan Sekjend PBNU, KH. Helmy Faisal Zaini bahwa marilah kita saling menghormati, menghargai atas perbedaan agama, pikiran, golongan, suku, bahasa dan sebagainya. Marilah kita senantiasa menghidupkan spirit moderasi beragama bahwa kita adalah bangsa teladan yang saling menghormati antara satu dan lainnya, sekaligus marilah kita terus menjaga persatuan dan kesatuan kita.

Akhirnya, moderasi beragama menjadi landasan epistemologis kita agar nantinya dapat memiliki cara pandang, sikap, dan praktek beragama yang teguh terhadap komitmen kebangsaan, toleransi, anti-kekerasan, dan ramah terhadap tradisi serta mengedepankan prinsip kemanusiaan. Semoga praktik pemaksaan beragama semakin hilang eksistensinya di dunia ini, sehingga bisa mewujudkan harmonisasi dalam beragama dan berbangsa.

Irma Yuliani, M.E
Irma Yuliani, M.E
Dosen dan Staf Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Ponorogo

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru