30.8 C
Jakarta

Waspada! Kesalahan Penafsiran Jihad Bisa Berujung Terorisme

Artikel Trending

KhazanahPerspektifWaspada! Kesalahan Penafsiran Jihad Bisa Berujung Terorisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Terorisme bukanlah praktik jihad yang absah. Jihad memang diajarkan dalam al-Qur’an, namun terorisme tidak. Sayangnya, banyak terjadi kesalahpahaman mengenai makna jihad yang sesungguhnya. Terdapat umat Islam yang tidak menerapkan etika jihad sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah. Mereka bahkan menggunakan senjata dan kekerasan dalam berjihad. Hal inilah yang menyebabkan Islam dipandang sebagai agama yang menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan.

Jihad dalam Perspektif Islam

Dalam al-Qur’an, kata yang berkaitan dengan jihad terdapat dalam 36 ayat. Sementara itu, Yusuf al-Qaradhawi menyebutkan bahwa kata jihad disebut sebanyak 34 kali dalam al-Qur’an. Ini menandakan bahwa jihad adalah tindakan yang sangat dianjurkan oleh Islam. Apabila ditelusuri kembali, jihad sesungguhnya memiliki tiga makna, yakni jihad memerangi orang-orang kafir, jihad melawan hawa nafsu dan godaan syaitan, serta jihad dengan cara berdakwah.

Di antara ketiga makna tersebut, jihad yang bermakna perang seringkali disalahartikan. Hal ini terdapat dalam Surat al-Tahrim ayat 9 yang berbunyi:

Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah Jahannam dan itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali.”

Jika dipahami sekilas, ayat di atas menggambarkan bahwa umat Muslim harus memerangi orang kafir dan munafik yang mereka jumpai. Akan tetapi, makna yang sebenarnya tidaklah demikian. Al-Thabathab’i berpendapat bahwa jihad harus dipahami sebagai upaya untuk memperbaiki keadaan orang kafir agar mereka dapat beriman dengan benar, serta upaya untuk menghindari gangguan dan ancaman yang diberikan oleh mereka.

Ini dilakukan dengan memberikan penjelasan secara benar kepada mereka. Apabila orang kafir menerimanya, maka misi dakwah telah tersampaikan. Namun apabila mereka menolak dan terus mendatangkan ancaman/gangguan kepada umat Muslim, maka mereka patut diperangi. Dengan demikian, umat Muslim tidak boleh langsung memerangi orang kafir hanya karena keingkaran mereka, tetapi ada tahapan dakwah yang harus dilakukan terlebih dahulu.

Penafsiran Jihad oleh Kaum Ekstremis-Radikalis

Dapat dikatakan bahwa kaum ekstremis-radikalis memiliki pemaknaan jihad tersendiri yang sangat bertolak belakang dengan perspektif Islam dan al-Qur’an. Mereka adalah kelompok fanatik yang memiliki kepercayaan ideologi yang ketat, sehingga berupaya untuk menggantikan tatanan nilai dan sistem yang telah ada—melalui terorisme. Dalam aktivitasnya, mereka seringkali menggunakan kekerasan terhadap kelompok lain yang dianggap memiliki nilai yang bertentangan dengan kepercayaannya.

Akibatnya, terjadi distorsi dalam pemahaman jihad oleh kaum ekstremis-radikalis. Jihad kemudian digunakan untuk menjustifikasi kekerasan yang dilakukan oleh mereka. Penyimpangan makna Jihad semacam ini menyebabkan Islam dipandang sebagai agama militan yang menggunakan kekuatan senjata dalam menyebarkan ajarannya.

BACA JUGA  Lawan Propaganda Radikalisme di Media Sosial, Ini Strateginya

Bagi kaum ekstremis-radikalis, seorang Muslim yang tidak melakukan jihad akan dianggap sebagai pendosa sekaligus penghalang bagi berjalannya jihad. Mereka juga menganggap bahwa jihad adalah bentuk kewajiban. Apabila tidak dilakukan, maka akan mendapatkan dosa besar, bahkan melampaui dosa dari mereka yang tidak melakukan shalat, puasa, zakat, dan haji. Lebih parahnya, kaum ekstremis radikalis meyakini bahwa terdapat pahala besar bagi mereka yang berjihad, seperti mati syahid dan masuk surga. Dosa mereka pun akan diampuni setelah aksi jihad dilakukan.

Terorisme sebagai Praktik Jihad yang Sesat

Jihad telah digunakan oleh kaum ekstremis-radikalis sebagai justifikasi untuk melakukan terorisme. Jihad seolah menjadi pondasi teologis bagi mereka untuk melakukan apa saja. Hal ini telah terbukti pada sejumlah kasus pemboman, termasuk bom bunuh diri. Sejumlah kasus tersebut diidentifikasi sebagai tindangan kelompok ekstremis untuk melawan warga negara asing atau kelompok agama lain, utamanya umat Kristen dan Yahudi.

Dalam perkembangannya, makna jihad seringkali disalahtafsirkan oleh kelompok teroris, seperti menggunakan bom bunuh diri sebagai implementasi jihad yang dianggap baik. Padahal, Islam sangat melarang umatnya untuk bunuh diri. Namun bagi kaum ekstremis-radikalis, jihad yang dilakukan melalui bom bunuh diri merupakan bentuk mati syahid atau pengorbanan diri sebagai tindakan ibadah kepada Allah.

Menurut pemikiran kaum ekstremis-radikalis, jihad adalah kewajiban untuk membunuh atau bertarung melawan mereka yang ingkar atau kafir. Tindakan ini tentunya sangat bertolak belakang dengan ajaran jihad dalam Islam. Beberapa kali dalam firmannya, Allah telah melarang umat Muslim untuk membunuh mereka yang tidak bersalah. Sebagai contohnya, akhir-akhir ini bom bunuh diri sering dilakukan di gereja. Umat Kristen sedang beribadah, dan tentunya ibadah tersebut tidak mengganggu umat Islam. Tetapi mengapa mereka justru menjadi korban dari pemboman atau bom bunuh diri? Padahal, Allah telah berfirman dalam Surat al-Kafirun ayat 6 yang berbunyi:

Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.”

Sebagai umat Muslim, kita sangat dianjurkan untuk menghormati agama lain. Kita tidak boleh memaksa mereka untuk meninggalkan agamanya dan menggantinya dengan agama Islam, apalagi melalui cara kekerasan. Kita juga tidak boleh menghakimi orang lain dengan alasan karena mereka ingkar, tidak taat, atau kafir. Bukankah itu tugas Allah SWT sebagai hakim yang maha adil?

Indah Hikmawati
Indah Hikmawati
Anggota staf peneliti di Emerging Indonesia Project

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru