30 C
Jakarta

Muhammad Kace sebagai Catatan Hitam Intoleransi yang Harus Dibunuh

Artikel Trending

Milenial IslamMuhammad Kace sebagai Catatan Hitam Intoleransi yang Harus Dibunuh
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Bagi kita yang pernah membaca novel Satanic Verses karya Salman Rushdie, polemik Muhammad Kace yang tengah viral hari ini tidak ada apa-apanya. Rushdie yang dianggap menghina Islam karena novelnya juga divonis murtad dan halal darahnya. Respons keras Ayatollah Khomeini terhadap Rushdie mirip dengan respons kita terhadap kasus intoleransi Kace. Kasus-kasus seperti itu sebenarnya bisa ditarik pada satu fenomena; catatan hitam intoleransi.

Muhammad Kace, dengan peci hitam berlambang Garuda, adalah orang yang defisit pengetahuan—kalau tidak goblok bersusun. Jangan ditanya, sebagai contoh, apakah ia sudah membaca buku Muhammad karya Karen Armastrong. Dalam sebuah konten yang mendiskreditkan kitab kuning saja, ia mengelak ketika diminta membacanya. Kritiknya terhadap literatur salaf tersebut malah mirip kritik Salafi, yakni kritik karena kebencian belaka.

Kritik berdasarkan kebencian sering kali terjadi karena kebodohan. Seperti Kace yang menistakan Islam, kasus serupa sebenarnya juga kerap dilakukan Yahya Waloni yang mendiskreditkan Kristen. Baik Waloni maupun Kace adalah dua sosok amoral yang ironisnya, banyak ditonton—padahal sudah jelas keduanya menarasikan intoleransi dan kebencian di ranah yang sensitif: agama. Jadi jujur saja siapa yang naif, Kace dan Waloni atau justru penontonnya yang ikut meramaikan?

Kace mungkin sangat buruk, tetapi paling tidak ia menjadi pelajaran bagi kita bahwa kebebasan berpendapat tidak lantas menjustifikasi kebiadaban. Yang demikian harus dimusnahkan. Apakah Kace berarti mesti dibunuh? Tidak. Karena, meski ia dibunuh, dan Waloni juga dibunuh, warisan keduanya sudah ada di otak pengikutnya masing-masing. Bahkan bila saja keduanya mati, intoleransi akan terus berserakan, tidak ikut mati. Kalau begitu maka percuma.

Yang harus dibunuh dan diberantas adalah intoleransi itu sendiri, yang Kace dan Waloni hanyalah dua dari ratusan aktor pelaku. Ajaran primer (al-ushul) Islam sudah final bagi umat muslim. Begitu pula Kristen sudah sempurna bagi umat nasrani. Seperti Yahya Waloni, Muhammad Kace adalah sampah tak berguna yang bau amis. Waloni dan Kace adalah iblis yang terhadap negara kita—negara kesatuan yang menjunjung toleransi—keduanya menghina bangsa dengan mencederai kebebasan berbicara.

Residu Kebebasan

Di negeri ini, kebebasan berpendapat memang dijunjung tinggi. Namun penting dicatat, moralitas juga jauh lebih tinggi, melebihi tempramen keberagamaan kita sendiri. Akar semua masalah terletak pada keabsenan memahami realitas tersebut. Salafi-Wahabi yang bodoh soal tasawuf, bilang menyesatkan. Waloni yang punya dendam pribadi pada Kristen, agama lamanya, menjelek-jelekkan. Muhammad Kace juga demikian, menjelekkan Islam seperti hewan kerasukan.

Jaminan kebebasan berpendapat berekspresi berada di lingkup hak asasi. Tidak boleh melampauinya. Setiap warga negara memiliki hak untuk menyatakan pendapat, tetapi ia tidak boleh melukai hak asasi warga negara lainnya. Beragama merupakan bagian hak asasi, maka kebebasan berbicara tentang agama adalah sejauh mana ia merekatkan persatuan bangsa di satu sisi, dan tidak melakukai perasaan sesama umat beragama di sisi lainnya.

BACA JUGA  Stop Polarisasi! Rakyat Indonesia Mesti Bersatu

Jika tidak demikian, setiap umat beragama akan terjerumus ke dalam lubang intoleransi. Betapa banyak, misalnya, singgungan-ketersinggungan setiap hari jika komitmen Bhineka Tunggal Ika tersebut sudah mati. Intoleransi bersumber dari kekacauan doktrinal yang melegalisasi amoralitas. Muhammad Kace masuk dalam lubang hitam tersebut. Alih-alih merasa bersalah, ia akan dengan lantang melawan. Ia, sebagai contoh, melawan kritik MUI.

Kasus Kace merupakan residu kebebasan. Terlepas apakah ia ingin viral demi AdSense kanal YouTube miliknya atau apa, ia tetap tidak bisa dibenarkan. Aparat kepolisian harus segera bertindak agar tidak melahirkan polemik berkepanjangan. Lalu apakah umat Muslim dibenarkan bersikap reaktif? Sama sekali tidak. Sebab, balasan cemoohan adalah dua sisi yang berbeda dari uang logam. Amoralitas tidak bisa dibalas tindakan anarkis. Intoleransi, sekali lagi, musuh utama sebenarnya.

Muhammad Kace, di samping sebagai catatan hitam intoleransi, merupakan bukti riil ketidakdewasaan keberagamaan sebagian warga negara. Dari pihak Islam, ada oknum yang beragama dengan menghina yang berbeda. Dari kalangan Kristen juga demikian. Sentimen keagamaan memang memakan perdebatan yang panjang. Sebenarnya, Kace dan semua tokoh perusak harmoni, tengah mengolok-olok azimat persatuan bangsa kita yakni toleransi. Intoleransi itulah yang harus dientaskan.

Pengentasan Intoleransi

Pancasila dari beragai fungsinya, baik sebagai falsafah bangsa maupun ideologi bangsa, belum sepenuhnya diserap oleh umat beragama di Indonesia. Gesekan antarumat beragama menjadi masalah utama yang susah diberantas, juga jauh lebih keruh dari perseteruan politik. Dengan demikian, pengentasan intoleransi tidak bisa dilakukan ujug-ujug. Ia butuh proses panjang, dan bekal primordial menuju cita-cita tersebut adalah kesadaran individual.

Setiap pribadi harus menyadari, kebenaran bersifat relatif. Kalau pun masing-masing agama mengklaim kebenaran mutlak, ia berada di ranah internal agama itu sendiri. Ketika berbicara di ruang publik yang plural, absolutisme harus ditekan agar tidak menjelama sebagai egoisme. Ini yang terjadi pada Muhammad Kace. Ia sangat percaya diri ketika menghujat Nabi Muhammad, tokoh sentral Islam yang namanya juga digunakan Kace. Sangat tidak tau malu.

Toleransi tidak mensyaratkan seseorang untuk menyetujui suatu hal, melainkan menuntut mereka untuk tidak memberontaknya. Jadi kalau pun tidak setuju, biarkan itu tidak tampak ke ruang publik agar terhindar dari sikap-tindakan intoleran. Lebih-lebih jika mengandung ujaran kebencian yang, daripada sebuah kebenaran yang diyakini, ia lebih merupakan kebencian yang dipaksakan. Kace harus membunuh kebencian tersebut, agar ia tidak diancam dibunuh—seperti yang menimpa Salman Rushdie.

Setelah kesadaran individual, keasadaran kolektif juga menjadi kunci pengentasan intoleransi. Kebejatan yang Kace lakukan tidak mesti direspons dengan kebejatan serupa. Harus ada kesadaran bersama bahwa ketimbang merespons polemik tersebut secara emosional, menyerahkannya ke pihak berwajib adalah jalan keluar. Agar kebencian tidak terbalas kebencian, dan intoleransi dibalas intoleransi yang lain. Sebab jika demikian, masalah semacam ini tidak akan pernah bisa terselesaikan.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru