Harakatuna.com – Saat Hamas menggempur Israel dengan ribuan rudalnya, beberapa waktu lalu, banyak kalangan umat Islam yang menyerukan keberanian sang tentara Islam dalam melawan kafir Yahudi. Mereka menyanjung Hamas tidak saja sebagai benteng Palestina, melainkan juga benteng terakhir agama Islam dan tegaknya khilafah kontemporer. Bahkan, Hizbut Tahrir menggelar konferensi sebagai langkah konsolidasi para juru bicara di berbagai negara. Ismail Yusanto, jubir HT Indonesia, juga tampil di situ.
Hari ini, ketika Afghanistan tengah bergejolak, heroisasi tersebut kembali terjadi. Pemantiknya adalah kembali berkuasanya Taliban di Afghanistan, serta larinya Amerika Serikat setelah dua dasawarsa berperang di sana, menghabiskan 2 trilun dolar atau sekitar 30.000 kuadriliun rupiah. Umat Islam terutama di Indonesia, mulai bercita-cita mengooptasi spirit mujahidin Hamas di Palestina dan Taliban di Afghanistan. Jemaah Islamiyah (JI) kemudian menjadi sorotan.
Penting digarisbawahi bahwa, sebenarnya kalau mau mengantisipasi secara ekstensif, JI bukan satu-satunya ancaman yang harus di-highlight. Semangat menegakkan khilafah bukan hanya digelorakan JI, melainkan juga afiliasi Ikhwanul Muslimin, HTI, dan Salafi. JI sendiri memang merupakan harakah siyasah Salafi, tetapi dalam operasionalnya ia mungkin sudah lemah, meski tetap sebagai ancaman. Maka, intinya, antisipasi harus dilakukan merata.
Palestina dan Afghanistan menjadi jangkar khilafah kontemporer, dalam arti menjadi penambat narasi khilafah bahkan mengeskalasinya ke tataran yang lebih mengancam: terorisme. Sebagaimana Hamas yang militan membela Palestina dan Taliban yang guguh memusnahkan AS dan sistem pemerintahan kafirnya hingga berdiri The Islamic Emirate of Afghanistan, Indonesia akan disikapi serupa. Apa yang mereka anggap thaghut, ideologi kafir, Pancasila misalnya, akan digempur habis-habisan.
Karenanya, ini perlu menjadi perhatian serius pemerintah dalam menanggulangi terorisme. Radikalisme, sebagai akar teror, mungkin akan kembali masif bergerak karena teladan mereka sudah mencapai kemenangan, lalu para radikalis tanah air merasa hanya perlu lebih gigih lagi. Ditambah lagi narasi akhir zaman, nubuat bahwa Islam akan menang, kompleks sudah. Palestina dan Afghanistan menjadi pemantik, bahkan andai pun mereka tidak mengklaim sebagai khilafah kontemporer.
Apa Itu Khilafah Kontemporer?
Ada beberapa pejuang khilafah di Indonesia yang gerakannya tidak sama, meskipun tujuannya sama yaitu menegakkan pemerintahan Islam, khilafah islamiyah. Seperti yang disinggung sebelumnya, HTI, Ikhwanul Muslimin, dan Salafi adalah garis besar yang dalam narasinya, jika ditinjau dari teori gerakan sosial, menggunakan teori mobilisasi sumberdaya (resource mobilization theory).
Teori tersebut banyak diuraikan oleh Donatella Della (1999: 1-9) dan Sidney Tarrow (1998: 1-3). Della menjelaskan bahwa mobilisasi tidak lagi sebagai ekspresi ekstremitas, kekerasan dan kekecewaan, melainkan bermain di wilayan rasional strategis. Sementara itu Tarrow mengistilahkannya sebagai politik penentangan (contentious politics) yang merupakan orientasi narasi kolektif berdasarkan tujuan bersama dan solidaritas sosial juga indoktrinasi keagamaan.
Dari situlah khilafah kontemporer menemukan momentumnya. Mereka para pejuang, lepas dari berbagai latar belakang kelompok, memiliki keseragaman legitimasi sosial-politik-keagamaan yang merespons realitas serupa di tataran status quo. Maka salah jika ada yang mengira bahwa narasi khilafah kontemporer tidak menemukan relevansi dengan NKRI, sebab realitas politik NKRI sendiri memantiknya.
Ketidakadilan, ketimpangan ekonomi, ketercerabutan kesejahteraan adalah sedikit dari sekian bahan untuk memacu-rombak kesadaran kolektif bahwa Indonesia harus segera mengganti sistem pemerintahannya. Khilafah kontemporer tidak lagi mempan dikonter menggunakan nas keagamaan, sebab dasar mereka lebih kuat barangkali. Mobilisasi ke arah khilafah hanya menginginkan satu hal: kesejahteraan yang dirindukan.
Cukuplah Palestina dan Afghanistan sebagai contoh aktual, dan cukuplah respons umat Islam dalam peta politik elektoral mereka di Indonesia sebagai fakta lapangan bahwa khilafah kontemporer adalah “cita pemerintahan Islam yang menjanjikan kemakmuran dan kesejahteraan”, di samping sebagai cita merealisasikan nubuat akhir zaman. Taliban itu, sejujurnya, sama dengan Laskar Jihad kalau di Indonesia.
Pada saat yang sama, lepas dari gejolak politik Islam transnasional, menjaga NKRI merupakan keniscayaan tanpa tawar. Karena itu, mengonter narasi khilafah butuh penyegaran, tidak sekadar fokus dalam hal pengentasan ideologi, melainkan peneguhan komitmen kebangsaan sekaligus pembenahan terhadap problematika nasional itu sendiri. Pemerintah, sebagai pengelola, ada dalam pantauan mereka. Semua harus menyadari itu.
Menjaga Diri dan NKRI
Ini adalah tawaran saya, bahwa menanggulangi narasi khilafah kontemporer sebagai residu konflik Palestina dan Afghanistan tidak boleh fokus pada satu organisasi di satu sisi, JI sebagai contoh, juga tidak dengan cara mematahkan argumentasi kekhilafahan semata di sisi lainnya. Para aktivis khilafah, mulai dari dedengkot sampai para pengikut, sudah kenyang dengan argumentasi mainstream.
Misalnya, dinarasikan bahwa khilafah bukan bagian dari syariat dan bahwa khilafah bukan ajaran Islam. Strategi seperti itu sudah lembek, impoten, tidak berdaya, dan tidak lagi keramat. Semua orang sudah sering mendengar kalimat semacam itu dan responsnya sangat mencengangkan. Setelah diselidiki, ternyata akar masalahnya terletak pada realitas cum strategi kontra-narasi itu sendiri.
Artinya, dalam struktur politik nasional sendiri, hari ini, meminjam bahasa Tarrow (1998: 19), ada yang disebut sebagai struktur peluang politis (political opportunity structure) yang kemudian memantik siklus penentangan (cycles of contention) dan pembingkaian (framing). Rezim pemerintah dianggap gagal menyejahterakan bangsa, lalu disebarkan narasi destruktif dari berbagai aspek, kemudian perombakan dibingkai sebagai solusi.
Ke depan, jika Taliban benar-benar berubah, dan menjalankan pemerintahan birokratis dan berdaulat, jangkarnya terhadap wacana khilafah kontemporer mungkin akan semakin meluas. Jika yang demikian menjadi nyata, indoktrinasi niscaya tidak akan terbendung dan integritas NKRI mungkin juga akan terganggu. Dalam masalah ini, tidak bisa lagi ada anggapan bahwa NKRI kuat karena sekalipun iya, pengeroposan tetap terjadi dan tidak bisa disepelekan.
Beberapa waktu lalu, bendera Palestina berkibar di sejumlah daerah. Itu bukti konkret dari masalah yang sedang bangsa ini hadapi. JI juga bereuforia pasca Taliban menduduki pemerintahan Afghanistan. Penambatan jangkar khilafah kontemporer itu sungguh dekat dan mengancam, Indonesia sudah dan akan merasakan pengaruhnya yang sangat signifikan. Maka, menjaga diri dan NKRI adalah mutlak suatu kewajiban. Bagaimana caranya? Panjang.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…