29.2 C
Jakarta

Negeri Zamrud Khatulistiwa dan Tantangan Radikalisme Agama

Artikel Trending

KhazanahOpiniNegeri Zamrud Khatulistiwa dan Tantangan Radikalisme Agama
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Siapa yang tak kenal dengan Indonesia. Negeri zamrud khatulistiwa yang kaya akan pesonanya. Panorama alam yang indah bak surga dunia. Maupun keberagaman budaya yang bukan lagi konon katanya. Indonesia adalah negeri multikultural dengan corak budaya yang beragam.

Berdasarkan sensus BPS tahun 2010, terdapat 1340 suku bangsa yang  menetap di Indonesia. Tentu dari jumlah yang tidak  sedikit tersebut pasti melahirkan kebudayaan yang bermacam-macam pula. Bayangkan saja jika satu suku bangsa memiliki tujuh kebudayaan, maka berapa kebudayaan yang ada di Indonesia?

Oh iya, selain itu Indonesia juga memiliki enam agama yang diresmikan negara. Mulai agama Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, hingga Konghuchu. Namun juga perlu kita ketahui pula bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang menganut kepercayaan lokal.

Mayoritas masyarakat Indonesia menganut agama Islam. Indonesia adalah Negara Muslim terbesar di mana sekitar 229 juta Muslim berada di sana. Artinya, sebanyak 87,2% dari populasi penduduk Indonesia menganut agama Islam.

Keberagaman budaya di Indonesia merupakan aset bangsa, namun di sisi lain dapat menjadi senjata perusak bagi integritas bangsa sendiri. Akhir-akhir ini, kasus intoleransi di Indonesia semakin hari semakin menjadi-jadi.

Dari sekian banyak unsur kemajemukan bangsa, agama memiliki potensi terbesar yang melatarbelakangi terjadinya intoleransi di Indonesia. Tidak hanya pada lintas agama, bahkan dalam satu agama pun hanya karena berbeda aliran juga bisa memicu terjadinya intoleran.

Saat pandemi kemarin, negara Indonesia kembali dikejutkan dengan adanya kasus memilukan di Solo. Sekelompok orang melakukan aksi anarkis terhadap keluarga As-Segaf bin Jufri yang sedang menyelenggarakan acara midodareni menjelang pernikahan.

Tentu hal ini menambah catatan kelam bagi bangsa Indonesia yang seharusnya menjunjung tinggi nilai kebhinekaan. Agama Islam yang merupakan agama dengan jumlah pengikut terbanyak di Indonesia kini terpecah menjadi beberapa ideologi.

Munculnya aliran Islam radikal atau garis keras yang dikit-dikit berteriak jihad, membid’ahkan sana-sini seperti ingin menang sendiri dan sangat getol dalam mengusung paham khilafah “yang katanya” demi menjaga kemurnian agama Islam justru malah memperburuk citra Islam itu sendiri. Agama Islam pun terkesan kasar dan kejam.

BACA JUGA  Pemilu 2024: Stop Sikap Ekstremisme di Ruang Digital!

Padahal, jika diselami lebih dalam lagi, Islam adalah agama yang rahmah, ramah, dan tidak suka marah-marah. Oleh karena itu, diperlukan tindakan lebih lanjut supaya tercipta harmonisasi di tengah keberagaman masyarakat.

Pemerintah sebagai pemegang kendali bangsa juga telah ikut serta dalam penanganan kasus intoleransi di Indonesia. Untuk mengatasi kasus intoleransi, Presiden Joko Widodo sempat melakukan diskusi bersama pakar Antropolog di Istana Negara. Dari diskusi tersebut membuahkan hasil bahwa untuk meredam kasus intoleran dapat dimulai dari dunia pendidikan, ekonomi, dan hukum.

Di ranah pendidikan, pemerintah tengah menyiapkan unit kerja pemantapan ideologi pancasila guna menguatkan kembali semangat kebhinekaan. Dalam dunia perekonomian, pemerintah berusaha merancang konsep ekonomi yang dapat mengurangi kesenjangan sosial sehingga tercipta pemerataan demi kemakmuran masyarakat.

Sedangkan di bidang hukum, pemerintah akan bertindak lebih tegas lagi terhadap pelaku intoleran dan menghukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Meskipun begitu, kasus intoleransi masih saja terjadi di Indonesia. Dengan demikian problematika tersebut tidak boleh diabaikan oleh pemerintah karena dapat mengancam integritas bangsa.

Sebenarnya untuk mengatasi kasus intoleransi, harus dicari akar permasalahannya. “Kemajemukan harus bisa diterima, tanpa ada perbedaan”. Begitulah Gus Dur menerangkan. Jika dicermati lebih dalam lagi, Beliau, sang bapak pluralisme telah memberikan nasihat kepada penerus bangsa supaya menyikapi kemajemukan dengan bijaksana.

Tidak melihat kemajemukan sebagai sebuah perbedaan. Sebentar-sebentar, bukankah kemajemukan itu ada karena terdiri dari unsur yang berbeda-beda? Iya benar, namun jangan dianggap sebagai perbedaan.

Pandanglah kemajemukan itu sebagai anugerah terindah dari sang Pencipta. Pelangi saja terlihat indah karena beragam warnanya. Bayangkan jika hanya ada satu warna. Tentu tidak menarik bukan?

Pada dasarnya, permusuhan terjadi karena adanya pola pikir yang salah mengenai suatu perbedaan. Sifat egois, etnosentrisme, maupun fanatisme yang berlebihan adalah pemicu terjadinya kesalahan berpikir. Tidak jarang muncul kelompok yang sering menyalahkan kelompok lain dan menganggap kelompoknya paling benar.

Maka sudah saatnya generasi muda bangkit dari zona nyaman. Memperkuat benteng pertahanan supaya tak mudah diserang lawan. Berwawasan luas saat menghadapi hal yang terlihat kontras. Berpikir kritis meski dilanda krisis.

Muhammad Nasruddin
Muhammad Nasruddin
Penuli lepas asal Wonogiri. Dapat disapa melalui akun Instagram @kang_udin30.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru