31.2 C
Jakarta

“Orang Islam Suka Membunuh”: Kisah Seorang Pendeta dalam Konflik Ambon

Artikel Trending

KhazanahTelaah“Orang Islam Suka Membunuh”: Kisah Seorang Pendeta dalam Konflik Ambon
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com-Pertemuan saya dengan Mike Makahenggang, adalah bagian dari hidup yang tidak pernah saya bayangkan. Sebab ia merupakan korban dari konflik Ambon yang menyebabkan banyak darah berjatuhan. Bagaimana kisah hidupnya?

Beberapa hari lalu, saya mengikuti workshop moderasi beragama yang diadakan oleh Jaringan Gusdurian. Tidak tanggung-tanggung, bagi saya materi yang disampaikan begitu banyak memberikan insight dalam pemikiran, serta menjadi refleksi saya dalam menjalani kehidupan.

Kehadiran forum tersebut mengajarkan belajar hal, mulai dari tangga penyimpulan, proses N dan proses U, iceberg analysis, moderasi beragama, hingga konstitusi beragama. Tidak hanya itu, saya belajar juga bagaimana konflik agama yang selama ini terjadi, memiliki tempat tertinggi dalam konflik sosial.

Pada acara itu pula, saya bertemu dengan banyak orang yang berasal dari latar belakang agama, mulai dari Hindu, Budha, Konghucu, Katholik, Protestan, serta penghayat. Menariknya, saya bertemu dengan Vik.(Vikaris: calon pendeta) Myke Makahenggang. Perempuan yang berasal dari agama Kristen Protestan, Maluku Utara, Kabupaten Halmahera Utara, yang kemudian memilih untuk menjadi pendeta.

Konflik agama adalah masalah

Keinginan menjadi pendeta sudah tertanam sejak kecil bagi Mike. 21 April mendatang, ia akan menjalani proses penahbisan. Upacara tersebut merupakan rangkaian kegiatan yang diikuti oleh seseorang dalam pengutusan dirinya. Secara sederhana, dalam agama Kristen, setelah seseorang sudah mengikuti penasbihan, maka ia sudah memiliki tugas dan tanggung jawab untuk melayani umat.

Perjalanan lain yang dialami oleh Mike yakni, hijrah ke Yogyakarta untuk mengenyam pendidikan, kemudian pada tahun 2017,  menjadi pengajar di UKDW Yogyakarta.

Adalah sebuah catatan hitam yang pernah dialami dalam hidupnya ketika menyaksikan pamannya, orang terdekatnya dibunuh oleh kelompok muslim pada tahun 1999 silam. Konflik Ambon menyisakan kisah buruk dalam ingatannya. Konflik yang terjadi akibat ketidakstabilan ekonomi pasca lengsernya Soeharto, kemudian masalah semakin runcing dengan melebar pada konflik kelompok agama Islam dan Kristen, akhirnya menyebabkan banyak korban berjatuhan.

“Saya melihat bagaimana kekejaman orang Islam kepada paman saya. Mereka menyiksa dan membunuh. Bayangkan saja, anak umur 9 tahun pada waktu itu melihat konflik pembunuhan, dan saya sangat terpukul sekali,” ungkap Mike sambil membayangkan kejadian silam.

BACA JUGA  Mom War dan Fenomena Penyerangan Aktivis Khilafah Kepada Perempuan

Atas dasar konflik itu, kita pahami bahwa, konflik kekerasan atas nama agama selalu menjadi topik yang sangat riskan dalam kehidupan masyarakat. Hal itu pula yang diungkapkan oleh Jonathan Haidt dalam bukunya, “The Righteous Mind:Mengapa Orang-Orang Baik Terpecah Karena Politik dan Agama”, menjelaskan bahwa ada beberapa landasan moral yang menyebabkan hal itu terjadi, diantaranya:

landasan mengayomi/membahayakan, landasan ketidakcurangan/kecurangan, landasan kesetiaan/pengkhianatan, landasan kewenangan/pembangkangan, landasan kesakralan/penodaan, landasan kemerdekaan/penindasa. Beberapa landasan tersebut, menjadi penyebab dan pilihan, mengapa orang-orang yang beragama, merepresentasikan agama sebagai alat untuk saling membunuh satu sama lain, khususnya pada saat konflik yang berhubungan dengan agama.

Berdamai dengan diri sendiri adalah jalan terbaik

Pendeta Mike adalah salah satu dari korban dari keganasan konflik Ambon yang akan menjadi cerita dan kenangan buruk. Beruntungnya, kisah tersebut tidak membuatnya dendam, bahkan sebaliknya.  Proses pemulihan yang dilakukan oleh dirinya  adalah berdamai dengan segala hal yang menjadi ketentuan Tuhan.

“Saya menyebutnya kejadian masa kecil bukanlah trauma, tapi takut. Kemudian saya ambil studi s1 dan s2 perdamaian di UKDW (Universitas Kristen Duta Wacana) Yogyakarta,” Ungkap Myke.

Mike selalu menanamkan mindset seperti apa yang sudah disampaikan oleh orang tuanya, yakni: manusia tidak punya hak untuk membenci sesame manusia, apapun yang terjadi. Kalimat tersebut yang selalu menjadi pegangan hidup Mike dalam menjalankan relasi dengan sesama manusia.

Lagi pula, ajaran cinta kasih yang dipegangnya dari Tuhan Yesus, juga menjadi pegangan Mike dalam setiap sudut kehidupan.

“Puji Tuhan saya selalu didekatkan dengan hal-hal baik, kegiatan-kegiatan yang bermanfaat, apalagi ditambah dengan dialog lintas iman yang selalu saya ikuti, menjadi salah satu insight yang menambah hal-hal positif dalam kehidupan. Saya berpikir bahwa dalam kehidupan ini kita hanya perlu menyelam lebih dalam. Mencari makna kehidupan lebih jauh, hingga akhirnya kita menemukan bahwa, berdamai dengan diri sendiri adalah solusi yang mendamaikan hati dan pikirkan,” Pungkas Mike.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru