27.3 C
Jakarta

Muktamar Muhammadiyah ke-48; Ekspresikan Inklusifitas untuk Persatuan Indonesia

Artikel Trending

KhazanahTelaahMuktamar Muhammadiyah ke-48; Ekspresikan Inklusifitas untuk Persatuan Indonesia
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com- Muktamar Muhammadiyah yang ke-48 resmi digelar pada 18-20 November 2022. Tahun ini Muhammadiyah mengusung tema ‘Memajukan Indonesia, Mencerahkan Semesta’. Sedangkan Muktamar Aisyiyah bertemakan ‘Perempuan Berkemajuan Mencerahan Peradaban Bangsa’. Diawali dengan kegiatan Pra Muktamar pada tanggal 18 kemarin, selanjutnya pada tanggal 19, Presiden RI, Joko Widodo, dijadwalkan akan membuka Muktamar di Stadion Manahan Solo. Kegiatan ini merupakan agenda 5 tahunan yang dilakukan oleh Muhammadiyah sebagai upaya regerenasi kepengurusan, serta berkumpul dan berbincang kerja-kerja kemanusiaan yang sudah dilakukan.

Melihat perhelatan akbar ini, kita justru mengetahui ada banyak sekali yang ditampilkan oleh Muhammadiyah untuk mendukung kemajuan bangsa Indonesia. Dalam bidang pendidikan, misalnya. Organisasi yang berdiri sejak tahun 1912 oleh KH. Ahmad Dahlan (Muhammad Darwis), sampai hari ini memiliki ribuan Lembaga pendidikan. Dilansir dari suaramuhammadiyah.id, jika ditotal seluruh sekolah yang sudah dibangun Muhammadiyah mulai dari TK Sampai Universitas sebanyak 8.676 sekolah. Jumlah ini berdasarkan rincian, TK (Taman Kanak-kanak) dan TPQ (Taman Pendidikan Al-Quran mencapai 4623, sekolah dasar (SD) 1094, sekolah menengah pertama (SMP) 1128, sekolah menengah atas (SMA) 558, sekolah menengah kejuruan (SMK) 554, dan perguruan tinggi sebanyak 174 lembaga.

Data ini menunjukkan bahwa, kerja-kerja sosial Muhammadiyah untuk memajukan peradaban melalui pendidikan perlu kita apresiasi sangat besar. Sebab tanpa melihat golongan, semua kelompok masyarakat, merasakan betul adanya Lembaga pendidikan yang didirikan Muhammadiyah, seperti yang disampaikan oleh Prof. Abdul Mu’ti, sekretaris PP Muhammadiyah dalam sebuah video talkshow dengan Narasi TV bersama Najwa Shihab, yang memperlihatkan hubungan persaudaraan antara NU-Muhammadiyah dengan kalimat, “Saya kira mahasiswa UMS (Universitas Muhammadiyah Surakarta) kebanyakan dari NU,” lalu dijawab oleh KH. Zulfa Mustofa, wakil ketua umum PBNU, “Karena saling sayang, saling support, maka NU ikhlas kader-kadernya kuliah di UMS.”

Menurut penulis, pembicaraan di atas menunjukkan bahwa, kebermanfaatan Muhammadiyah secara sosial, bisa dirasakan oleh semua kelompok tidak terkecuali. Hal ini karena Lembaga pendidikan milik Muhammadiyah sudah berdiri sejak lama dan menjadi bagian penting dari sejarah berdirinya bangsa Indonesia.

Inklusifitas dalam Muktamar Muhammadiyah

Hal menarik dalam Muktamar ke-48 ini, adalah keterlibatan Gereja Kristen Jawa (GKJ) Manahan di Kecamatan Banjar sari, Kota Solo. Pendeta GKJ Manahan Retno Suryaning menjelaskan bahwa pada 19 November 2022, pihaknya akan berkoordinasi dengan panitia Muktamar untuk menyediakan tempat fasilitas transit Komenado kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah (KOKAM). Pemandangan semacam ini adalah bukti kerukunan umat beragama tercipta dari perhelatan akbar ini.

BACA JUGA  Feminis Leadership: Melihat Keberhasilan Pemimpin Perempuan dalam Pencegahan Radikalisme

Hubungan Muhammadiyah dengan non-muslim sudah lama ditampilkan dengan sangat ciamik dan menunjukkan bahwa semua bisa menyatu untuk membangun peradaban Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari film Unfinished Indonesia yang menuai kritikan oleh banyak aspek karena mengandung unsur kampanye khilafah. Namun, bukan itu yang ingin dibahas oleh penulis. Akan tetapi, lokasi Maumere, ibu kota kabupaten Sikka, Nusa Tenggara timur yang ditampilkan dalam film tersebut. Jumlah muslim di Maumere sangat kecil, namun kehadiran Abah Rosyid dalam film tersebut beserta para tokoh Muhammadiyah yang mendidikan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Muhammadiyah Maumere, dilandasari dengan pengalaman toleransi yang sudah mengakar dari berbagai pihak.

Abah Rosyid bercerita bahwa, keberhasilan mendirikan Lembaga tersebut tidak bisa dilepaskan dari dukungan masyarakat Kristen di Maumere. Upaya membangun relasi yang dilakukan oleh tokoh Muhammadiyah di berbagai tempat, sekalipun di tempat tersebut menjadi minoritas. Hubungan tersebut juga menjadi cerminan, sinergitas lintas agama menjadi pondasi konsep berpikir Abah Rosyid untuk menciptakan lingkungan yang inklusif.

Tidak hanya berhenti pada pendirikan IKIP, komposisi elemen pendidikan tinggi yang ada di dalamnya terdiri dari lintas agama, tidak hanya dalam konteks mahasiswa, akan tetapi juga dosen-dosen yang mengajar di dalamnya juga ada yang beragama Kristen. Sosok Abah Rosyid adalah tokoh yang mengimplementasikan konsep ta’awun yaitu anjuran untuk bekerja sama dan tolong menolong dalam kebaikan untuk menjunjung nilai toleransi yang dimiliki oleh Muhammadiyah. Frame yang ditampilkan oleh Abah Rosyid menjadi bukti kuat tentang komitmen Muhammadiyah untuk membangun peradaban bangsa yang berkemajuan. Kebermanfaatan yang diberikan melalui bidang pendidikan, tidak hanya kepada satu pihak, akan tetapi seluruh elemen bangsa Indonesia agar memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan. Wallahu a’lam

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru