31.9 C
Jakarta

Mitologi Puisi Tanpa Kritikan Literasi

Artikel Trending

KhazanahLiterasiMitologi Puisi Tanpa Kritikan Literasi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Tahun 1998, Taufiq Ismail pernah melontarkan sebuah kritikan terhadap semarak sastra yang saat itu banyak dijadikan sebagai alat propaganda kepada pemerintah.

Jika kita menyimak kembali, Malu (aku) jadi orang Indonesia! Satra terjebak oleh sebuah kondisi yang berlatar-belakang politik. Gejolak politik pada saat itu, memberi nuansa pada kehidupan sastra yang seyogyanya tetap mempertahankan ciri khas sastra sebagai plot budaya beretika dan bermoral.

Kehidupan sastra sebagai satu-kesatuan dalam menjaga eksistensi budaya, seharusnya tetap berjalan tanpa meninggalkan esensi dasar sastra. Puisi sebagai salah satu pilar sastra, sering menjebak pegiat sastra untuk memanifestasikan sebuah kritik dengan hal-hal yang dilatarbelakangi oleh sikap tidak puas dan konflik pemikiran.

Di sini, esensi dasar puisi seharusnya membuka ruang pikiran yang tidak terkontaminasi oleh situasi dan kondisi yang menjebak karya-karya sastra.

Jika kita bandingkan dengan kurun masa berbeda, puluhan tahun silam, bahkan ratusan tahun, seleksi alam karya sastra (sajak) begitu ketat. Sehingga bilamana sebuah puisi/sajak berkualitas bagus (secara keseluruhan), maka apresiasi karya tersebut bukan dilakukan oleh orang per orang, yang penilaiannya menjadi tidak objektif.

Para kritikus sastra pun turut menjembatani, sebagai bentuk kepedulian sastra yang menjaga nilai-nilai etika moral dan tidak berorientasi pada kepentingan politik. Terkecuali pada masa perang kemerdekaan, di mana karya-karya sastra (puisi) yang digunakan sebagai alat propaganda dalam kepentingan untuk kemerdekaan bangsa dan negara (contohnya karya-karya Chairil Anwar, dan kawan-kawan).

Terkait judul di atas, dimana puisi adalah sebuah karya mitologi, maka tentu bagi para pegiat sastra, menjadi suatu yang tidak lazim. Sejatinya sebuah puisi/sajak adalah imajinasi kata atau literasi yang mengandung sistematika dalam memadukan diksi dan frasa, sehingga menjadi sebuah kalimat yang memiliki unsur-unsur seni keindahan literasi.

Lalu kenapa harus menjadi sebuah mitologi puisi!? Apakah saat ini,  kita telah terjebak oleh perkembangan zaman atau hanya untuk menghidupkan retorika sastra, agar tetap kelihatan hidup.

Bisa saja para pakar atau ahli sastra tetap berpedoman pada esensi teori. Tetapi kenyataannya akan mempersempit ruang imajinasi para penulis puisi/sajak. Banyak aliran-aliran dalam sastra yang begitu dinamis, sampai pada tingkat pembentukan karakter penulisnya. Tentu ini akan memantik sebuah pertentangan, dimana sebetulnya kita memposisikan karya-karya autentik puisi/sajak.

Kita tidak bisa menampik, bahwa pada sebuah sisi, puisi akan menjadi polemik pertentangan yang diibaratkan sebagai dualisme kebenaran dengan argumentasi yang berbeda. Seorang yang belajar sastra melalui pendidikan formal (baca: didaktis), tentu akan berbeda sudut pandang dengan seorang yang melewati pendidikan sastra secara otodidak.

Jika terjadi sebuah kritikan dalam perbedaan ini, tidak akan menghambat dalam pertumbuhan sastra, yang sayangnya belum masuk dalam sebuah industri untuk meningkatkan peran literasi lokal.

BACA JUGA  Dinamika Penulisan Puisi di Media Siber

Apakah mitologi puisi bisa kita sejajarkan dengan sebuah aliran baru sastra? Setiap istilah, tentu akan mengakar pada pengertian atau makna kata dasar tersebut. Dalam referensi kata, sebuah karya puisi membentuk sebuah gaya bahasa yang memadukan unsur-unsur personifikasi, hiperbol, metafora, sublimatif, dan lain-lain.

Perpaduan ini menjadi karakter isi yang mencerminkan kekuatan pemikiran penulis dalam memanifestasikan karyanya. Para pembaca pun harus memiliki daya imajinasi literasi yang berbeda dengan pembaca umum, yang sama sekali tidak mengerti tentang bahasa puisi. Hal-hal semacam ini, ada anggapan, bahwa puisi/sajak adalah sebuah karya fiksi yang dilatarbelakangi oleh sebuah mitos.

Ini tentu menjadi menarik, ketika berbagai pendapat menjadi sebuah pertentangan yang termaktub sebuah kritikan. Bahwa sebuah pemikiran seseorang adalah sebuah relativitas yang memproduksi kumpulan kata, sebagai subjek yang berdiri sendiri.

Terlepas dari beberapa dalil yang mengabsahkan kebenaran objek, yang sering dianggap sebagai subjek atau korban pemikiran tersebut. Bagaimana sebuah mitologi puisi mampu membenarkan diri tanpa adanya peran pemahaman literasi sebagai dasar dalam membentuk sebuah karya.

Pada konteks atau ruang lingkup sastra, puisi yang merupakan daya imajinasi literasi menjadi sebuah pilihan untuk mempertahankan eksistensi budaya. Bagaimana kita mengenalkan atau mempertahankan nilai ini tentu tidak terlepas dari berbagai masukan atau kritikan, untuk kematangan sebuah karya.

Saat ini banyak puisi yang tampil di berbagai media terutama media digital tanpa melewati proses kematangan seleksi alam, sehingga sangat sulit untuk mengatakan karya puisi atau sajak tersebut berkualitas dan bagus.

Sebuah benang merah kusut dan sulit untuk menguraikannya. Puisi adalah sebuah dimensi yang menempati ruang tak terbatas hingga dimensi gaib sekalipun. Kebenaran subjektivitas pemikiran bisa jadi membuka ruang bagi mitologi puisi.

Kerusakan literasi, walaupun dalam skala kecil harus ditempatkan dalam upaya membangun dan mempertahankan nilai-nilai budaya secara utuh. Hal yang sangat mendasar, kenapa puisi saat ini menjadi sebuah mitologi. Karena peran kritikus untuk mengikis kerusakan literasi sangat minim.

Peran literasi untuk menumbuhkan industri sastra menjadi stagnan, karena logika pegiat sastra kini bukan untuk menghasilkan sebuah karya yang bernilai tinggi. Pendalaman sastra tidak dibarengi dengan pemahaman literasi secara holistis. Ada pola kecenderungan atas sikap pegiat sastra untuk menghasilkan karya instan, yang penting namanya bisa dikenal masyarakat sastra.

Tentu ada banyak hal dalam kajian dimensi sastra yang terus berkembang untuk menemukan sebuah identitas, sesuai dengan kebutuhan dinamika masa.

Pada era digital, produktivitas karya-karya sastra sangat sulit dibendung, hingga kadang kita tidak sadar telah memutilasi kaidah literasi sebagai pembenaran konsep pikiran sendiri. Ini sangat menyulitkan bagi para kritikus dalam meluruskan makna tipologi literasi sastra.

Vito Prasetyo
Vito Prasetyo
Pegiat sastra dan peminat budaya. Mukim di Malang, Jawa Timur.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru