28.4 C
Jakarta

NU-Muhammadiyah, Penumpang Gelap, dan Kelestarian Radikalisme

Artikel Trending

Milenial IslamNU-Muhammadiyah, Penumpang Gelap, dan Kelestarian Radikalisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Mari memikirkan satu hal penting yang, barangkali, akan mengubah pandangan kita mengenai radikalisme: dari puluhan juta umat Islam yang tergabung dengan NU-Muhammadiyah, apakah kesemuanya memiliki iktikad yang baik? Mungkin sementara kita akan menjawab: iya, mereka ingin menjadi Nahdliyin, jadi jemaah Kiai Ahmad Dahlan, ingin menjaga bangsa, dan semacamnya. Adakah kecurigaan, dalam diri kita, bahwa sementara lainnya hanya penumpang gelap?

Sepatutnya, jika kita tahu bahwa bagi para kiai sepuh, NU adalah tarekat; jalan keberagamaan mereka, bahwa kalangan elite justru menjadikannya tempat karir memperoleh jabatan pemerintahan, kita juga harus tahu bahwa beberapa di antaranya justru menjadikan ormas tersebut tameng belaka. Orang-orang yang secara ideologis adalah pengikut JI, JAD, JAT, bahkan HTI dan FPI, seringkali juga aktif—secara sembunyi-sembunyi—di NU dan Muhammadiyah.

Penumpang gelap semacam itu akan menjadikan radikalisme-ekstremisme-terorisme lestari. Apakah NU-Muhammadiyah laik bertanggung jawab? Satu sisi iya karena musababnya adalah dinamika politik dalam diri mereka sendiri. Namun, di sisi lain, kita perlu menyadari bahwa itu sengaja para radikalis manfaatkan. Dalam konteks tanggung jawab, NU terutama, harus kembali ke khitah sebagai ormas keislaman dan keumatan, ketimbang fokus dalam kancah perpolitikan.

Tetapi dalam konteks kesadaran kita akan taktik penyebaran radikalisme melaui tradisi menumpang gelap di ormas, jihad ke arah iklim profetik Islam harus tergalakkan. Prof Abdul Munir Mulkhan (2021) mengatakan, bahwa humanisasi syariah, re-ijtihad melalui hadirnya tokoh karismatik yang menyejukkan dan mengayomi umat, berkarakter profetik, akan mencegah radikalisme. Itu lantaran, menurut guru besar di UIN Sunan Kalijaga tersebut, kita tengah krisis teladan.

Radikalisme sebagai Pelarian

Di sini radikalisme orientasinya adalah anti-pemerintahan dan mengandung bibit bughat. HTI memiliki narasi Khilafah Tahririyah yang ujung-ujungnya ialah provokasi masyarakat dengan pemerintah. FPI memiliki narasi amar makruf nahi mungkar yang menjadikan Islam berimej keras menakutkan. Ikhwani, yang di Indonesia menjelma menjadi rohis, tarbiyah lalu PKS, memiliki narasi Islam politik kontra-nasionalisme. Dan Wahhabi dengan narasi kembali ke Al-Qur’an-hadis melahirkan eksklusivisme.

Antipati terhadap pemerintah tersebut kelak akan mengarah kepada bughat. Kendati, dalam konteksnya, ada yang sebatas naratif, dan ada pula yang hingga taraf teror. NU-Muhammadiyah dengan narasi kebangsaannya yang ‘moderat’ akan menjadi sia-sia jika tetap dengan nuansa elitisnya, meminjam bahasa Prof Mulkhan. Atau dalam bahasa  Prof Azyumardi Azra (2021), krisis keadilan sosial menjadi latar belakang sebagian kalangan menjadikan radikalisme sebagai pelarian.

Penumpang gelap ormas NU dan Muhammadiyah selaiknya juga membuat kita memahami suatu fakta, bahwa ciri fisik dan kultur tidak lagi relevan direpresentasikan sebagai radikal. Kultur sarungan tidak lagi identik sebagai tradisi kaum moderat, juga demikian celana cingkrang tidak lagi identik radikal. Bisa jadi mereka menumpang kultur tertentu untuk mengaburkan identitas ideologisnya. Begitu pula strategi pemberantasan radikalisme, berlatar ini, tertuntut untuk juga dinamis.

BACA JUGA  Kelucuan Pengedar Khilafah dalam Menanggapi Perbedaan Awal Bulan Puasa

Penumpang gelap dalam tubuh NU dan Muhammadiyah menjadi PR bagi kedua ormas itu sendiri. Mereka yang lari dari kultur moderat ke radikal karena alasan tertentu yang tidak genuine, terbuka atau tidak identitas personalnya, merupakan masalah serius. Pada konteks keniscayaan memberantas radikalisme, itu akan menjadi penghalang efektivitas. Maka, yang harus diupayakan ialah mencegah warga NU-Muhammadiyah dari lari ke radikalisme lantaran kekecewaan tadi.

Jihad Islam Profetik

Kita berada di era perang pemikiran (ghazwah al-fikr), dalam arti perang antarideologi. Di satu sisi, kecemburuan atas hegemoni Barat hari-hari ini semakin mengalami eskalasi. Pada sisi yang lain, terjadi polarisasi kaum radikalis setelah secara politik mereka kalah dengan penguasa—yang notabene mereka pada memusuhinya. Sementara pemberantasan radikalisme berjalan, secar eksistensial ia masih lestari. Pada momentum itulah, jihad Islam profetik menjadi tawaran.

Jihad Islam profetik erat kaitannya dengan ormas moderat, dalam hal ini NU dan Muhammadiyah. Faktanya, masyarakat butuh tokoh yang bisa mereka jadikan teladan, yang menghindarkan mereka dari keterjerumusan menjadi radikal. Karakteristik kenabian yang mengedepankan kepentingan umat, misalnya, harus ada. Sebab, jika semua tokoh concern di bidang politik dan pemerintahan, dan itu saja yang menjadi urusan prioritas, bukan mustahil jemaah mereka akan menjadi penumpang gelap.

Dalam penerapannya, jihad Islam profetik juga setali tiga uang dengan membumikan moderasi beragama. Jadi, di sini penting dipahami bahwa pada konteks penumpang gelap dalam NU-Muhammadiyah, pembenahan tidak sekadar pada ormas itu sendiri, melainkan juga pada narasi yang harus digalakkan. Seperti kaum radikalis yang kukuh dalam berjihad merongrong persatuan, kita, NU-Muhammadiyah, harus juga kukuh dalam berjihad menampilkan Islam ala Nabi.

Nabi juga berpolitik, bahkan menjadi pemimpin politik tertinggi di Madinah. Bukan masuk dunia politik yang harus kita hindarkan. NU-Muhammadiyah memang harus berada di garda terdepan posisi strategis, agar tugas menjaga bangsa menemukan kemudahannya. Tetapi, para penumpang gelap ormas tidak bisa dibiarkan, atau akan membuat radikalisme berlarut-larut. Masalahnya adalah jika aksinya berkembang menjadi terorisme, maka penanggulangannya semakin sukar dan kompleks.

Jadi intinya, radikalisme itu tidak sekadar terlatari indoktrinasi belaka. Faktor yang penting juga diperhatikan adalah persoalan individual-internal yang memaksa ia lari ke ranah radikalisme. NU dan Muhammadiyah harus selamat, sekaligus menyelamatkan lahirnya, penumpang gelap. Jihad Islam profetik, atau moderasi beragama, atau apa pun istilahnya, mesti bergerak secara masif dan kontinu. Tidak perlu pelembagaan, jika akhirnya menjadi formalitas. Karena jika begitu, radikalisme tetap tidak mempan. NU dan Muhammadiyah harus menyadari ini, demi satu tugas: menghalang kelestarian radikalisme.

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru