27.6 C
Jakarta

Mungkin Ridho Kurang Piknik Intelektual: Tanggapan atas Tulisan Muhammad Izul Ridho

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanMungkin Ridho Kurang Piknik Intelektual: Tanggapan atas Tulisan Muhammad Izul Ridho
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Beberapa hari yang lalu saya pernah mengkritik pesantren salaf dalam sebuah tulisan yang berjudul “Pesantren Salaf Tersandera Paham Radikal?” Selang tulisan itu naik di media, tak lama muncul sebuah kritik yang ditulis oleh Muhammad Izul Ridho.

Jujur saya belum mengenal siapa Muhammad Izul Ridho itu. Dalam bio penulis Harakatuna.com tertera, Muhammad Izul Ridho adalah alumni Institut Agama Islam (IAI) Al-Khairat Pamekasan dan pengajar di Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata.

Sebelum melangkah lebih jauh menjawab kritik tulisan Ridho, saya pikir, kepribadian Ridho bisa jadi kurang piknik. Ridho melihat Islam sebatas di Madura. Sehingga, Ridho berkesimpulan kebenaran Islam sebatas apa yang ia tahu saja atau yang ia dapatkan dari guru-gurunya.

Saya berasumsi begitu, karena saya melihat latar belakang pendidikan Ridho tersebut. Seandainya Ridho melebarkan sayap sedikit saja mengikuti teman-temannya ke sebuah ibu kota, pasti Ridho akan merasakan bagaimana pesantren salaf terlihat sangat fanatik dalam memandang Islam. Ridho pasti juga punya kesimpulan, pesantren salaf hanyalah kaya literatur, tapi miskin teori, sehingga ilmu yang didapatkan hanyalah sebatas apa yang dihidangkan, bukan apa yang dihasilkan dari karya sendiri.

Pertanyaannya, salahkah mengkonsumsi pengetahuan yang dihidangkan oleh ulama salaf? Tidak salamanya salah jika orang yang mengkonsumsi tidak “taken for granted” alias menerima apa adanya, kalau dalam istilah akademik, “tidak taklid buta”. Salah satu (itu pun sangat sedikit) dari sekian santri salaf Gus Baha yang selamat dari fanatisme agama. Karena, Gus Baha menerima ilmu dengan sikap yang kritis, bukan ditelan begitu saja.

Menelan pengetahuan begitu saja, seperti yang dilakukan santri salaf pada umumnya, adalah langkah yang keliru. Karena, langkah ini akan mengantarkan seseorang menjadi radikal atau gampang berpikir tertutup dan melakukan tindakan kekerasan. Biasanya santri yang semacam ini sering terjebak pada “zona nyaman” kelompok radikal dan ujung-ujungnya tersungkur dalam kubangan terorisme.

Santri salaf yang fanatik dan terjebak dalam kubangan terorisme–seperti yang disebutkan oleh Saiful Bari, komentator tulisan saya dan Ridho dengan sikap yang bijak dan pikiran yang terbuka–meliputi pelaku Bom Bali 2002 Amrozi berasal dari Pesantren Al-Islam, Tenggulun, Lamongan; dua tersangka teroris Solo yang ditembak mati tahun 2012, Farhan Mujahid dan Muchsin Tsani, jebolan Pesantren Ngruki, Solo.

BACA JUGA  Dua Hal Penting Biar Kita Layak Jadi Warga Indonesia

Melihat kenyataan beberapa jajaran santri salaf yang tersandera kasus terorisme tersebut, mungkin Ridho mulai sadar bahwa pesantren salaf tidak menjamin seseorang menjadi waratsah al-anbiya’, penerus para nabi yang mampu membumikan Islam yang ramah dan moderat.

Terkait pesantren salaf juga mengajarkan Ilmu Mantiq (Ilmu Logika) seperti yang disebutkan oleh Ridho dalam tulisannya, tidak dapat dijadikan tolak ukur pesantren salaf itu menjadi institusi yang moderat. Ilmu Logika memang tangga untuk belajar filsafat, tapi jika tangga ini digunakan pada sesuatu yang tidak baik akan mengantarkan seseorang menjadi pribadi yang radikal, baik secara cara berpikir maupun secara perbuatan. Bahan ajar yang dapat mengantarkan seseorang menjadi arif adalah materi kebangsaan (nasionalisme).

Saya yakin, pesantren salaf belum pernah mengajarkan nilai-nilai kebangsaan, sehingga dengan pendidikan ini santri akan diarahkan mengerti pentingnya berbangsa dan bernegara. Santri salaf hanya paham cara melakukan shalat dan zakat, tapi belum paham cara bertoleransi dengan sesama, lebih-lebih yang berbeda agama. Sehingga, Islam santri salaf hanyalah Islam yang fanatik. Sikap fanatik ini akan mengantarkan seseorang menjadi tertutup. Pikiran yang tertutup akan membentuk sikap yang ekstrem (keras). Dan, sikap yang ekstrem ini akan menjelma menjadi aksi-aksi terorisme. Ngeri!

Perlu Ridho tahu, Islam itu bukan bentuk seperti yang dipahami santri salaf, tapi nilai persis yang dipahami Quraish Shihab dan beberapa tokoh muslim yang lain. Islam sebatas bentuk akan mengantarkan seseorang terjebak pada sikap yang kaku, semisal muslim yang baik harus bersorban dan sarungan dan muslimah yang shalehah harus pakai jilbab. Padahal, Islam dipahami dengan nilai, bukan melihat bentuk pakaian, tapi melihat nilai yang diperjuangkan. Nilai-nilai yang penting diperjuangkan adalah perdamaian, keadilan, dan persatuan.

Sebagai penutup, Ridho tidak perlu gigit jari selepas baca tulisan ini, apalagi bermuka kusut dan merah karena marah. Otak direspon dengan “otak”, bukan dengan “otot”. Karena ini tulisan, sangat ditunggu jawabannya dalam bentuk tulisan juga seperti yang pernah dilakukan oleh dua tokoh ternama: Imam Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd.[] Shallallah ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru